07

4 1 0
                                    

Kedatangan orang tua Narraya bersama Daniel menyedot perhatian para pelanggan. Mereka secara serempak memberikan jalan. Bagaimana tidak, ketiga orang itu dilindungi oleh bodyguard berbadan kekar.

Sementara para pekerja tetap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.

Papa Narraya meradang melihatnya, ia berjalan cepat menuju Davien. Mengangkat kerah pemuda itu membuat suasana tambah geger.

“Maaf, bisa Anda lepaskan?”

“Lepaskan katamu? Kembalikan putriku dahulu!”

“Saya tidak paham apa yang Anda katakan,” jawab Davien tenang.

“Geledah seluruh tempat, bahkan ke sudut terkecil sekalipun, cepat!” bentak Ayah Nayyara ke arah bawahannya. Ia menghempaskan Davien kasar. “Jika saja aku menemukan jejak putriku, aku habisi dirimu.”

Davien diam saja, ia duduk tenang meski disoroti banyak orang. Daniel melihatnya merasa waspada, dia benar-benar orang yang tidak mudah terintimidasi.

Lima belas menit kemudian, para bodyguard berbaris rapi di depan Ayah Nayyara.

“Bagaimana?”

“Maaf, Tuan. Kami tidak menemukan Nona Narraya maupun jejak Nona Narayya di sini.”

“CCTV?”

“Terakhir memang Nona Narraya keluar dari kafe.”

“Pasti dia menculiknya. Katakan bajingan, di mana putriku?!”

Menghela napas lelah, Davien mengode para pekerjanya untuk membawa para perusuh ini ke ruang kerjanya. Awalnya mereka menolak, akan tetapi melihat ketidaknyamanan para pelanggan berakhirlah di ruangan ini.

Ketiga orang duduk di hadapan Davien.

“Anda tidak sopan datang ke sini dan mengacau. Apa Anda tahu tindakan ini bisa saya tuntut?”

“Aku juga bisa menuntutmu, kau menyekap putriku tanpa rasa bersalah.”

“Ada buktinya?”

Mereka semua terbungkam. Davien menggeleng pelan. “Saya kasihan kepada Anda, jabatan tinggi tetapi mudah dibodohi oleh orang lain.” Melirik pada Daniel.

“APA MAKSUDMU?”

“Buktikan saja jika saya benar bersalah,” ucapnya menghiraukan teriakan Daniel. “Saya permisi.”

Setelah itu, Davien bergegas pergi menyerahkan urusan kafe sepenuhnya pada para pekerjanya.

Di mobil sudah ada Grace yang menunggu. Davien duduk di kursi pengemudi, Grace yang melihatnya diam saja. Tidak ambil pusing untuk menyuruh pindah duduk. Toh, ini memang mobil tuannya sendiri.

Tanpa banyak bicara, Grace mengendarai mobil dengan tenang. Diliriknya Davien yang sedang menghela napas lelah, pandangannya sedari tadi menajam.

“Mereka benar-benar sialan,” umpatnya mengingat wajah Daniel dan orang tua Narraya. “Sudah mati saja tetap menyusahkan.”

“Kenapa kau diam saja Grace?” tanya Davien ketus.

"Saya memang pendiam, Tuan,"
batinnya keki.

Berdehem, mencoba mengalihkan kekesalan Davien. “Anda ini marah karena kedatangan mereka atau hal lain?”

“Tentu saja banyak hal. Terutama Daniel manusia satu itu, ingin sekali aku penggal kepalanya dan cincang otak tak berguna miliknya.”

Tanpa diketahui orang lain, sisi lain bersahaja Davien adalah banyak omong ketika kekesalan melanda.

“Ada waktunya, Tuan.”

Davien mengangguk. “Tentu saja. Aku tak sabar menantinya.”

Grace mengangguk saja, membiarkan tuannya melepaskan emosi, hingga sebuah mobil bewarna hitam bergerak mencurigakan. Dari kaca spion, ia mengamati lekat. Ketika mengambil jalan sebelah kiri, dia mengikuti begitu pun sebaliknya. Merasa ada yang  tidak beres, Grace mengode Davien. Pemuda itu menyeringai licik. Hafal akan nomor plat pengendara.

“Kita lihat sampai mana mereka bermain.”

Jari-jari Davien bergerak lincah di ponsel. Meretas data perusahaan milik pengemudi, membeberkan masalah internal di dalamnya.

Kedua mobil saling menyalip, klakson bersahutan tidak kenal tempat. Dari kaca mobil sang lawan, Davien melihat jelas sang pengemudi. Tidak salah lagi.

Mereka belum menyerah juga ternyata.

Menghubungi seseorang dan menunggu diangkat.

“Halo, Tuan. Anda bisa jelaskan maksud perbuatan tidak jelas ini?”

“Diam, kau. Sebelum dirimu mengaku aku tidak akan berhenti mengusikmu?”

Davien terkekeh. “Padahal saya memang tidak berbuat apapun.”

“Hei—”

Klik!

Memutuskan ponsel sepihak dan tertawa puas. Ia melirik Grace memberi isyarat yang langsung dipahami.

Mobil kian melaju kencang menuju arah hutan dan bodohnya mereka tetap mengikuti. Jangan salahkan jika Davien bermain sejenak.

Sengaja Grace memelankan mobil dan mereka tertinggal beberapa meter. Setelah keduanya berhenti, Grace tanpa aba-aba menabrak lawan hingga mobil mereka peyok. Bau gas menguar. Dahi Grace terantuk begitupun Davien. Meski keduanya mendapat luka dan memar, senyuman puas terukir.

Saling mengangguk dan memberi kode, keduanya turun dari mobil mendekat ke arah para perusuh. Menyeret Papa dan Mama Narraya bak hewan buas.

Mengabaikan berontakan mereka, Grace mengikat tangan keduanya, dan dengan cepat memasukkannya ke bagasi mobil.

“Bodoh sekali,” cibir Davien, menatap dua tubuh tidak berdaya tersebut dengan tatapan yang sangat merendahkan.

The Humans LifeWhere stories live. Discover now