P.T [Chapter 28]

17.2K 1.3K 9
                                    

"Haruskah gue bunuh juga papa tiri tak tahu diri lo itu, hm?"

Zarfan menegang. Hey, sebenci-bencinya ia pada papa tirinya itu, yang sudah membuat ia kehilangan mamanya, ia tak akan sampai tega membunuhnya. Bagaimana pun juga, ia juga pernah menyayangi orang tua itu.

Andai saja ia tak menyayanginya dan membencinya, ia mungkin juga sudah menghabisi nyawanya, karena telah membunuh mama tercintanya. Namun, ia masih memiliki perasaan, dan papa tirinya itu pernah memberinya kasih sayang walau hanya sekejap dan sedikit. Ia tetap merasakan kasih sayang itu.

Dia itu orang tuanya. Anak mana yang tega membunuh orang tuanya sendiri, ha? Dirinya sungguh tak bisa berpikir. Sekali pun orang tuanya memperlakukannya kasar ataupun bagaiamana, bukankah tidak harus membalasnya dengan membunuh?

Zarfan pernah membaca berita artikel tentang seorang anak yang dengan teganya menghabisi nyawa ibunya karena kesal dan marah kepada ibunya.

Ketika membaca artikel itu, rasanya ia sangat marah kepada sang anak yang melakukan hal keji itu pada ibunya sendiri. Ia selalu berpikir,

Semarah apa pun kalian pada ibumu, kalian harus bisa sabar, bukan? Sabarlah, dengan begitu kamu akan dengan mudahnya menemukan jalan keluar yang tepat dan benar. Tidaklah harus sampai membunuh. Ibumu lah yang mengandungmu selama sembilan bulan dan melahirkanmu bahkan sampai mempertaruhkan nyawanya demimu. Ibumu saja bisa sabar mengurusmu hingga sebesar itu, dan memberimu kasih sayang. Marahnya ia juga sebenarnya suatu bentuk kepeduliannya kepadamu. Jadi, janganlah melakukan hal itu.

Zarfan menatap mata Zanna tajam, lalu menghampirinya. "Jangan coba-coba lo ngelakuin hal keji itu ke bokap gue, Zanna!" Tekannya.

"Kenapa? Bukankah kata lo, dia yang udah bunuh mama lo?" Sahut gadis itu. Ia menatap mata lelaki itu yang tengah menatapnya dengan tajam.

"Jangan pernah lakuin hal itu Zanna! Lo mau gue jadi sebatang kara hah? Bokap gue aja baru keluar dari penjara setahun yang lalu, dan kali ini lo malah mau berusaha buat bunuh bokap gue? Cuman dia yang gue punya Zan, cuman dia!" Sentak Zarfan.

"Lo nggak tau kan diluar sana banyak yang pengen punya orang tua lengkap? Begitu pula gue Zan, tapi mama gue udah nggak ada. Dan apa? Lo malah mau bunuh satu-satunya harta yang berharga di hidup gue Zan? Kata orang, 'Harta yang paling berharga itu keluarga.'  Gue nggak habis pikir, lo punya perasaan nggak sih hah?"

"Walaupun dia udah bunuh nyokap gue dan sampai nyokap gue meninggal, setidaknya dia pernah kasih gue sedikit kasih sayang dan buat gue ngerti gimana kerasnya kehidupan ini. Lo nggak tahu kan, sebenernya gue dulu juga ada niatan buat ngebalas perbuatan dia dengan hal serupa. Tapi-"

"Tapi dia orang tua gue Zan, meski dia bukan bokap kandung gue, gue sayang dia! Mama pernah bilang semarah-marahnya gue sama orang tua, gue harus bisa nahan dan tetep sabar, cari solusi dan tenangin diri."

"Gue mohon jangan ambil kebahagiaan gue untuk kedua kalinya Zan,"

Air mata yang sedari tadi ia tahan, malah keluar dengan derasnya. Air mata terasa hangat. Zarfan menghapus dengan kasar air mata yang terus mengalir dari matanya, lalu berjalan dengan langkah lebar dan cepat keluar dari rooftop itu dan memutuskan untuk membolos ke suatu tempat yang sepi namun menenangkan. Dimana mamanya selalu membawanya ke tempat itu ketika mamanya masih hidup dan ketika ia sedih.

Ia teringat sebelum mamanya meninggal sempat mengatakan.

'Zarfan, kalau mama pergi lebih dulu dari dunia ini, kalau sewaktu-waktu kamu lagi sedih, kamu dateng aja ke danau ini dan istirahat sebentar di sana. Bayangkan mama sedang ada di samping kamu , ya? Tapi, mama harap kamu nggak pernah merasa sedih ketika mama sudah tiada.'

Ucapan itu terus ia ingat sampai sekarang.

Tapi, bukankah semua orang pernah merasakan sedih? Huft... apa yang ia tanyakan? Tentu saja pernah.

Zarfan bersmirk sekilas lalu pergi dari sana.

Zanna menatap punggung lelaki itu yang mulai hilang dari pandangannya. Bahkan, lelaki itu menutup pintu rooftop dengan keras hingga menimbulkan suara yang keras pula.

Gadis itu terkesiap sesaat, lalu menghela napas dan duduk di sofa yang ada di sana. Ia merebahkan tubuhnya diatasnya lalu memejamkan matanya.

"Gue harus apa? Kelihatannya Zarfan sayang banget sama papanya itu, ish tapi kalau gue denger apa yang dia ceritain tentang bokapnya yang ngebunuh nyokapnya sendiri tuh rasanya hiihh gitu!" Batin Zanna.

"Eh tapi, emangnya beneran yha kalau gue se-kejam itu? Ah entahlah, pusing gue, lagian kenapa juga gue harus ngurusin kek gini sih, nambah beban pikiran aja!"

Zanna membuka matanya begitu ia merasakan wajahnya panas begitu terkena sinar matahari yang memancarkan sinar cahaya begitu terik.

Ia segera berjalan keluar dari rooftop dan pergi ke kantin untuk membeli minuman dingin.

•••

Bruk

Saat berjalan menuju ke kantin, tak sengaja ada yang menubruknya, ia menatap seorang lelaki yang beberapa waktu lalu ia kenal. Wajahnya seketika menampilkan raut wajah datar.

"Loh, Zanna?" Zanna berdehem sebentar lalu kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

El segera mengejarnya dan menyamakan langkahnya. Ia memandangi wajah gadis itu dari samping.

"Cantik bingits! Sisi buaya gue meronta-ronta lee~" batinnya.

Zanna yang tahu kalau dirinya tengah ditatap seperti itu oleh El, langsung menyahut. "Lo napa sih liatin gue mulu perasaan, naksir lo ama gue?" Serunya.

"Idih idih, pede amat lo markonah!" Balas El lalu berjalan mendahului gadis itu dan menuju ke kantin untuk memesan makanan.

"Aish Zanna, lo kenapa akhir-akhir ini selalu terlalu kepedean terus sih, malu-maluin aja!" Gerutunya dalam hati.

"E-eh tu-nggu!" Pekik Zanna menyusul El ke kantin dengan berlari.

Wah wah, mereka ini bukannya ke kelas untuk mengikuti  kelas malah enak-enakan bolos ke kantin. Ck, bukan untuk di tiru ya kawan-kawan!

Mereka berdua pun membolos sampai bel sekolah berbunyi. Karena, kelas yang mereka lewatkan adalah kelas terakhir.

Psycho TransmigrationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang