#2. Berkenalan dengan Juni

495 125 24
                                    

Lalu kuulurkan tangan kanan, butuh beberapa detik baginya menatapku dulu sebelum akhirnya dia jabat tanganku.

"Pradipta Mahali Erlangga." kataku.

"Saya tau nama kamu Deden."

"Ck, itu mah panggilan."

"Oh."

"Nama kamu siapa?"

"Juni."

"Panjangnya?"

"Rahasia." katanya.

"Nama kamu bagus." ujarku.

Dia mengangguk, "Udah tau."

Pede juga dia.

"Siapa yang kasih nama?" kutanya.

Dia narik tangannya sampai jabat tangan kami lepas. "Bapak saya, lah." jawabnya.

"Bapaknya ada di rumah?" kutanya.

"Bapak udah meninggal."

"Oh, maaf ... "

Mau romantis, malah jadi sadis.

"Kamu pindahan dari?" tanyaku.

"Dari kemarin-kemarin." jawabnya.

"Hereuy wae."
Bercanda terus.

Sejak hari itu aku mengenal Juni. Dia seumuran denganku, namun tidak kuliah, sejak lulus sekolah dia ikut kursus memasak, menjahit, dan aktif dalam kegiatan pemuda apa saja (kata dia). Pernah kutanya,

"Kamu kok gak kuliah?"

"Saya sekolah aja males apalagi kuliah."

"Tapi mau kuliah?"

"Nanya-nanya wae ah, emangnya kamu mau bayarin?" tanyanya disusul kekehan.

Dia ini orangnya suka tiba-tiba bicara langsung ke intinya, yang disaat bersamaan aku justru menghindari itu biar bisa lama-lama bicara sama dia. Gaya berpakaiannya sehari-hari begitu-begitu saja, pakai kaos dan celana pendek, pernah kuajakin jajan malam-malam dia pakai celana pendek juga.

"Kamu teu tiris?" kutanya.
Kamu gak dingin?

"Gini doang, kecil."

"Aku mah dingin."

Dia mengangguk, "Ciri orang lemah."

Satu lagi soal dia, senang sekali ngeledekin, tapi semua ledekannya gak bikin tersinggung. Entah karena aku suka sama orangnya atau memang dia santai dan tetap bisa sopan anaknya.

#

Satu hari aku dalam perjalanan pulang dari rumah teman di daerah Jatinangor, masih dekat kampus, tapi kemudian lihat ada Teh Widi di jembatan (kalau kau baca ceritanya Aril kau mungkin tau jembatan yang mana). Bukan mau sok ganteng, tapi jujur walau gara-gara patah hati aku gak pernah punya kejelekan buat dia, maka kuajakin bareng saja. Soalnya ini lagi lumayan panas.

"Teh,"

"Eh? Den,"

"Mau bareng?"

"Boleh?"

"Bisa."

Eh, begitu berhenti di seberang rumahku atau tepatnya didepan rumah Teh Widi, ada Juni keluar dari rumahku. Habis ngapain ya dia? Ditambah kok rasanya aku seperti orang ketauan selingkuh, ya?

Setelah hari aku nganterin Teh Widi, lusanya kulihat Juni dianterin laki-laki. Ganteng, tapi lebih ganteng aku. Kata Aril juga aku ganteng. Sori aja ini mah!

PANASEA 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang