#11. Hal-hal yang Belum Pernah Aku Ceritakan Sebelumnya

101 16 0
                                    

Usiaku memang baru 20 tahun, kuliah pun belum selesai, tapi aku gak merasa bercanda waktu bilang nikah dengan Juni. Aku ngerti maksud Juni kalau dia gak ingin pacaran. Aku juga sadar bisa saja aku asal bicara, aku gak bertemu banyak perempuan dan gak sering pacaran selama ini tapi aku gak asal bicara. Aku juga gak tau kenapa, padahal kenal dengan Juni pun belum lama, tapi entah kenapa kok aku malah berpikiran ingin nikah sama dia? Gimana kalau ternyata Juni aslinya beda dengan Juni yang kukenal sekarang.

Sedikitnya itu yang ada di pikiranku waktu makan bareng Juni di rumahnya. Kami makan di ruang tamu dengan pintu agak ditutup karena Juni merasa dingin, belum betul-betul sembuh.

"Den, abis ini kamu pulang aja. Bisi katepaan."
Takut ketularan.

"Gak bakal, aku kuat."

"Ih..." gitu aja reaksinya.

Kami makan dalam hening, sesekali kedengaran bunyi krauk krauk dari kicimpring (kerupuk yang terbuat dari singkong).

"Den, kalo ternyata aku ini beda sama yang kamu kenal sekarang gimana?" tanya Juni.

"Kita jalanin aja yang ada depan mata, gimana kalau aku juga beda sama apa yang kamu kenal sekarang?"

"Kok kamu malah nanya balik?"

"Maksudnya, aku gak mau ngejadiin ini berat. Aku ngerti maksud kamu. Aku bakal dukung. Makanya aku bilang aku temenin sampe kamu kuliah."

"Tapi kalau kamu nemu perempuan yang emang jodoh kamu, jangan dibikin susah ya, Den. Maksudnya, jalani aja sama dia." kata Juni.

Aku mengangguk, sambil ngunyah nasi disambung gigit kicimpring, "Kamu juga kalo ketemu cowok yang mungkin cocok sama kamu..." aku minum dulu.

"Apa?" tanya Juni.

"Jangan diterima." sambungku.

Juni ketawa kenceng.

Sedikitnya saat ini yang aku rasakan adalah entah kenapa aku merasa yakin sama Juni. Juni bikin aku merasa dibutuhkan, tapi disisi lain dia juga serba bisa sendiri. Juni bisa dekat sama Ambu dan mungkin ngobatin luka Ambu soal meninggalnya Ganis, adik perempuanku yang meninggal waktu usianya 3 tahun dan aku baru masuk SMP saat itu. Bukan cuma pernah nganterin Ambu ke kondangan, Juni juga anaknya nyambung dengan Ibu-ibu yang salah satunya Ambu. Aku baru tau dari Ambu semalam kalau Juni suka ikut kegiatan Ibu-ibu dan sering bantu Ambu. Ambu juga katanya pernah kasih Juni baju dan aku gak pernah tau kalau Juni dan Ambu dekat.

Juni itu buatku cantik, terampil, dan sopan. Juni minder karena gak kuliah tapi dia gak tau kalau bahkan dia lebih sopan dari orang yang kuliah kadang-kadang. Juni juga bukan perempuan yang gak bisa apa-apa, jadi aku aneh kalau dia merasa minder. Padahal dia bisa melakukan hal-hal yang orang lain belum tentu bisa seperti masak dengan enak, menjahit baju, dan mudah akrab namun gak yang bikin orang lain gak nyaman. Suatu waktu aku pernah jalan-jalan dengan Juni ke kota (Aril gak tau, dia cuma tau yang aku makan bubur, padahal aku dan Juni pernah nonton ke bioskop MisBar). Dia pakai rok totol-totol yang bentuknya cantik dan pas di badannya, aku puji dia waktu itu, Juni dengan bangga bilang kalau rok itu jahitannya sendiri.

Walau terkenal judes di kalangan pemuda, Juni ternyata cukup terkenal di kalangan ibu-ibu dan katanya dekat dengan anak-anak disini. Bahkan dekat sama adiknya si Aril yang masih SD.

Juni suka ceritakan hal-hal yang dia bilang cuma diceritakan ke orang-orang tertentu, dan aku masuk salah satunya. Aku merasa dianggap dan dibutuhkan. Baru kali ini juga kayaknya aku merasa berguna buat orang lain.

Aku selalu kecewa sama diriku sendiri karena gak bisa merasa ada dan berguna. Aku jadi ingat waktu Ambu dan Bapak kecewa karena aku gak masuk kedokteran, Ambu saat itu tau kalau aku sengaja gagal. Aku malu dan merasa bersalah. Aku juga merasa putus asa waktu naksir Teh Widi, bingung juga kenapa aku ini gak begitu cukup buat dia terima. Aku cuma cukup buat dibutuhkan Teh Widi kalau dia sendiri aja, tapi gak cukup buat dia terima sebagai orang yang bisa dia bawa-bawa dan kenalin ke temen-temennya sebagai pacar.

Kebanyakan teman-teman juga membutuhkanku karena ada kepentingan. Karena aku punya uang, atau karena aku punya tampang katanya. Aku pernah mewakili sekolahku di lomba sepak bola, untuk jadi wajah sekolahku padahal ada orang-orang yang lebih jago, tapi karena katanya mukaku cocok untuk jadi figur pesepak bola remaja. Aku bahkan jadi mempertanyakan diriku kayaknya aku ini emang gak punya bakat.

Orang yang bikin aku merasa cukup, ada, dan berguna saat ini ada dua orang, Aril dan Juni. Makanya untuk mereka, aku akan bantu apa saja. Aku tau batasan dimana aku dimanfaatkan, dan Aril maupun Juni adalah orang yang aku percaya kalau mereka gak akan memanfaatkan aku.

"Den," panggil Juni.

Aku menoleh, melihat Juni duduk di sebelahku, dengan setelan baju tidur, rambut agak berantakan, dan mukanya yang memang kelihatan orang sakit. Cantik, Juni kelihatan cantik walau berantakan sedikit.

Di sekitar aku dan dia saat itu ada lukisan di dinding, mesin jahit dibelakang Juni, lemari dibelakang mesin jahit sebagai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga, jendela besar, pintu yang sedikit terbuka, kalender disalah satu dinding, kursi-kursi dan meja ruang tamu, lalu kendi dari tanah liat di salah satu pojok ruang tamu.

"Makasih banyak ya, Den. Kamu nunjukin aku kalo gak semua cowok jahat. Kamu bikin aku punya semangat buat kuliah. Keluarga kamu apalagi Ambu juga baik banget sama aku. Kamu juga baik banget. Aku kagum kamu berani beda sama keluarga kamu tapi tetep keren. Aku kagum kamu gak sombong dan seenaknya padahal anak dari keluarga yang mampu. Aku kagum kamu mau temenan sama aku dan bahkan suka sama aku. Aku tau kamu gak akan minder buat pacaran sama aku sekarang juga, tapi aku mau sedikitnya sama kayak kamu. Makasih banyak ya, Den, udah mau nemenin aku selama ini. Aku butuh Deden yang baik kayak sekarang sampe nanti." tutur Juni.

Gak ada satu kalimatpun di kepalaku sekarang, yang kupikirin cuma bisa gak ya kalau kucium Juni sekarang?














hehe

PANASEA 1997Where stories live. Discover now