DELAPAN

59 8 0
                                    

Sejak kepergian Satria, Abel tidak bergairah untuk melanjutkan hidupnya. Teman-temannya mulai menjauhinya. Mereka yang mengagumi Satria memilih untuk memusuhi Abel. Masih janggal di benak mereka, bagaimana bisa Satria yang punya banyak teman, justru memilih untuk menelepon Abel? Apa yang dilihat Satria darinya? Abel memang cantik, tapi dia bukan tipe gadis yang layak disukai orang seperti Satria.

Orang yang arif budinya seperti Satria cocoknya dengan Prita, gadis manis yang sama pintarnya dan selama ini memang dikenal nyambung dengan Satria. Suasana sekolah juga memberi dukungan pada Prita yang terang-terangan menunjukkan kesedihannya. Berbeda dengan Abel yang lebih banyak diam dan menahan perihnya seorang diri.

Abel mengira tak apa tak punya teman, yang penting dia belajar saja. Banyak kan orang yang tidak punya teman tapi bisa lulus dengan baik? Tapi hal itu pun tidak bisa diperolehnya. Nilai-nilainya menurun karena dia tidak bisa berkonsentrasi belajar dan hasilnya dia gagal mengerjakan soal ulangan. Ayahnya sampai dipanggil wali kelas.

Hati Abel pilu saat wali kelas mengingatkan ayahnya untuk memberi perhatian lebih padanya. Wali kelas mengira turunnya nilai Abel disebabkan ayahnya yang terlalu sibuk hingga tidak bisa meluangkan waktu untuk membantu Abel belajar.

Abel mengawasi ayahnya. Ayahnya mengangguk dengan raut menyesal. Untuk mengambil simpati gurunya, ayahnya menjelaskan bahwa dia single parent, dan dia ingin wali kelas memberi kesempatan pada Abel untuk mengambil remedial. Ayah memohon sekali pada gurunya agar Abel jangan sampai tidak naik kelas.

Pernah suatu kali sopir Abel telat menjemputnya. Dia duduk, menunggu di dekat pos satpam, mengenang kebersamaannya bersama Satria di sana. Wajahnya pucat, tidak ada gairah, dan sorotan matanya kosong.

Moreno yang saat itu bersama Karina, meminta kekasihnya untuk pulang duluan. Karina menebak, "Kau ingin nongkrong ya?" Agar Karina cepat pergi Moreno mengangguk saja. Setelah dilihatnya Karina keluar dari gerbang dan masuk ke mobilnya, barulah Moreno menghampiri Abel.

Dia duduk di samping gadis itu.

"Berat ya buat lo ngelepas dia?"

Abel seakan tidak mendengar teguran itu. Dia juga bersikap seolah tak menyadari ada Moreno di dekatnya.

Dia tidak punya semangat untuk menyahuti orang lain. Hatinya terpukul menerima orang yang dekat dengannya sudah tidak ada.

"Apa yang bisa gue lakukan biar lo nggak sedih lagi?" tanya Moreno lirih. Dia berusaha untuk membuat Abel bereaksi.

"Nggak ada," sahut Abel datar. "Nggak ada yang bisa dilakukan siapa pun untuk bikin kesedihan aku hilang."

"Tapi hidup itu harus berjalan, Abel." Moreno menghela napas sabar. "Mau nggak, gue ajak lo jalan-jalan?

Abel menggeleng. "Tinggalkan aku sendiri. Aku butuh waktu."

Moreno tidak memaksa. Dia mengangguk, lalu meninggalkan Abel, namun dari kejauhan dia mengawasi gadis itu untuk menjaganya.


**


Setiap hari, dari jendela kamarnya, Abel melihat rumah Satria. Dia memandang rumah itu dengan sorotan hampa. Ayahnya khawatir padanya yang tidak napsu melakukan apa-apa. "Apa kau ingin pindah sekolah saja, Abel?"

"Ke mana? Apa rasa sedih itu akan hilang, Ayah?" tanya Abel pundung.

"Ayah dengar dari Pak Gilang dia dan istrinya akan pindah dari rumahnya. Usaha mereka meredup, dan terpaksa harus menjual rumah mereka yang ada di sebrang," sahut ayahnya menunjukkan iba. "Ayah tahu ini berat, dan kebetulan Ayah dapat tawaran kerja di luar, sebagai peneliti. Kalau kau sendiri di sini, dengan siapa kau tinggal?"

"Tapi sebentar lagi akan ada ujian lagi."

"Ah, apa kau bisa belajar? Apa kau yakin kau bisa menyelesaikan ujian?"

Abel menggeleng.

"That's okay, Abel," kata ayahnya menenangkan. "Kau besok berpamitan, ya, dengan guru-gurumu. Ayah akan menjemputmu pada jam makan siang."

**

Setelah menyalami semua gurunya di ruang guru, Abel ke kelasnya untuk berpamitan dan meminta maaf pada teman-teman sekelasnya. Ada yang sedih karena dia pergi, ada juga yang senang. Sejujurnya Abel tidak peduli dengan apa yang teman-teman sekelasnya pikirkan tentangnya. Baginya begitu dia keluar gerbang dari sekolah itu, dia takkan kembali lagi untuk mengenal mereka.

Abel memikul tas ranselnya dengan langkah lambat. Matanya menelusuri sekolah itu. Diingatnya beberapa kenangannya bersama Kak Satria. Ketika kakinya tiba di dekat gerbang, di mana dia dan Satria pernah bicara di sana, hatinya mengeluh. Dia ingin menangis saat itu juga.

Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku harus bisa bangkit, tekadnya dalam hati. Ayah sudah bekerja keras untuk memastikan aku bisa sekolah. Kalau aku sedih terus, aku nggak akan bisa jadi anak yang bisa membanggakan Ayah.

Suara cekikikan menarik perhatiannya. Dia menoleh ke belakang, melihat Moreno dan kekasihnya saling merangkul dan tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan sampai terkikik seperti itu. Abel kembali menatap gerbang, menganggap tawa kakak kelasnya angin lalu.

Di belakangnya, Moreno melihat gadis itu berdiri seorang diri. Dia melepaskan tubuhnya dari Karina dan meminta Karina untuk ke kelas duluan. Dihampirinya Abel.

"Mau ke mana? Cabut, ya?" tanyanya curiga.

Abel diam saja, seolah Moreno tidak bicara padanya.

"Lo budek? Gue nanya lo, Abel."

Kini Abel menghadap ke arah Moreno yang berdiri di sampingnya. "Nggak cabut."

"Terus?"

"Pindah sekolah."

"Ke mana?!" tanya Moreno dengan nada tinggi.

Abel mengangkat bahu.

"Ke swasta lagi? Atau ke sekolah negeri? Atau.. ke luar negeri?" tanya Moreno mendesak.

"Bukan urusan Kakak."

"Terus lo pikir, dengan lo nggak jawab, gue nggak bakal tau? Lo tau kan gue siapa?"

"Tahu, kok." Abel menatap Moreno disertai tatapan dingin. "Aku juga tahu Kakak akan kuliah setelah ini. Jadi kalau pun Kakak tahu aku pindah ke mana, Kakak nggak akan bisa ganggu aku. Karena Kakak akan sibuk." Abel tersenyum sinis, lalu keluar gerbang saat dilihatnya mobil ayahnya berhenti di depan sana. 

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturWhere stories live. Discover now