SEBELAS

107 15 1
                                    

".... Seperti pelacur, lebih tepatnya?""

"Tidakkah kata-katamu terlalu kasar?" sahut Moreno pura-pura kecewa. "Ya, kau tidak menganggap usah dirimu begitu, kalau kau rela-rela saja melayani aku, kan?"

Abel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Charles tidak mengatakan hal ini. Kalau aku tahu aku dijual olehnya..."

"Sudah kubilang jangan anggap begitu," tegas Moreno mulai kesal. "Aku lebih ingin kau melihat kita berdua ini sebagai teman. Seperti kau dan Satria dulu. Bisa, kan?"

Mata Abel membeliak saat Moreno menyebut nama Satria. Dia merasa hatinya tertusuk diingatkan dengan kenangan buruknya, tapi di sisi lain dia sedikit tergugah. Jadi Moreno benar-benar memperhatikannya sampai tahu seperti apa hubungan Abel dan Satria dulu.

Moreno tidak menganggapnya hanya sekadar kenal Satria, tapi memang dia tahu bahwa dia dekat dengan Satria.

"Apa kau terlalu kesepian sampai mengeluarkan uang banyak untuk punya teman seperti aku?" sahut Abel heran.

"Ya, aku tidak punya banyak waktu untuk mencari teman baru, dan kurasa kau tidak akan berani macam-macam denganku, kan?"

"Entahlah. Bagaimana denganmu terhadapku?"

"Aku hanya akan bermacam-macam denganmu jika kau mengizinkan."

Mereka dicambuk keheningan saat makanan disajikan di depan mereka. Sambil makan sesekali Moreno memperhatikan Abel yang makan dalam diam dan raut wajahnya yang berubah-ubah.

Moreno tahu pekerjaan Abel sebagai chef. Moreno menduga, dalam hatinya Abel mencatat apa saja kurang-lebihnya makanan yang disantapnya malam itu.

"Bel."

"Ya?"

"Enak."

Abel mengangguk-angguk. "Harus aku akui, kau punya juru masak yang hebat." Abel kemudian tersenyum puas layaknya seorang juri masak yang mendapat makanan yang sesuai dengan keinginannya.

"Bel."

"Ya."

Kini Moreno menatapnya dan hati-hati bertanya, "Kau... masih merindukan Satria?" Pria itu menghela napas, kesal. Raut wajah Abel pun berubah pahit. "Maaf mungkin aku lancang. Aku penasaran saja."

"Aku sudah lama melupakannya. Namun rumah ini. Rumah ini tak jauh dengan tempat tinggalku dan Kak Satria dulu. Aku tak urung mengingatnya kembali."

"Kau ingin kita pindah ke rumahku yang satu lagi?"

"Tidak, tidak perlu begitu." Abel merasa tak enak pada Moreno. "Maaf, aku tidak seharusnya mengatakan itu."

Moreno menghujamkan pisau dan garpu di atas steik sapi dengan gerakan cepat. Benar-benar menandakan bahwa dia kesal dan Abel menyadari itu.

"Maaf...," ulang Abel bingung. Ya kenapa dia minta maaf? Memang apa urusannya Moreno dengan dirinya yang masih memikirkan Satria?

Pria itu tidak langsung menyahut. Dia menghabiskan makanannya dengan Abel yang diam saja menunggunya. Dia bicara lagi, "Kau tidak salah. Aku yang keterlaluan. Seharusnya aku tahu sulit bagimu untuk melupakannya meski sepuluh tahun telah berlalu."

"Terus terang dengan aku di sini, aku merasa Satria berada di dekat aku. Bahkan, di mana pun aku berada, aku dapat merasakan kehadirannya."

Dalam hati Moreno mendengus kesal. Sudah mati pun Satria masih bisa mengisi hati Abel. Bagaimana bisa?

Namun di depan perempuan itu Moreno ingin memberi kesan perhatian. Dia melembutkan suaranya. "Tidak, sama sekali tidak salah. Kadang, kita tidak bisa memaksa diri kita untuk melupakan hal-hal yang berarti bagi kita. Malah, kau bisa mengekspresikan rindu itu dengan berdoa. Nah, kau pernah berdoa untuknya tidak?"

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturWhere stories live. Discover now