EMPAT BELAS

127 6 10
                                    

Moreno merasa adil sekali ketika Satria meninggal. Tak ada lagi kebahagiaan di keluarga ayahnya. Kalau Moreno harus hidup tanpa sosok ayah, maka ayahnya harus merasakan apa yang dirasakannya. Hidup tanpa anak kesayangannya.

Moreno sudah letih mengalah. Satria selalu mendapatkan apa yang dia mau. Disayang ayahnya, dikagumi banyak guru karena sikap terpujinya, dan Abel yang menyukainya. Dan alasan yang terakhir yang membuat Moreno kalap untuk menghabisi Satria.

Satria sudah mengambil ayahnya. Mengapa harus mengambil lagi apa yang disukai Moreno? Bahkan ketika Satria sudah matipun Abel masih merindukannya. Bukan main daya tarik adik tirinya itu!

"Aku ingin ke makam Kak Satria." Ucapan Abel membuyarkan lamunan Moreno tentang masa lalunya. "Bolehkah?"

"Mengapa harus bertanya?" Moreno tersenyum simpul. "Tentu saja boleh. Aku dapat mengerti."

Kalau untuk Abel, apapun akan Moreno lakukan.

"Kapan terakhir kau ke makam Kak Satria?"

Pertanyaan sial. Haruskah Moreno menjawab yang sebenarnya, bahwa pertama dan terakhir kali dia ke makam Satria adalah di hari adik tirinya meninggal?

"Sudah cukup lama," kata Moreno. "Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Itu hanya membebani pikiranku saja."

"Begitu?"

"Ya, kematiannya sudah membuat banyak orang sedih. Ayahku, ibunya, bahkan kau. Satria pasti sedih kan, kalau aku juga ikutan sedih?"

Jawaban yang cukup baik. Paling tidak, Abel tidak menaruh curiga padanya. Kalau iya, Abel pasti akan membencinya. Untuk seumur hidup wanita itu mungkin.

**

Mereka berdiri di depan batu nisan bertuliskan nama lengkap Satria. Abel menaburkan bunga di atasnya, dan duduk di tepinya untuk berdoa. Sementara Moreno, berdiri di belakangnya dengan kaca mata hitam, dan sama sekali tak menatap batu nisan Satria.

Tragedi di tempat perkumpulan geng itu mampir ke benaknya tanpa diundang. Ketika dia dan teman-temannya menduduki Satria di kursi, mengikat kaki dan tangan pemuda itu, dan memukulnya.

Pemuda itu sekarat. Dan jika mayatnya ditemukan di markas gengnya, maka dia dan teman-temannya harus menetap di penjara, dan ibunya pasti akan sangat membencinya.

Dia mendapatkan ide. Dimasukkannya tubuh Satria yang kurus itu ke mobilnya dan bersama teman-temannya dia membawa Satria ke Pantai Ancol. Dijorokkannya pemuda itu di pinggir pantai.

Dengan begitu takkan ada yang menduga dirinya dan teman-temannya dalang dari kematian Satria.

Tak pernah ada penyesalan. Namun sekarang, ketika dilihatnya Abel menahan tangis di depan makam Satria, tiba-tiba Moreno merasa hatinya tersentuh sedikit. Kalau dia tahu dampaknya akan menyakiti hati Abel seperti ini, lebih baik dia tidak usah membunuh Satria.

Munafik, tampik Moreno dalam hati. Persetan dengan hati Abel. Toh aku jamin dia tidak akan merasakan kesedihan itu lagi, selama aku berada di dekatnya. Aku akan menghiburnya semaksimal mungkin.

Abel berdiri dan menatap Moreno. "Terima kasih, sudah menemaniku datang ke sini, Moreno."

"Apakah kau sudah merasa baikan?"

Wanita itu mengangguk. "Heran. Aku baru ke sini sekali, setelah sepuluh tahun tidak pernah ke sini. Dan aku merasa, Satria sangat berada di dekatku, memberi pertanda dia baik-baik saja di alamnya."

"Kalau sudah sampai rumah, aku tidak ingin kau membahasnya lagi, Abel. Tidakkah kau tersiksa memikirkannya terus?"

Abel tersenyum, tak memberikan jawaban. Dia berjalan ke parkiran, sementara Moreno berjalan di belakangnya. Dari belakang pria itu mengawasi cara jalan Abel. Begitu tenang dan biasa. Tidak seperti ketika Abel berjalan ke makam Satria. Jalannya begitu pelan, seperti takut untuk menghadapi makam Satria.

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturWhere stories live. Discover now