TIGA BELAS

57 8 0
                                    

"Kau tampak kacau sekali, Abel," kata Moreno ketika wanita itu masuk ke ruang makan. Dilihatnya Abel duduk di sebrangnya. "Apa kau tidak nyaman tinggal di sini?"

Abel menggeleng kikuk. Dia memang tidak memoles wajahnya dengan riasan tebal hingga wajahnya yang kusut terlihat jelas oleh orang lain. Jakarta terus membuatnya memikirkan Satria.

Kegelisahan itu tak henti-hentinya merambati hatinya. Dia merasa ada sesuatu"yang harus dilakukannya untuk menghilangan rasa tidak tenang itu. Tapi apa?

"Mungkin aku sudah gila," gumam Abel pada dirinya sendiri.

"Kau bilang apa?" tanya Moreno memastikan.

Abel menggeleng. Untuk apa dia mengatakan apa yang ada di pikirannya? Baginya Moreno hanya pemberi bantuan, bukan?

"Tidak, Kak, saya hanya..." Suaranya mengembang di udara. Dia mengangkat bahunya.

"Berhentilah memanggil 'Kak'. Kita hanya beda berapa tahun sih? Selain itu aku bukan kakak kelasmu lagi, kan, Bel?"

Abel mengangguk. "I-iya, Moreno."

"Jadi kenapa?" Perempuan itu tak menyahutinya. Moreno menarik napas kesal. "Mungkin aku tidak membuat hal ini jelas, tapi aku menghendaki engkau agar aku membantu kakakmu."

"Menghendaki? Maksudnya?" tanya Abel bingung.

"Abel, di dunia ini tidak ada orang yang baik begitu saja. Semua ada timbal-balik. Dan yang aku minta dari Charles adalah kau."

"Kau ingin... Maksudmu.." Abel menahan kemarahannya. Dihelanya napas panjang-panjang. "Kau ingin menggunakan aku seperti barang? Seperti pelacur, lebih tepatnya?"

"Tidakkah kata-katamu terlalu kasar?" sahut Moreno pura-pura kecewa. "Ya, kau tidak menganggap usah dirimu begitu, kalau kau rela-rela saja melayani aku, kan?"

Abel menggeleng-gelengkan kepalanya. "Charles tidak mengatakan hal ini. Kalau aku tahu aku dijual olehnya..."

"Sudah kubilang jangan anggap begitu," tegas Moreno mulai kesal. "Aku lebih ingin kau melihat kita berdua ini sebagai teman. Seperti kau dan Satria dulu. Bisa, kan?"

Mata Abel membeliak saat Moreno menyebut nama Satria. Dia merasa hatinya tertusuk diingatkan dengan kenangan buruknya, tapi di sisi lain dia sedikit tergugah. Jadi Moreno benar-benar memperhatikannya sampai tahu seperti apa hubungan Abel dan Satria dulu.

Moreno tidak menganggapnya hanya sekadar kenal Satria, tapi memang dia tahu bahwa dia dekat dengan Satria.

"Apa kau terlalu kesepian sampai mengeluarkan uang banyak untuk punya teman seperti aku?" sahut Abel heran.

"Ya, aku tidak punya banyak waktu untuk mencari teman baru, dan kurasa kau tidak akan berani macam-macam denganku, kan?"

"Entahlah. Bagaimana denganmu terhadapku?"

"Aku hanya akan bermacam-macam denganmu jika kau mengizinkan."

Mereka dicambuk keheningan saat makanan disajikan di depan mereka. Sambil makan sesekali Moreno memperhatikan Abel yang makan dalam diam dan raut wajahnya yang berubah-ubah.

Moreno tahu pekerjaan Abel sebagai chef. Moreno menduga, dalam hatinya Abel mencatat apa saja kurang-lebihnya makanan yang disantapnya malam itu.

"Bel."

"Ya?"

"Enak."

Abel mengangguk-angguk. "Harus aku akui, kau punya juru masak yang hebat." Abel kemudian tersenyum puas layaknya seorang juri masak yang mendapat makanan yang sesuai dengan keinginannya.

"Bel."

"Ya?"

Kini Moreno menatapnya dan hati-hati bertanya, "Kau... masih merindukan Satria?" Pria itu menghela napas, kesal. Raut wajah Abel pun berubah pahit. "Maaf mungkin aku lancang. Aku penasaran saja."

"Aku sudah lama melupakannya. Namun rumah ini... tak urung membuatku mengingatnya kembali."

"Kau ingin kita pindah ke rumahku yang satu lagi?"

"Tidak, tidak perlu begitu." Abel merasa tak enak pada Moreno. "Maaf, aku tidak seharusnya mengatakan itu."

Moreno menghujamkan pisau dan garpu di atas steik sapi dengan gerakan cepat. Benar-benar menandakan bahwa dia kesal dan Abel menyadari itu.

"Maaf...," ulang Abel bingung. Ya kenapa dia minta maaf? Memang apa urusannya Moreno dengan dirinya yang masih memikirkan Satria?

Pria itu tidak langsung menyahut. Dia menghabiskan makanannya dengan Abel yang diam saja menunggunya. Dia bicara lagi, "Kau tidak salah. Aku yang keterlaluan. Seharusnya aku tahu sulit bagimu untuk melupakannya meski sepuluh tahun telah berlalu."

"Terus terang dengan aku di sini, aku merasa Satria berada di dekat aku. Bahkan, di mana pun aku berada, aku dapat merasakan kehadirannya."

Dalam hati Moreno mendengus kesal. Sudah mati pun Satria masih bisa mengisi hati Abel. Bagaimana bisa?

Namun di depan perempuan itu Moreno ingin memberi kesan perhatian. Dia melembutkan suaranya. "Tidak, sama sekali tidak salah. Kadang, kita tidak bisa memaksa diri kita untuk melupakan hal-hal yang berarti bagi kita. Malah, kau bisa mengekspresikan rindu itu dengan berdoa. Nah, kau pernah berdoa untuknya tidak?"

Moreno sendiri nyaris tak percaya dengan kalimatnya. Sok alim sekali dia, menyarankan Abel berdoa untuk Satria. Padahal selama ini Moreno tak pernah sekalipun peduli pada Satria. Jangankan berdoa, mengingat wajah Satria saja sudah membuatnya muak!

Bukan salah Moreno sepenuhnya. Ibu Satria telah merebut ayahnya, dan keluarga baru ayahnya tampak bahagia dulu. Sejak bertemu dengan ibu Satria, ayahnya tak memedulikan perasaan hati ibu Moreno yang hancur. Karena itu, sampai sekarang Moreno tak ingin berhubungan dengan ayahnya lagi.

Sampai sebesar ini Moreno tidak tahu mengapa ayahnya meninggalkan ibunya. Namun kata kakek dari pihak ibunya, ayahnya merasa tidak pantas menjadi suami ibunya yang mandiri dan kaya. Sementara ayahnya sangat santai dan tidak memiliki motivasi untuk maju.

Moreno selalu berpikir, seandainya orangtuanya ingin bersabar sedikit dan ayahnya tidak bertemu dengan ibu Satria, orangtuanya pasti akan memiliki keluarga yang bahagia. Karir yang melambung, anak lelaki mereka yang pintar, dan harta yang tak bisa diragukan lagi jumlahnya.

Mungkin itu letak permasalahannya. Selama menikah dengan ibunya, ayahnya sama sekali tidak termotivasi. Namun setelah menikah dengan ibu Satria, karir ayahnya sebagai pengusaha di berbagai bidang menjulang. Tak ada yang tak mengenal nama ayahnya.

Pernikahan ayahnya bersama ibu Satria sangat bahagia sementara ibu Moreno sama sekali tidak bahagia. Ibunya tidak pernah mengatakannya, namun Moreno dapat merasakannya. Kebahagiaan ibunya tergantung pada kebahagiaan Moreno. Hanya Moreno alasannya masih ingin hidup setelah bercerai dari ayah Moreno.

 Hanya Moreno alasannya masih ingin hidup setelah bercerai dari ayah Moreno

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

** I HOPE YOU LIKE THE STORY **

Love Me, Abel | Prequel Ketidaksetiaan Pak DirekturWhere stories live. Discover now