4. Mr. Johnny Tan

545 74 14
                                    


Dengan banyak pertanyaan yang membuat Jendra bingung, ia pun langsung melesat ke ruangan papanya yang berada dua lantai di atas ruangannya. Setelah menyapa Wendy di depan ruangan papanya, Jendra pun mengetuk pintu lalu memasuki ruangan terbesar di kantor ini.

Benar kata Mahen. Di ruangan papanya kini ada tiga orang asing. Satu pria paruh baya seumuran papanya dan dua orang pria muda seumurannya atau di atasnya sedikit. Demi sopan santun, Jendra pun menyapa tamu-tamu papanya itu dengan ramah dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Tanpa Jendra duga, pria paruh baya seusia papanya itu langsung bangkit dari duduknya, lantas memberi pelukan erat, dan tertawa kencang hingga membuat telinga Jendra berdengung.

"Ini Jendra anak kamu, Jeff?" tanya pria paruh baya itu yang langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Jeffrey Wisnutama, papa Jendra.

"Waktu ternyata berjalan cepat. Dulu Jendra masih sangat kecil saat aku pergi ke US, sekarang sudah sebesar ini. How lucky you are, Dude. Aku sampai nggak percaya kalau Jendra adalah putramu."

Jendra tersenyum kikuk karena merasa tidak mengenal pria di hadapannya. Memberi kode ke papanya juga percuma. Papanya itu orang paling tidak peka sedunia.

"Sebelumnya, saya minta maaf. Apakah kita pernah bertemu? Maaf sekali karena saya tidak bisa mengingat Anda."

Pertanyaan Jendra justru mengundang gelak tawa dari pria itu, sedangkan Jeffrey hanya tersenyum simpul.

"Ah, wajar saja kamu melupakan pria tua sepertiku, Son," ujar pria itu santai. "Jangan terlalu formal. Panggil saja Om Johnny. Om adalah teman masa kecil papamu waktu masih di US dulu."

"Meski nggak lama, Om Johnny pernah tinggal di Jakarta. At that time, you were still a junior high school student."

Johnny membenarkan ucapan Jeffrey. "Dulu kamu sering manggil dengan sebutan Om Amerika. Lucu banget."

Ah, Jendra ingat sekarang. Om Amerika-nya yang dulu sering memberi hadiah, tiba-tiba pergi begitu saja, meninggalkan bekas luka yang tak kasat mata. Saat itu, bukan hanya Om Johnny saja yang menghilang, tetapi pujaan hatinya, cinta pertama Jeno, juga ikut pergi.

"Aku rasa anakmu baru mengingatku, Jeff," ujar Johnny senang sembari melirik Jeffrey.

"Maafkan Jendra, Om." Jendra merasa tidak enak karena melupakan sahabat papanya.

Jika dilihat-lihat, pria paruh baya seusia papa Jendra itu memang sangat ramah 

"Nggak apa-apa. Gini saja, Om sudah seneng. Rasanya pengen Om jadikan menantu. Putri Om pasti senang bertemu kamu lagi. Yang dia rindukan dari Indonesia hanya Jendra seorang."

Senyum Jeffrey pudar. Begitu pula senyum Jendra. Jendra merasa perlu menjelaskan semuanya di sini sebelum ada kesalahpahaman.

"Maaf sebelumnya, Om. Saya merasa terhormat karena Om tertarik dengan saya dan ingin menjadikan saya menantu. Tapi, sayangnya saya sudah menikah dengan wanita pujaan saya."

Raut wajah Johnny sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan. Senyum pria itu justru tambah lebar hingga membuat Jendra kebingungan.

"Om sudah tahu," ujar Johnny tenang. "Memang sangat disayangkan kamu memilih menikah secepat itu. Lima tahun bukan waktu yang singkat, bukan? Istrimu juga mandiri dan cantik meski tidak lebih cantik dari putriku."

Jendra menelan ludahnya. Meski terkesan tenang, Jendra merasakan aura intimidasi dari pria paruh baya di hadapannya ini. Lidahnya terasa kelu untuk sekadar menjawab ucapannya. Suara tawa Johnny di akhir ucapannya membuat Jendra bergidik. Aura pria berkulit kekuningan itu memang kuat.

Dear Nana : Stuck on YouWhere stories live. Discover now