1. 5th Anniversary

2.7K 121 8
                                    

Jendra memasuki ruang keluarga yang langsung terhubung dengan meja makan itu dengan sepelan mungkin. Sudah lewat tengah malam, pantas saja semua lampu di rumahnya sudah padam kecuali lampu taman dan pantri. Ia yakin sekali jika istrinya juga sudah tidur. Jendra pun hendak melangkahkan kakinya ke lantai dua di mana kamarnya berada, tetapi langkahnya terhenti saat melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di atas meja makan. Perlahan, Jendra mendekati meja makan. Bias temaram lampu pantri membuatnya dengan jelas melihat dua porsi hidangan makan malam dan dua gelas wine yang tampaknya tak tersentuh. Di tengah semua itu, Jendra melihat sebuah kue matcha dengan tulisan cokelat putih yang mencolok.

Happy 5th Anniversary

Hati Jendra terasa tercubit. Bagaimana mungkin ia melupakan ulang tahun pernikahannya sendiri? Melihat semua hidangan di meja, Jendra yakin jika sang istri telah bekerja keras untuk semua ini. Jendra merasa menjadi pria paling brengsek. Ia melupakan hal sepenting ini dan dengan entengnya tadi sore mengatakan akan lembur lewat pesan singkat.

"Na ...." Jendra bergumam lirih, menyesali semua kebodohannya seharian ini. Sekarang ia paham mengapa sang istri terus mengingatkannya untuk pulang cepat. Jendra yang memang sedang dikejar deadline justru meninggikan suaranya tadi pagi. Bahkan, Jendra mengabaikan semua pesan dari istrinya sejak siang. Dengan perasaan bersalah yang teramat, ia pun lantas menaiki tangga dengan tergesa, bergegas menuju kamarnya.

Dengan suara sepelan mungkin, Jendra membuka pintu kamar. Dilihatnya Nana tengah tertidur pulas. Hati Jendra kembali tercubit saat melihat jejak air mata yang jelas terlihat meski kamarnya hanya diterangi lampu tidur yang temaram.

Jendra terduduk di samping Nana. Kini ia bisa melihat dengan jelas wajah sembab dan hidung kemerahan di wajah sang istri. Jendra yakin, istrinya itu pasti menangis lama.

Jendra mengusap lembut pipi Nana, takut membuat wanita itu terbangun. "Maafkan aku, Na .... Maaf."

Nana yang memang peka dengan suara dan gerakan saat tidur, langsung membuka matanya. Alisnya bertaut saat melihat suaminya terduduk di lantai yang hanya beralaskan karpet.

"Mas sudah pulang? Kenapa nggak bangunin Nana?" Nana bangkit dari posisi tidurnya. Ia pun mendudukkan diri di tempat yang sama seperti sang suami. "Ada apa, Mas? Mas capek, ya? Sudah makan? Mau Nana buatin sesuatu?"

Karena masih tidak ada jawaban dari Jendra, Nana berinisiatif membuatkan sesuatu untuk suaminya itu. Saat ia hendak beranjak dari posisinya, tangannya dicekal sang suami. Nana pun mengerutkan dahi.

"Maaf."

Kerutan di dahi Nana semakin dalam saat mendengar ucapan lirih Jendra. "Ada apa?"

Bukannya menjawab pertanyaan Nana, Jendra justru memeluk tubuh mungil istrinya. Pelukannya semakin erat seolah tak rela melepaskan wanita yang telah dikenalnya lebih dari sepuluh tahun itu.

"Mas merindukanmu."

"Eh?" Nana semakin tidak mengerti dengan ucapan suaminya. "Ada apa, sih, Mas? Mas ada masalah di kantor?"

Bukannya tanpa alasan Nana berpikir seperti itu. Ia sangat paham tekanan apa yang didapat suaminya di kantor meski suaminya itu bekerja di tempat ayahnya sendiri. Sebagai anak tunggal, beban hidup Jendra sangat berat.

Nana tidak bertanya lagi. Ia pun hanya pasrah berada di posisi seperti ini. Pelukan suaminya masih erat seolah enggan untuk melepas. Nana pun membalas pelukan Jendra, seraya mengusap lembut punggung lebar sang suami.

Setelah dirasa puas dan hatinya sedikit tenang, Jendra melepas pelukannya. Ditatapnya wajah cantik wanita yang selama lima tahun ini mendampinginya, menerimanya dengan semua kelebihan dan kekurangan, serta mencintainya dengan sepenuh hati. Wajah cantik itu tidak berubah sedikit pun, seperti sepuluh tahun lalu saat mereka pertama kali bertemu. Jendra jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis manis yang selalu tersenyum ramah kepada setiap orang itu.

"Meski sudah sedikit terlambat," Jendra menjeda ucapannya. "Happy 5th anniversary for us. Semoga kita selalu bersama, saling mencintai hingga maut memisahkan."

Mata Nana berkaca-kaca mendengar ucapan tulus suaminya. Ia tidak pernah benar-benar menyalahkan Jendra karena melupakan ulang tahun pernikahan mereka. Nana tahu jika beberapa hari belakangan ini, suaminya sering uring-uringan karena masalah kantor.

Nana menarik kedua sudut bibirnya. Melihat Jendra soft seperti ini selalu bisa meluluhkan hatinya.

"Nana mencintai Rajendra Wisnutama dengan semua kelebihan dan kekurangannya," ujar Nana lembut. "Setelah ini, mari kita berjalan di taman penuh bunga dengan senyuman."

Jendra tersenyum mendengar ucapan istrinya. Ia pun nmenyelipkan anak rambut yang sejak tadi menghalanginya memandangi wajah cantik Nana.

"Jendra juga mencintai Karina Putria dengan semua kelebihan dan kekurangannya." Jendra menatap wajah istrinya yang tampak berseri itu. "Ke mana pun Nana pergi, tangan ini akan selalu bertaut, saling menggenggam memberikan perlindungan. Jendra akan ikut ke mana pun Nana pergi."

Nana tertawa kecil mendengar ucapan suaminya. Semua ucapan suaminya itu persis dengan apa yang pria itu ucapkan saat melamarnya dulu.

"Kreatiflah sedikit, Mas. Jangan mengucapkan hal yang sama seperti lima tahun lalu."

"Bukankah Mas adalah pria yang setia? Buktinya, Mas masih ingat dengan ucapan Mas sendiri."

Nana memukul lengan berotot suaminya. Jendra memang sedikit narsis. Sejak dulu, sifatnya yang satu itu tidak pernah berubah.

"Aww, jangan bar-bar dong, Na ... sakit, nih." Jendra pura-pura meringis karena pukulan Nana yang tak seberapa itu.

"Salah Mas sendiri," ujar Nana dengan memajukan bibirnya yang justru membuat Jendra semakin gemas.

"Bibirnya dikondisikan, dong, Na ... mancing banget, deh."

Nana membelalakkan matanya mendengar ucapan Jendra. Selain narsis, suaminya itu juga terkadang tidak bisa mengontrol mulutnya. Nana pun kembali memukul Jendra dengan brutal. Kali ini dengan banyak gelitikan agar suaminya tahu rasa.

"Ampun, Na ...." Jendra benar-benar kuwalahan dengan gelitikan Nana. Ia pun meminta ampun di sela-sela tawanya karena geli oleh tangan jahil istrinya.

Bukannya prihatin dengan penderitaan sang suami, Nana justru semakin melancarkan serangannya hingga tangan Jendra berhasil mencekalnya. Mata mereka saling bertemu. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak sedekat ini. Perjalan pernikahan mereka selama lima tahun bukan tanpa masalah hingga terkadang berada pada titik jenuh. Namun, malam ini mereka menyingkirkan semua itu karena terbius dengan tatapan satu sama lain.

Jarak mereka semakin terkikis. Dengan berani, Jendra melumat bibir mungil sewarna buah persik itu. Ia tidak peduli meski posisi mereka masih di lantai beralaskan karpet bulu berwarna abu-abu. Jendra merindukan istrinya, Nananya yang manis. Ciuman itu semakin dalam. Mereka merindukan satu sama lain, merindukan semua sentuhan itu.

Jendra akhirnya melepaskan ciumannya saat merasa Nana telah kehabisan napas. Mata mereka kembali bertemu. Jendra pun seolah menuntut lebih dari ciuman tadi.

"May I?" Meski mereka sudah lama menikah, Jendra selalu meminta izin jika ingin berhubungan badan seperti sekarang.

"I'm totally yours."

Karena mendapat lampu hijau, Jendra langsung mengangkat tubuh ringan Nana ke atas ranjang, lantas melanjutkan apa yang tadi tertunda. Mereka pun menikmati malam panjang mereka dengan penuh gairah dan cinta tanpa peduli dengan apa yang akan terjadi esok hari.

***






Halo semua.... Dear Nana repost ya...





Love you all

XOXO



Dear Nana : Stuck on YouWhere stories live. Discover now