3. The Same Problem

631 70 11
                                    

Jendra memeluk pinggang ramping Nana dari belakang meski ia tahu jika istrinya itu tengah sibuk menata meja makan. Pria berusia tiga puluh tahun itu menyesap wangi lavender yang selalu bisa menghipnotisnya di ceruk leher sang istri.

"Mas menyukai wangi ini," ujar Jendra dengan mata terpejam, menghirup lamat-lamat wangi lavender dari tubuh Nana. "Jangan mengganti parfummu."

Nana terkekeh mendengar ucapan suaminya. Ia bahkan sudah menghentikan kesibukannya menata meja makan saat Jendra memeluknya dengan posesif dari belakang.

"Padahal ini parfum murahan, loh, Mas. Nana saja, kadang nggak pede kalau harus disandingkan dengan teman-teman atau keluarganya Mas."

"Tapi cocok banget buat kamu, kok. Mas suka." Jendra kembali menghirup dalam-dalam wangi tubuh Nana yang menurutnya membuat candu itu.

"Udah, ah, manja-manjanya. Udah siang, nih. Mas harus segera berangkat biar nggak kejebak macet." Nana yang sudah selesai dengan urusan meja makannya, melepaskan gelayutan manja sang suami.

"Mas hari ini bolos saja, ya. Mau berduaan sama Nana."

Ucapan Jendra berhasil membuahkan tepukan sayang dari tangan Nana di lengannya.

"Nggak usah mengada-ada. Kasihan Papa ribet di kantor sendirian."

"Karyawan papa banyak. Mas nggak ada juga nggak ada pengaruhnya."

Nana mencubit gemas pipi suaminya. Jika seperti ini, Jendra lebih mirip anak lima tahun yang sedang merengek meminta sesuatu.

"Ayo, sarapan," ujar Nana yang langsung menuntun Jendra untuk duduk di kursinya. "Nana nggak bisa menemani kegilaan Mas karena hari ini bakal sibuk banget."

Jendra mencebik pelan. "Mau sampai kapan kamu sibuk dengan kafe itu? Seharusnya kamu di rumah saja, menjadi Nyonya Wisnutama seperti Mama."

Nana mengembuskan napas panjang. Jika bahasannya tentang kesibukan dan kerjaan, pasti seperti ini. Ia sudah sangat paham saat menerima lamaran Jendra lima tahun lalu. Namun, sebanyak apa pun mereka membahasnya, tetap saja tidak menemukan penyelesaian yang memuaskan.

"Mau sampai kapan bahas itu terus? Bukankah sebelum kita menikah, Mas sudah setuju tentang ini? Ini masih pagi, loh, Mas. Nana nggak mau kita adu mulut soal ini lagi."

Jendra meletakkan sendok dan garpunya sedikit keras hingga membuat Nana kembali menghela napas panjang. Ia tahu urusannya akan panjang jika seperti ini.

"Mas ini suami kamu, Na. Mas lebih dari mapan jika hanya untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan kamu."

"Mas tahu sendiri alasan Nana mengelola kafe itu. Selama ini Mas nggak pernah protes. Kenapa sekarang jadi masalah banget?"

Jendra bangkit dari duduknya tanpa menyentuh sarapan yang sudah Nana siapkan dengan susah payah. Buruknya lagi, pria itu juga melenggang begitu saja tanpa mengucapkan salam ataupun memberi kecupan di kening seperti biasa. Nana yang melihat hal itu, hanya menghela napas panjang lantas mengembuskannya. Menghadapi Jendra yang seperti itu memang harus dengan kepala dingin. Nana sudah mengenal suaminya itu lebih dari sepuluh tahun, jadi ia sudah hafal tabiat seorang putra tunggal keluarga Wisnutama itu.

***

"Pagi-pagi wajah udah kusut aja, Bro."

"Nggak usah banyak bacot."

Dear Nana : Stuck on YouWhere stories live. Discover now