5. A Slice of Matcha Cake

446 60 1
                                    

Bibir tipis sewarna ceri itu terus menyunggingkan senyumnya tanpa kenal lelah. Nana memang selalu ramah kepada setiap orang terlebih kepada pelanggannya. Kebetulan, sekarang adalah jam makan siang sekaligus jam pulang sekolah sehingga kafenya lumayan ramai dengan muda-mudi berseragam sekolah menengah atas. Kafe yang memang terletak di daerah strategis Ibukota itu, memang selalu menjadi pilihan para anak muda. Selain itu, menu yang disajikan sangat beragam dan memang terasa enak di lidah menjadikan kafe itu sangat populer.

"Dua americano, dua matcha cake, dan satu cheesecake."

Seorang gadis dengan seragam SMA-nya menyebutkan pesanan di depan meja kasir yang saat ini dipegang Nana. Dengan cekatan, Nana mencatat menu yang disebutkan tadi lantas menotalnya.

"Totalnya 140.000," ujar Nana ramah. "Kebetulan kami sedang ada promo buy 1 get 1 untuk matcha cake."

"Wah, kebetulan kalau begitu," ujar gadis manis itu. Setelahnya, ia pun menyodorkan tiga lembar uang lima puluhan ribu kepada Nana.

Setelah memberikan kembalian dan struk kepada pelanggannya, Nana pun memberikan kode pesanan kepada pegawainya.

Beberapa kali Nana menyeka keringatnya yang membanjiri wajah serta lehernya. Wanita itu cukup lelah karena hari ini tiba-tiba banyak pelanggan yang datang. Meski begitu, Nana tidak pernah mengeluh. Justru wanita itu sangat bahagia melihat wajah-wajah bahagia para pelanggan yang menikmati cake buatannya.

"Kak Nana istirahat dulu. Biar aku yang menggantikan."

Nana tersenyum atas tawaran Diana, salah satu pegawainya. "Kamu duluan saja. Sekalian ajak Rendra. Dari tadi dia sudah uring-uringan karena stok cokelat belum dikirim."

"Iih... mana berani aku ngajak Kak Rendra. Kak Nana suka gitu, deh."

Nana terkekeh geli mendengar gerutuan pegawainya itu. Diana menyukai Rendra. Sejak pertama kali gadis itu menjadi pegawai paruh waktu, ia sudah menyukai sosok Rendra. Narendra Wijaya, pria yang selalu blak-blakan, memiliki kesabaran setipis kertas, tetapi perhatian itu sanggup mencuri hati Diana. Semua yang punya mata pasti bisa melihat bagaimana gadis itu menyukai Rendra. Memang dasarnya Rendra saja yang kurang peka atau memang tidak mau tahu.

"Kalau emang serius sama Rendra, pepet terus. Dia memang gitu orangnya. Asal kamu tahu, zaman kuliah dulu Rendra banyak yang naksir. Tapi ya memang gitu orangnya. Terlalu dingin sama orang lain."

"Tapi Kak Rendra selalu hangat di dekat Kak Nana. Dia bahkan sering menampilkan senyum mahalnya."

Nana tersenyum melihat wajah cemberut Diana. Gadis itu terlihat masih polos meski sudah di tingkat akhir kuliah.

"Rendra teman Kak Nana sejak lama. Wajar kalau dia gitu," ujar Nana lembut. "Sudah jangan bahas cowok nggak peka itu lagi. Cepat sana istirahat. Nanti kita gantian."

"Ada apa nyebut-nyebut nama gue?" Cowok yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan tiba-tiba muncul dari dapur.

Tubuh Diana mengkerut mendengar suara kecil milik Rendra. Sebelum semakin gugup, ia pun segera melesat menuju ruang istirahat pegawai tanpa berani menatap pria yang disukainya itu.

"Ada apa lagi sama anak itu?" tanya Rendra heran yang langsung dihadiahi Nana dengan pukulan di lengan.

"Dia sudah dewasa asal lo tahu. Jangan anggap dia anak kecil."

"Emang bener, kan? Lihat saja tingkahnya. Persis sama anak 5 tahun."

Nana kembali memukul lengan Rendra. "Jangan sembarangan, Ren."

"Sakit, Na ...," keluh Rendra. "Bar-bar banget, sih, jadi cewek. Gimana Jendra bisa tahan sama sikap lo, sih?"

Nana kembali memukul lengan Rendra, mengabaikan rintihan cowok berambut cepak itu. "Gue bar-bar cuma sama lo. Nyebelin banget, sih."

Rendra terkekeh melihat wajah cemberut Nana. Sahabatnya itu memang tidak pernah berubah. Bagi Rendra, Nana adalah wanita pertama yang sanggup meluluhkan hatinya. Meski tak dapat memiliki wanita berkulit putih itu, Rendra tetap bersyukur dengan hubungannya sekarang. Setidaknya Nana masih berada di jangkauan matanya.

"Eh, Na. Cake buatan gue kemarin gimana? Cocok di lidah suami lo nggak?"

Rendra bersumpah melihat sesaat raut kecewa di mata Nana, tetapi wanita bersurai panjang itu segera mengubah ekspresinya. Senyum cerah terbit di bibir mungilnya dengan cepat.

"Cake lo enak, kok. Malah Jendra sampai muji-muji gitu. Lain kali gue sendiri yang buat deh. Gue nggak rela suami gue muji-muji lo," ujar Nana dengan tawa kecil. Ia sama sekali tidak berani menatap mata Rendra langsung.

Rendra tahu jika apa yang keluar dari mulut Nana tidak sesuai dengan apa yang wanita itu rasakan. Ia tahu jika akhir-akhir ini rumah tangga sahabatnya itu tengah terguncang. Namun, Rendra bisa menahan diri untuk tidak ikut campur terlalu jauh. Sebelum Randra tahu sendiri dari mulut Nana, ia tetap bersikap seolah-olah tidak tahu. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah menjadi Rendra, sahabat Nana yang selalu bisa menghibur dengan mulut tajamnya.

"Ren, lo gantiin Diana dulu, ya. Di dapur belum ada kerjaan, kan?"

Rendra pun mengangguk. Ia tahu jika Nana berusaha mengalihkan pembicaraan.

Nana masih menyunggingkan senyum manisnya. "Untunglah pelanggan sudah agak sepi. Kita jadi bisa bersantai sebentar."

"Na ...."

"Hmm ...."

"Nggak apa-apa," ujar Rendra cepat. "Gue mau americano, dong."

Nana terkekeh pelan. "Buat sendiri kan bisa."

Rendra mengerutkan bibirnya. "Gue mau americano buatan lo. Sudah sana cepetan. Ini sebagai bayaran cake buatan gue kemarin."

"Ck, perhitungan banget. Pelit." Meski menggerutu, Nana tetap saja membuatkan apa yang Rendra mau.

Rendra tersenyum melihat tingkah Nana. Meski tidak tahu masalah sebenarnya yang tengah dipikirkan sahabatnya itu, setidaknya Rendra bisa sedikit menghiburnya di kafe yang telah mereka rintis sejak zaman kuliah itu.

***

"Kamu pikir ini jam berapa? Pantaskah seorang wanita yang sudah bersuami pulang hingga larut seperti ini?"

Suara tegas Jendra menghentikan langkah Nana. Wanita berkulit putih itu meremat tali tas selempangnya. Pukul sebelas malam. Ia tahu akan mendapat marah suaminya saat hendak pulang tadi. Nana memberanikan diri mengangkat wajahnya untuk bisa melihat suaminya langsung. Mata yang biasa tersenyum itu kini berkilat marah. Jendra memang jarang sekali menunjukkan emosinya. Semarah-marahnya Jendra, ia hanya akan diam. Namun, kali ini berbeda. Jendra dengan suara berat dan tegasnya adalah salah satu yang paling Nana takuti.

"Maaf," ujar Nana lirih.

"Kamu tahu bagaimana cemasnya Mas menunggumu pulang? Ponselmu sama sekali nggak bisa dihubungi. Demi Tuhan, Na ... ini sudah jam sebelas malam. Ke mana saja kamu?"

"Tadi Nana harus mengurus logistik yang baru datang dan kebetulan ponsel Nana kehabisan daya."

"Besok, jangan ke kafe lagi."

Keputusan sepihak Jendra membuat Nana membulatkan matanya tak percaya. "Nggak bisa gitu, dong, Mas."

"Mas suamimu, Na. Mas berhak melarangmu melakukan hal yang nggak berguna."

"Nggak berguna bagaimana? Kafe itu adalah impian Nana sejak lama. Mas nggak bisa melarang Nana melakukan sesuatu yang Nana sukai."

"Terserah." Setelahnya, Jendra meraih kunci mobil di meja, lantas berjalan menuju garasi.

"Mau ke mana, Mas? Sudah malam." Nana berusaha mencegah suaminya.

"Mas ingin mendinginkan pikiran. Minggir sebelum Mas bertindak kasar."

Nana terdiam. Suaminya benar-benar pergi dan meninggalkannya sendirian. Tanpa bisa ditahan, air mata itu langsung mengalir dari kedua manik Nana. Wanita itu terduduk di lantai ruang keluarga dengan isak pilu yang menggema. Nana lelah. Sungguh, Jendranya telah berubah. Pria hangat yang dulu sanggup membuatnya jatuh cinta, kini perlahan hilang entah ke mana.

***














Thanks for reading

Love you all

XOXO

Dear Nana : Stuck on YouWhere stories live. Discover now