2. The Past (1)

1.1K 91 18
                                    

"J, bantu gue, dong ...."

Juan yang sejak tadi diganggu dengan rengekan Jendra sudah sangat kesal. Sepupunya itu memang suka memaksa. Sebagai anak tunggal, Jendra selalu mendapatkan semua keinginannya. Jika tidak dituruti, ia akan berubah menjadi orang paling menyebalkan di dunia, seperti sekarang ini.

"Apaan, sih, Jen? Lo bisa ke sana sendiri terus kenalan sama Nana."

Jendra menautkan alis. "Nana? Bukannya namanya Karina?"

Juan menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Berbicara dengan Jendra memang harus dengan kesabaran ekstra. "Namanya memang Karina. Nana itu panggilan kesayangan orang-orang terdekatnya saja."

"Berarti lo dekat banget sama dia, dong? Lo nggak suka sama dia, kan?"

Juan menatap Jendra kesal. "Itu mulut kalau ngomong bisa dipikir dulu, nggak? Asal nyerocos saja. Jangan ngasal."

Jendra hanya meringis melihat kekesalan saudara sepupunya itu. Namun, Jendra tidak boleh menyerah. Remaja tujuh belas tahun itu sudah terlanjur jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini adalah kali pertama bagi Jendra. Biasanya, gadis-gadis rela antre untuknya. Namun kini, ia harus bersusah payah hanya demi Karina.

"Bantuin gue, dong, J ... please ...."

Juan membuang napasnya kasar. Jika sudah seperti ini, ia tidak bisa menghindar lagi atau Jendra akan terus mengganggunya. Juan sudah terlalu hafal dengan saudaranya itu.

"Gue bakal bantu," ujar Juan yang langsung disambut dengan sorakan Jendra. "Tapi-"

"Kok ada tapinya, sih, J?"

Juan memberi Jendra tatapan tajam karena berani memotong ucapannya. Jendra menutup mulutnya dengan isyarat tangan. Anak itu pun akhirnya kembali diam dan mendengarkan Juan dengan tenang karena tidak ingin lagi menguji kesabaran sang sepupu.

"Gue nggak ingin hubungan gue sama Nana hancur karena ini. Jika nantinya Nana terlihat nggak nyaman, gue bakal nyetop semuanya. Sampai sini lo paham, kan?"

"Kok gitu, sih, J ...."

Juan menghela napas panjang lantas berdiri dari posisi duduknya. Ia pun berjalan membelakangi Jendra, beranjak menuju balkon kamar yang tepat menghadap rumah sederhana Nana. Pandangan remaja tujuh belas tahun itu menerawang.

"Gue sama Nana sudah kenal sejak kecil. Dia adalah teman bermain sekaligus orang yang paling ingin gue lindungi. Hidupnya nggak mudah. Gue adalah saksi saat Nana menumpahkan banyak air matanya. Yang lo lihat di sekolah adalah Nana dengan sisi yang berbeda. Dia akan seperti itu dengan orang yang nggak dekat atau orang baru."

Jendra mendekati Juan, berdiri di samping saudara sepupunya itu. Pandangannya ikut mengarah pada rumah sederhana yang terlihat nyaman dan damai di hadapannya. Pepohonan yang lumayan rimbun, membuat siapa pun yang melihatnya menjadi rileks.

"Jujur sama gue. Apa lo pernah menaruh hati pada Nana? Menganggapnya lebih dari sekadar tetangga samping rumah?" Jendra mengalihkan pandangannya, menatap Juan dengan serius. Hilang sudah semua ekspreai jenaka yang sejak tadi ditampilkan Jendra. Tampaknya, remaja itu sudah paham bahwa Juan tidak bercanda soal kedekatannya dengan Nana.

Pertanyaan Jendra jujur saja mengusik nurani Juan. Apa iya perasaannya sudah berubah untuk Nana? Kenapa hal itu sangat mengganggunya?

"J—"

"Nana punya tempat tersendiri di hati gue," ujar Juan cepat sebelum Jendra menyelanya. "Lo nggak akan paham, bagaimana dan sejauh mana hubungan kami."

"Lo suka ke Nana? Cinta?" tanya Jendra hati-hati. Meski ada rasa tidak suka saat Juan berbicara tentang Nana seolah-olah dialah yang paling mengerti gadis itu, Jendra tetap harus memastikan. Jendra memang selalu mendapatkan apa yang ia mau. Namun, ia tak sampai hati melukai hati saudaranya sendiri.

Dear Nana : Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang