8. Terasa Berbeda

425 50 13
                                    

Jendra termenung di dalam mobilnya. Meski sudah satu jam lalu sampai rumah, Jendra tidak langsung keluar mobil dan masuk ke dalam. Masih terlalu pagi untuk memulai hari. Ia pun tidak mau mengganggu Nana yang mungkin masih terlelap di bawah selimut tebalnya. Pikiran Jendra menerawang, mengingat malam panasnya dengan Giselle.

Jendra tersenyum tipis. Ia sama sekali tidak menyangka kehadiran Giselle bisa membuatnya bahagia seperti ini. Rasanya sudah lama sekali perasaan dan pikirannya seringan ini. Jendra sangat bergairah semalam. Kenangan manis bersama Giselle berputar begitu saja di kepala Jendra. Giselle tidak pernah berubah. Gadis itu masih sangat menyenangkan seperti dulu.

Senyum di bibir Jendra pudar. Perasaan aneh macam apa ini? Apakah hatinya masih memendam rasa kepada Giselle? Jendra menyentuh dada kirinya. Detaknya begitu cepat saat ia mengingat tentang Giselle. Bahkan, ia masih bisa merasakan sentuhan lembut wanita itu. Suara lembut Giselle saat memanggil namanya, membuat Jendra membayangkan sensasi luar biasa yang ia dapatkan semalam. Pikirannya benar-benar penuh dengan wanita cantik berkulit putih itu.

Tok tok

Ketukan di kaca mobilnya membuyarkan lamunan Jendra. Ia pun menghela napas panjang lantas membuangnya kuat-kuat sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Wajah panik Nana langsung menyambutnya saat Jendra keluar. Meski begitu, Jendra masih terlihat tenang seolah tak terjadi apa pun.

"Berapa lama di mobil? Kenapa nggak langsung masuk? Mas nggak apa-apa kan?"

Jendra menerima berondongan pertanyaan dari istrinya. Ia mengembuskan napas lelah sebelum menjawab semua itu.

"Masih terlalu pagi dan Mas nggak mau ganggu istirahat kamu," jawab Jendra seadanya.

Nana mengembuskan napas penuh kelegaan. "Nana sudah panik saat melihat mobil Mas sudah terparkir, tapi Nana belum melihat Mas sama sekali."

"Ck, jangan berlebihan, Na." Jendra menjawabnya sambil lalu hingga membuat Nana mengerutkan dahi.

Jendra melangkahkan kaki mendahului Nana memasuki rumah. Pikirannya kacau. Ia tidak mau memulai pertengkaran sepagi ini.

"Berlebihan gimana, sih, Mas? Mas masih marah soal kemarin?" Nana tidak melepaskan Jendra begitu saja. Sebelum mendapatkan jawaban, ia akan terus mengejar suaminya itu.

"Jangan mulai, Na." Jendra malas menanggapi protes istrinya.

"Dengerin Nana dulu, Mas!" Tanpa sadar, Nana meninggikan suara hingga membuat Jendra menghentikan langkahnya. Ia sadar telah melakukan kesalahan besar. Wanita berambut panjang itu menggigit bibirnya saat mata sang suami menatapnya tajam.

"Berani sekali membentak suamimu sendiri, Karina Putria," ucap Jendra dengan suara rendah yang menakutkan. "Jangan pernah meninggikan suara di hadapanku!"

"Maaf," sesal Nana. Namun, sepertinya Jendra sama sekali tidak tersentuh. Hatinya sudah ditutupi amarah. Pria itu menatap Nana datar, lantas melenggang begitu saja meninggalkan Nana yang kini hanya mematung di tempatnya.

Selama lima tahun berumah tangga, Jendra sama sekali tidak pernah berkata dingin kepada Nana. Suaminya itu juga tidak pernah marah atau berkata kasar kepadanya. Semua telah berubah. Nana kira, setelah semalam pergi, amarah Jendra sudah mereda. Namun, prasangka baik Nana tidak menjadi kenyataan. Suaminya masih bersikap dingin. Matanya penuh dengan amarah.

"Sebesar itukah kesalahan Nana kali ini hingga nggak bisa termaafkan?" Tubuh Nana merosot ke lantai. Tangisnya tiba-tiba pecah begitu saja. Air mata yang sejak semalam ia tahan, akhirnya keluar tanpa terkendali. "Apa yang harus Nana lakukan? Bagaimana ini?"

***

Jendra melepas kancing kemejanya dengan brutal. Sungguh mood-nya hancur pagi ini. Ia merasa Nana telah berubah. Sejak menikah lima tahun lalu, istrinya itu sama sekali tidak pernah meninggikan suara. Wanita itu selalu menurut apa yang Jendra ucapkan. Namun, apa-apaan tadi? Istrinya itu sudah berani membentak dan mendebatnya. Jendra tak habis pikir dengan perubahan sikap Nana. Ia pun curiga dengan pergaulan istrinya. Pasti ada yang membawa pengaruh buruk buat Nana.

Pria berambut cepak itu mendengus kesal. Sebelum pikirannya kemana-mana dengan spekulasi liar, Jendra harus segera mendingingkan kepalanya. Ia harus mandi dan bersiap. Hari ini akan menjadi hari yang panjang. Ada proyek baru yang harus ia tangani. Ptoyek ini digadang-gadang menjadi poin penting bagi Jendra untuk mendapat kepercayaan penuh dari dewan direksi dan para investor. Papanya sudah memperingatkan sejak lama bahwa siap tidak siap, Jendra yang akan menggantikan posisi papanya di perusahaan keluarga itu.

Tak butuh waktu lama, Jendra sudah siap dengan setelan kantor. Pria bermata sipit itu menuruni tangga dengan jas yang tersampir di lengan kanannya. Sedangkan tangannya sibuk merapikan dasinya. Dari atas, Jendra sudah melihat siluet sang istri yang tengah sibuk menata meja makan. Namun, ia masih kesal dengan perdebatannya tadi sehingga memilih untuk tidak menyapa.

"Mas, nggak sarapan dulu?"

Jendra menghentikan langkahnya. Niat hati ingin pergi tanpa berpamitan karena tidak ingin kembali berdebat, tampaknya tidak bisa. Nana terlalu peka.

Dengan berat hati, Jendra pun balik badan, menatap istrinya yang terlihat seperti ibu rumah tangga yang baik dengan gaun rumahan yang sederhana.

"Mas akan sarapan di kantor." Jendra masih belum bisa meredam amarahnya. Tanpa sadar, kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu dingin dan tajam.

"Mas...."

"Hari ini Mas pulang malam. Jangan menunggu."

Jendra berbalik, meninggalkan Nana yang masih mematung di tempatnya. Wanita itu terkejut dengan sikap dingin suaminya pagi ini. Ia merasa kesalahannya tidak keterlaluan. Namun, kenapa suaminya itu masih marah? Seingat Nana, Jendra tidak pernah membentak ataupun marah kepadanya. Jendra selalu menegur dan menasihatinya dengan lembut. Nana seperti tidak mengenal suaminya lagi. Pikiran buruknya meliar. Apakah Jendra sudah tidak mencintainya lagi?

Suara dering ponsel kembali menyadarkan Nana. Wanita cantik itu menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan. Dahi Nana berkerut saat melihat nama yang tertulis di layar ponselnya. Meski sedikit heran, Nana mengenyahkan semua pikiran buruknya. Ia pun segera menggeser ikon hijau di layar.

"Halo, Mah," ujar Nana dengan suara senormal mungkin agar mertuanya tidak curiga dan berpikir macam-macam. "Mas Jendra sudah berangkat ke kantor."

Nana menggigit bibir bawahnya. Selalu seperti ini. Ibu mertuanya itu hanya menanyakan Jendra ketika menelepon. Ia tidak pernah dianggap sedikit pun. Meski sudah lima tahun seperti ini, tetapi Nana sama sekali tidak pernah terbiasa.

"Iya, Mah. Nanti Nana—"

Nana menurunkan ponselnya, lantas menatap layarnya yang telah berwarna gelap. Helaan napas panjang kembali terdengar. Ibu mertuanya itu selalu saja memutus sepihak komunikasi mereka. Bahkan sebelum Nana menjawab ucapan sang mertua.

Wajah Nana memanas dengan mata yang memerah karena menahan air mata agar tak terjatuh. Wanita itu pernah berjanji untuk tidak menangis lagi pada mendiang ibunya. Nana sudah berjanji untuk selalu tersenyun dan bahagia dalam keadaan apa pun. Ia sangat sadar akan konsekuensi yang harus didapat saat memutuskan menerima lamaran seorang Rajendra Wisnutama. Ini adalah hidup yang Nana pilih. Jadi, atas dasar apa ia menangisi sesuatu yang dengan kesadaran penuh dipilihnya?

***









Thanks for reading
Love you all
XOXO

Dear Nana : Stuck on YouWhere stories live. Discover now