45. The Wedding

449 50 8
                                    

Halo semua...

Nana datang lagi.

Jangan lupa vote dan komentarnya
Ditunggu banget, loh

***

Nana memasuki area pesta seperti biasa, memasang senyum terbaiknya, seraya menyapa tamu undangan yang memang sebagian besar keluarga suaminya. Wanita cantik bergaun putih tulang itu kemudian berjalan ke arah stan makanan ringan yang memang menjadi tanggung jawabnya.

"Gimana, Ren? Masih aman, kan?" tanya Nana begitu melihat Rendra meletakkan satu nampan cheesecake untuk ditata para pelayan di sana.

"Semua aman," jawab Rendra meyakinkan. "Mending lo duduk saja, deh. Tempat lo bagian depan sana, kan? Bareng mertua lo? Urusan di sini, biar gue yang handle."

Nana tersenyum haru. "Thanks, Ren. Kalau nggak ada lo, pasti berantakan semua."

Rendra berdecih sebal. "Kalau lo nggak ngerengek minta bantuan dengan kantung mata besar dan lingkaran hitam di sekitar mata, gue mana sudi bantu acara konyol ini," ujarnya sinis. "Selama gue hidup, baru kali ini gue ngelihat seorang pria nikahin wanita lain padahal istrinya masih hidup dan sehat wal afiat."

Nana tersenyum maklum. Ia tahu kalau sejak awal, Rendra memang tidak suka dengan acara ini. Rendra, si pria baik dengan mulut pedas, sebenarnya tidak ingin Nana terluka lebih dari sebelumnya.

"Jangan marah-marah terus, Ren. Cepat tua, baru tahu rasa." Nana mencoba membuat Rendra rileks dengan sedikit menggoda pria itu.

"Tua? Apa itu tua? Wajah imut kayak gini, sih, awet muda," jawab Rendra percaya diri. "Si Jendra tuh yang bakal cepet tua. Hobinya kawin."

Nana memukul pelan pundak Rendra. "Sembarangan banget kalau ngomong."

Rendra meringis mendapat pukulan lima jari Nana. Wanita di sampingnya itu memang suka terlihat bar-bar di hadapannya. Meski begitu, Rendra tersenyum tipis. Setidaknya, ia masih bisa melihat Nananya yang dulu. Rendra bahkan rela menjadi samsak wanita itu jika dengan begitu ia bisa melihat wajah kesal Nana. Bagi Rendra, Nana jauh terlihat cantik dan manis jika sedang kesal. Rendra lebih memilih melihat Nana marah-marah tak jelas daripada melihat wanita itu menitihkan air mata.

Rendra menghentikan tawanya. Tiba-tiba tatapannya berubah sendu. Maniknya menatap Nana sendu. Ia tahu jika wanita berkulit putih cenderung pucat itu tidak baik-baik saja seperti kelihatannya.

"Na…."

"Hmmm."

"Are you okay?" tanya Rendra cemas.

Nana tersenyum lembut, mencoba meyakinkan sahabatnya itu. "Gue baik-baik saja, Ren," jawabnya. "Lagian, lo ngapain, sih, tanya-tanya terus. Urus nih snack-nya."

"Mata lo nggak bisa bohong kayak mulut lo, Na."

Senyum Nana pudar. Ia pun menatap Rendra dengan manik hitamnya yang terlihat sedikit bergetar.

"Kalau gue bilang hati gue sakit, tetep nggak bakal mengubah semua ini, kan?" ujarnya lirih, tetapi dengan suara bergetar seperti menahan isakan. "Hanya ini yang bisa gue lakuin buat ngehibur hati gue. Lo, Juan, pegawai kita, dan semua pelanggan kafe adalah orang-orang yang gue harapkan bisa membuat gue tenang."

Nana menjeda ucapannya, menghela napas dalam-dalam. Susah payah wanita itu menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Jika lo sama Juan mandang gue dengan rasa kasihan, gimana gue akan kuat? Gue bakal jatuh dan hancur," ujar Nana melanjutkan. "Terserah lo mau menganggap gue wanita gampangan atau bodoh setelah ini. Yang gue lakukan saat ini adalah sesuatu yang benar menurut gue."

Dear Nana : Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang