57. Does True Love Exist?

344 49 13
                                    

Mentari telah terbenam di peraduannya. Sang dewi malam pun telah menampakkan kecantikannya. Purnama sungguh indah dipandang mata untuk hati yang tengah gundah. Namun sayang, Nana tak bisa menikmati semua keindahan dari Tuhan itu. Malam ini wanita bergaun merah muda itu tampak sibuk dengan beberapa piring di tangan mungilnya. Ia sudah tak mempedulikan dengan riasan yang mungkin sudah luntur karena keringat. Meski diadakan di tempat terbuka, entah mengapa, Nana merasa gerah sekali.

"Na, tolong bawakan dua piring lagi daging ke meja keluarga Tan, ya." Suara nyaring perintah Rosi membuat Nana bergegas kembali ke stan barbeque.

Mama mertua Nana memang meminta beberapa orang untuk menjadi pelayan di pesta ini, tetapi jumlahnya sangat kurang. Nana yang memang pada dasarnya baik hati, ikut turun tangan membantu para pelayan yang juga terlihat kewalahan.

Nana merutuki kebodohannya memilih sandal dengan sol yang cukup tinggi. Hal ini menyulitkannya melangkah di rerumputan. Beberapa kali ia hampir terjatuh karenanya. Ingin rasanya melepas alas kakinya itu. Namun, ia urung melakukannya demi kesopanan.

Setelah meletakan dua piring daging panggang di meja keluarga Tan, Nana sudah tak tahan lagi. Ia pun melepas sepatu hak tingginya dan berganti dengan sandal rumahan yang disambarnya sari samping rumah yang ia tak tahu itu kepunyaan siapa. Setelah selesai dengan urusan sandal, Nana juga mengikat rambut panjangnya. Pilihan menggerai rambut di acara seperti ini adalah kesalahan besar. Rambut panjangnya sedikit mengganggunya saat berjalan dan menunduk.

Setelah selesai dengan beberapa perintah dari mama mertuanya, Nana akhirnya bisa kembali duduk di samping Jendra. Tanpa sadar, wanita itu menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan keras. Ia pun menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya. Rasanya melelahkan. Nana ingin sekali pesta ini cepat selesai dan merebahkan punggungnya yang telah pegal ke kasur.

Tanpa Nana sadari, dua pasang mata memperhatikannya sejak tadi. Jendra yang kini duduk di sampingnya dan Juan yang kebetulan duduk di meja sampingnya. Kedua pria itu menatap Nana dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Na, meja Tante Freya minta daging lagi. Tolong ambilkan, ya."

Baru saja Nana duduk dan hendak menyantap hidangannya, mama mertuanya kembali memberinya perintah. Nana tersenyum lebar. Meski tubuhnya lelah, ia tidak bisa menolaknya. "Iya, Ma," jawabnya lirih.

Saat Nana hendak berdiri, tangan kekar suaminya mencekal tangan Nana. Pandangannya tajam seolah tak mengizinkan istrinya itu beranjak dari sana.

"Nana bukan pelayan, Ma. Jangan nyuruh-nyuruh Nana lagi," ujar Jendra tegas. "Masih ada orang yang bisa Mama mintai tolong, kan? Nana adalah nyonya rumah ini. Nggak seharusnya dia turun tangan melayani para tamu."

"Justru karena itu, Jen. Nana harus bisa melayani tamu dengan baik. Nyonya rumah ini ada dua. Giselle sedang hamil. Ya hanya Nana yang harus melakukannya." Rosi tak mau kalah dengan putranya.

"Tapi, Ma—"

"Mas... Nana nggak apa-apa," potong Nana cepat sebelum suaminya menjadi pusat perhatian di pesta ini. "Mama benar. Biar Nana melayani para tamu. Hitung-hitung, Nana mengakrabkan diri dengan mereka. Toh, mereka adalah saudara-saudara dan teman-teman Mas Jendra, kan?"

Nana melepas cekalan tangan Jendra. Wanita bermata bulat itu tersenyum kepada suaminya, kemudian beranjak dari mejanya, menyisakan Jendra yang masih menatapnya penuh arti.

Di meja lain, ada beberapa pasang mata yang juga memperhatikan drama rumah tangga Jendra itu. Mahen, Hana, dan Chandra hanya bisa terdiam. Mahen yang sejak tadi sudah mengepalkan tangannya, tak mampu berbuat banyak untuk bisa menolong Nana. Begitu pula Hana. Istri Mahen yang tengah hamil tujuh bulan itu pun hanya bisa mengelus perutnya sembari menatap Nana dengan penuh iba. Ia tak menyangka sahabatnya akan diperlakukan seperti itu. Sedangkan Chandra, hanya bisa merutuki kebodohannya karena dulu sempat mendukung Jendra bermain api dengan Giselle.

"Selera makanku mendadak hilang meski di sini ada banyak makanan yang lezat." Ucapan Hana membuat Mahen dan Chandra mengalihkan pandangan kepadanya. "Jika nggak lihat dengan mata kepalaku sendiri, aku nggak akan percaya dan tahu kalau kehidupan seorang Nyonya Wisnutama ternyata seberat ini."

"Yang—"

"Jendra itu, orangnya gimana, Yang? Kenapa dia diam saja saat melihat Nana diperlakukan seperti itu?" Hana memotong ucapan Mahen hingga membuat pria itu gelagapan. Jendra adalah sahabatnya dan di sisi lain, Nana adalah adik kelas kesayangannya. Posisi Mahen sangat sulit. Ia juga sudah menasihati Jendra berkali-kali, tetapi diabaikan pria bermata sipit itu.

"Entahlah, Yang," jawab Mahen sekenanya. "Kita nggak bisa ikut campur terlalu jauh. Aku sudah pernah mengatakannya kepada Jendra. Tapi pria itu memang bebal."

"Jendra nggak punya pilihan lain." Chandra ikut menimpali. "Giselle hamil. Pak Jeff juga selalu mendesaknya untuk menikahi Giselle. Kalian tahu akar masalahnya, kan?"

"Jika perkara Nana bukan selevel dengan mereka, bukankah itu seharusnya selesai dengan Nana yang sekarang berhasil mengelola kafenya dengan baik? Nana punya bakat alami seorang pengusaha. Seharusnya keluarga Wisnutama senang mendapat menantu seperti Nana."

Chandra menggelengkan kepalanya, tanda kurang setuju dengan ucapan Hana. "Nggak cuma itu," ujarnya serius. "Masalah terbesarnya adalah anak. Nana nggak bisa memberi Jendra keturunan."

Hana menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan ucapan Chandra. "Nana nggak mandul. Jangan sembarangan bicara, Chan."

"Gue nggak asal ngomong," bantah Chandra. "Jendra yang cerita sendiri ke gue. Nana memang nggak mandul, tapi dia sulit hamil. Hanya keajaiban yang bisa membuat Nana hamil."

"Teknologi sekarang sudah maju. Gue pikir, masalah anak ini nggak seharusnya menjadi alasan membenarkan perselingkuhan." Hana tidak terima dengan ucapan Chandra. "Ada bayi tabung, kan? Jendra brengsek kalau memang nggak mencoba itu."

"Mereka sudah melakukannya diam-diam," ujar Chandra. Matanya melirik kepada Mahen yang sejak tadi hanya diam. "Suami lo juga tahu. Nana dan Jendra sering bolak-balik Jakarta Singapura untuk itu. Tapi, hasilnya nihil."

"Kita nggak bisa ikut campur lagi, Yang," ujar Mahen lirih. "Mereka sudah dewasa dan bisa menilai benar salah keputusan yang mereka ambil. Sebagai teman, kewajiban kita hanya mengingatkan. Jika itu nggak bisa mengubah keputusan mereka, apa mau dikata. Yang pasti, kita hanya bisa mendoakan semoga pilihan mereka ini adalah yang terbaik."

Hana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia bisa merasakan neraka apa yang sedang dialami Nana sekarang. Dahulu, Hana juga pernah berada di posisi Nana. Namun bedanya, sang suami selalu berada di sisinya, mendukung semua yang dilakukannya.

Mahen mengusap air mata yang jatuh di pipi sang istri. "Jangan menangis. Nana is the strongest woman we've ever known, isn't she?"

Hana mengangguk kemudian menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. "Jangan pernah tinggalin aku, Yang," ujarnya lirih.

Mahen mengecup puncak kepala istrinya. "I never do that."

"I love you."

"I love you, too."

Chandra mengabaikan sepasang suami istri yang tengah bermesraan di sampingnya itu. Pandangannya lurus kepada Nana yang terlihat masih sibuk wara-wiri dengan piring atau nampan di tangannya. Wanita itu terlihat sangat kepayahan, tetapi senyum di bibirnya tak pernah luntur.

Saat dulu Jendra mengenalkan Nana sebagai calon istrinya, Chandra terkejut. Ia sangat hafal selera sahabatnya itu. Nana bukanlah tipe gadis yang biasa Jendra kencani. Namun, ucapan Jendra tatkala itu membuat Chandra mengubah cara pandangnya.

"Meski trek record gue nggak bagus, gue yakin Nana adalah pelabuhan terakhir gue. Jika nanti lo ketemu sama gadis yang tepat, lo juga bakal ngerasain apa yang gue rasakan sekarang."

Chandra percaya begitu saja dengan ucapan Jendra. Namun, yang dilihatnya sekarang sungguh ironis. Dalam kepala Chandra, terus berputar sebuah pertanyaan yang sama. Apakah cinta sejati itu benar-benar ada? 

***










Thanks for reading

Love you all

XOXO








...

Dear Nana : Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang