73. Nana's Angry

429 43 16
                                    

Nana menyunggingkan senyum saat menatap Giselle yang tampak serius melakukan yoga untuk ibu hamil di rumah bersama Jendra. Perut yang semakin membesar dan usia kehamilan yang sudah memasuki trimester ketiga membuat pergerakan Giselle terbatas. Karena itulah, Giselle dan Jendra memutuskan memanggil instruktur yoga secara privat ke rumah demi kenyamanan dan keamanan.

Nana yang melihat aktivitas Giselle dan Jendra dari kejauhan ikut merasakan kebahagiaannya. Giselle memang sangat menyukai yoga. Wanita cantik yang tengah hamil tujuh bulan itu sangat menikmati setiap gerakan yang dilakukan bersama sang suami.

"Bu Nana kenapa nggak ikut masuk saja? Di sini panas, loh. Biar saya saja yang menyelesaikan semuanya."

Nana menoleh dan menatap Mang Ucup. Bibirnya melengkungkan senyum kepada si tukang kebun yang sangat ramah dan ringan tangan itu.

"Saya di sini saja, Mang. Mau nemenin Mang Ucup ngurus bunga-bunga itu," jawab Nana dengan senyum lebarnya. Matanya bahkan sampai menyipit karena saking lebarnya senyum yang diberikan kepada si tukang kebun. Ia memang rutin membantu Mang Ucup merawat taman kecil di samping rumah. Selain karena memang suka bunga, Nana melakukan itu untuk melepas stresnya. Berada di rumah seharian dengan akses yang dibatasi oleh Jendra, cukup membuat Nana jenuh. Sebelum pikirannya kacau karena sering berdiam diri, akhirnya Nana ikut melakukan semua pekerjaan rumah termasuk membersihkan dan merawat taman kecil di samping rumah.

"Nanti Bu Nana bisa item kayak saya kalau terus-terusan kena matahari. Bu Nana yang cantik malah nggak cantik lagi."

Nana tersenyum mendengar gombalan tukang kebunnya. Meski bukan nyonya rumah ini, Nana lumayan dekat dengan semua pekerja di sana. Nana yang memang sering rumah dan berinteraksi dengan mereka membuat hubungan kedekatan mereka terjalin.

"Kulit Mang Ucup itu eksotis, loh. Asli Indonesia banget," puji Nana sembari mengacungkan kedua jempolnya.

Mang Ucup tertawa dan tersipu malu mendengar ucapan sang nyonya. "Ah, Bu Nana bisa saja," ujarnya malu-malu. "Kulit gelap kayak gini, eksotis dari mananya?"

Nana tertawa kecil melihat ekspresi tukang kebunnya itu. Mang Ucup yang seusia Papa Jeff itu, sudah Nana anggap seperti ayah sendiri. Pria asli Tasikmalaya itu memang sengaja merantau ke Jakarta demi anak istri. Nana pernah sekali bertemu dengan keluarga Mang Ucup yang datang berkujung ke Jakarta karena putrinya sedang libur sekolah.

"Gimana kabar Ririn, Mang?" Nana mencoba mengubah topik pembicaraan, tetapi tangannya masih sibuk mencabuti rumput liar di sekitar bunga-bunga lili kesayangannya.

"Sudah mulai ujian-ujian di sekolah, Bu," jawab Mang Ucup.

Nana menghentikan pekerjaannya. Ditatapnya pria paruh baya di hadapannya yang sama-sama berjongkok karena membersihkan rumput liar. "Gimana dengan tawaran saya? Sudah Mang Ucup pikirkan?"

Mang Ucup menghentikan kegiatannya. Tatapannya menerawang. Beberapa bulan lalu saat istri dan putri Mang Ucup berkunjung, Nana sempat menawarkan beasiswa untuk putri satu-satunya Mang ucup itu. Nana merasa, sangat rugi jika menyia-nyiakan kepintaran Ririn. Mang Ucup dan istrinya memang berniat menyuruh putrinya itu langsung bekerja saja setelah lulus SMA. Nana yang menangkap raut kecewa Ririn pun menawarkan beasiswa itu. Ia tahu perasaan gadis berusia tujuh belas tahun itu. Ririn sebenarnya ingin kuliah, tetapi keadaan tidak mendukungnya. Akhirnya, ia hanya menuruti apa yang dikatakan kedua orang tuanya.

"Bagaimana, Mang?" tanya Nana lagi untuk memastikan. Ia tahu Mang Ucup tengah bimbang. Namun, demi masa depan Ririn, Nana harus terus mendesak tukang kebunnya itu.

"Saya sama istri merasa nggak enak sama Bu Nana," ujar Mang Ucup ragu. "Jadi, kami, teh, nggak bisa terima tawaran itu."

Nana mengerutkan dahinya. "Kenapa nggak diterima, Mang? Jangan merasa nggak enak. Semua pekerja di sini juga menerima hal yang sama, kok," ujar Nana tak terima dengan keputusan tukang kebunnya itu. "Saya dulu pernah berada di posisi seperti Ririn. Hanya demi kuliah, saya rela melakukan apa saja termasuk bekerja paruh waktu. Saya juga mengajukan beberapa beasiswa untuk meringankan semua biaya kuliah yang waktu itu memang sangat mahal bagi saya."

Dear Nana : Stuck on YouWhere stories live. Discover now