40. The Invitation

341 45 12
                                    

Halo semua...

Mana suaranyaaa

Jangan lupa vote dan komen

Tandai typo, ya

Happy reading....

***






Juan melakukan kesalahan berkali-kali saat pengambilan gambar. Ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Tidak seperti biasanya, Juan merasa hatinya tidak tenang dan amarahnya yang seolah mendesak untuk keluar.

"Lo mikirin apa, sih, J? Katanya nggak mau berlama-lama, tapi malah lo yang bikin ini molor." Suara lantang sang sutradara membuat semua yang ada di sana terdiam.

"Maafin J, Bang. Kali ini dia bakal serius." Gian, manajer Juan, yang menjawab ucapan sang sutradara.

"Bilang sama artis lo. Setelah ini, jangan ada kesalahan lagi. Gue nggak peduli mau dia model papan atas atau anak pemilik manajemen, selama dia kerja bareng gue, dia harus profesional." Sang sutradara membanting naskah yang sejak tadi dipegangnya. "Istirahat tiga puluh menit!"

Setelah mengeluarkan semua emosinya sang sutradara keluar dari tempat syuting dan diikuti oleh beberapa kru lain. Juan yang masih diam, memilih untuk mendudukkan diri di sofa hijau yang memang disediakan di sisi utara studio. Punggungnya ia sandarkan ke sofa, sedangkan tangan kanannya diangkat untuk menutupi matanya.

Gian duduk di samping artisnya, kemudian mengembuskan napas panjangnya kasar. "Lo kenapa, sih, J? Ada masalah?" Kali ini Gian tidak memakai emosi. Dia sangat hafal sifat Juan. Sudah dapat dipastikan, artisnya itu memang sedang banyak pikiran atau ada masalah serius.

"Gue butuh ketenangan," jawab Juan. "Sebaiknya lo pergi beliin gue americano. 6 shot tanpa gula."

Meski Gian berdecih, tetap saja dia pergi dari sana untuk membelikan apa yang Juan mau. Gian sudah hampir lima tahun ini menjadi manajer Juan. Ia sudah paham sifat artinya itu. Meski suka berkata dingin dan ketus, Juan bukan orang yang kejam. Artisnya itu adalah pria paling lembut dan penyayang menurut Gian. Jadi,  sikap dingin Juan hari ini sangat bisa dimaklumi olehnya.

"Bisa kita bicara sebentar, J"

Juan mendesah pelan, kemudian menurunkan tangannya yang sejak tadi menutupi mata. Dari suaranya sana, ia sudah tahu siapa yang mengajaknya bicara.

"Ada apa?" tanya Juan datar. "Masih ada beberapa menit waktu istirahat. Jangan menggangguku."

Giselle menghela napas panjang, lantas mengembuskannya. "Aku rasa kita perlu bicara serius. Empat mata."

Juan masih bergeming. Matanya tajam menatap Giselle.

"Aku tidak mau syuting kita berantakan. Jadi, ayo bicara." Giselle berbalik meninggalkan Juan terlebih dahulu. Ia sangat yakin sepupu Jendra itu pasti mengikutinya. Benar saja Juan memang mengikutinya sampai di area balkon belakang studio.

"Cepet katakan. Aku nggak ada waktu." Juan berkata dingin dengan kedua tangan dimasukkan saku celana.

Giselle kembali membuang napas. Memang bicara dengan Juan harus ekstra sabar. "Kamu membenciku?"

Juan melirik Giselle sinis. "Masih tanya?"

"Atas dasar apa?" Mata Giselle sudah berkaca-kaca.

Juan menghadap Giselle, menatap wanita itu tajam. "Nggak sadar diri?" ujar Juan sinis. "Kamu tahu siapa Jendra, kan? Pria yang akan menikah denganmu itu sudah punya istri."

Dear Nana : Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang