72. Desas-desus

332 53 20
                                    

Diana kembali membuang napas panjangnya. Hari masih pagi, tetapi entah sudah berapa kali gadis cantik itu membuang napas. Tatapannya kosong dan pikirannya menerawang entah ke mana.

"Sia-sia banget hidup lo pagi ini. Sudah berapa keberuntungan yang lo buang dengan seperti itu?"

Lamunan Diana buyar setelah mendengar ucapan sinis bosnya. Rendra, pria tampan yang disukai Diana, entah sejak kapan datang dan berdiri tepat di sampingnya membuat Diana gugup.

"Eh, maksud Kak Rendra?" tanya Diana polos.

Rendra membuang napas seperti yang tadi dilakukan Diana. Bicara dengan Diana memang selelah ini. "Kata orang, kalau sering buang napas, kita juga buang keberuntungan pada hari ini. Ngerti, kan?"

Diana mengernyit bingung. "Itu kan kata orang? Kak Rendra percaya yang gituan?"

Ingin rasanya Rendra berteriak dan berkata kasar. Namun, ia sadar diri dengan siapa ia berbicara. Meski dengan tingkat kepekaan di bawah rata-rata dan lemot luar biasa, Rendra tetap bisa bersabar menghadapi gadis cantik itu. Rendra yang terkenal memiliki kesabaran setipis kertas, tiba-tiba bisa menjadi pria penyabar dan lembut di hadapan Diana. Entah apa yang terjadi dengan dirinya, Rendra pun tak mengerti.

"Daripada lo ngelamun dan bicara macem-macem, mending lo bantu-bantu di belakang. Besok ada pesanan banyak." Rendra mengalihkan pembicaraan. Pria tampan bertubuh mungil itu sudah tidak tahan lagi jika terlalu lama berbicara dengan Diana. Gadis manis itu sangat tidak baik untuk debaran jantungnya. Rendra bisa gila jika terus-terusan menatap wajah cantik dan polos itu. Ia masih gengsi untuk mengakui perasaannya. Setidaknya, Rendra harus memastikan apa yang ia rasakan adalah cinta. Rendra tidak mau nasib pernikahannya akan seperti pernikahan Nana. Ia takut jika nantinya harus menyakiti hati gadis sebaik dan sepolos Diana.

Dengan patuh, Diana melakukan apa yang diperintahkan Rendra. Meski terkadang cerewet dan suka berbicara out of topic, Diana termasuk pegawai yang cekatan dan terampil. Keahliannya membuat pastri sudah Rendra akui. Sama halnya dengan Nana dahulu, Diana sekarang sedang kuliah dengan mengambil jurusan tata boga. Selain itu, untuk menambah keterampilannya, Diana juga mengikuti kursus masak yang biasanya dilakukan setiap akhir pekan. Meski sibuk, Diana tidak pernah mengeluh dan absen berangkat kerja. Kegigihan gadis cantik itu lambat laun meluluhkan kekerasan hati Rendra.

Rendra kembali mendesah pelan. Untuk sesaat, ia lega karena Diana sudah jauh dari jangkauannya. Jika ada Nana, Rendra pasti sudah habis diolok-olok. Ah... Rendra jadi rindu sahabat sekaligus cinta pertamanya itu. Akhir minggu ini, Rendra sudah berencana mengunjungi Nana dengan membawa makanan favoritnya. Jika tidak, Juan akan marah-marah kepadanya dari negeri seberang. Meski tak langsung bertatap muka, Rendra tetap bergidik mendengar omelan Juan.

Lamunan Rendra buyar saat mendengar lonceng yang ia pasang di pintu depan kafe berbunyi, menandakan ada pelanggan datang. Rendra sudah siap menyunggingkan senyum terbaiknya, tetapi ia urungkan saat melihat siapa sosok yang datang itu. Meski Rendra baru satu atau dua kali bertemu, ia tidak lupa dengan wajah dua sahabat Jendra. Rendra memang tidak pernah berselisih dengan keduanya, tetapi amarahnya tiba-tiba memuncak saat menemukan sesuatu yang berhubungan dengan Jendra.

"Selamat siang... selamat datang di Paradise. Bisa saya catat pesanan Anda?"

Rendra bisa bersikap profesional. Meski hatinya tengah berkecamuk, Rendra tetap menyunggingkan senyum dan menyapa kedua pelanggannya ramah.

"Kami tahu ini tidak sopan dan terlalu mendadak, tapi bisakah kita bicara sebentar? In private."

"Apa tujuan kalian datang ke sini? Jendra yang menyuruh kalian?"

Chandra yang sejak tadi diam mendecak kesal. Jika Rendra memiliki kesabaran setipis kertas, kesabaran Chandra hanya setipis kulit ari buah salak. "Lo, tuh, punya kuping, nggak, sih? Bang Mahen tadi sudah bilang kalau mau bicara!"

Dear Nana : Stuck on Youحيث تعيش القصص. اكتشف الآن