IMPIAN

23 0 0
                                    

Hugo mengenakan jasnya kembali setelah makan siang selesai. Merapihkan meja lalu mendekati Vihana yang juga sedang menyiapkan prsentasi. Ini akan menjadi persentasi pertama di meja rapat nanti. Ia hanya tahu satu tim boleh memiliki ide berbeda. 

Vihana memiliki beberapa gambaran di kepala. Rumah seseorang yang pernah mengundangnya ke Jakarta. Ia menggambarkan karakter orang itu yang menyukai barang-barang mahal. Dingin dan tipe pemaksa begitulah yang mengendap di otak Vihana saat merancang rumah dalam map berwarna kuning tembus pandang. 

Hugo duduk santai menghadap layar  ukuran 1.85;1 dengan rasio 16,9 dalam ruangan kedap suara. Mereka menepati meja bagian tengah persegi panjang. Sementara di belakang meja rapat terdapat banyak kursi yang biasa digunakan untuk acara perusahaan. 

Hugo belum membuka suara begitu juga Vihana yang duduk di sampingnya. Masih memperhatikan apa yang sedang di jelaskan tim pengembang. 

Beberapa model bangunan satu persatu di munculkan. Tampak Hugo masih berpikir beberapa kali meremas mulutnya kasar. Lalu membuka suara. 

"Apa hanya ini yang bisa anda pamerkan ke saya? Anda itu satu tim seharusnya semua ikut andil. Masing-masing harus menujukan gambar biar bisa saya pilih." 

Setelah itu Hugo diam tanpa ekpresi. Tidak lama ia bersuara bernada emosi sambil menaruh kertas kasar di hadapannya sampai Vihana kaget dan kesal. 

"Perbaiki dan buat sebanyak mungki."

Suara ketukan pintu menyadarkan mereka yang ada di meja rapat. Ketika pintu terbuka, Adam tergopoh-gopoh menyerahkan usb warna hitam pada ketua tim lalu duduk di kursi kosong. Menunggu usb menampilkan gambar rumah tiga lantai moderen bergaya Eropa. 

Atap segitiga lancip silver dengan jendela besar persegi panjang menuju balkon. Terlihat dinding-dinding corak garis seperti pahatan di papan jati. Dinding berwarna putih, taman hijau luas tiap sudut pohon cemara dan pohon baugenville putih dan ungu saja. Vihana akan menambahkan jika ada masukan dari anggota tim. 

Jika biasanya rumah model seperti ini untuk menyongsong empat musim di Eropa. Bagi Vihana yang ingin ia dapatkan ketika memasuki kawasan ini untuk menyambut kehangatan keluarga dan musim yang kerap terjadi di Indonesia. Tidak lupa Vihana berencana membuat sungai di sekelilingnya dan sebuah jembatan untuk sampai kawasan hunian ini. 

Vihana mendengus kesal kenapa gambar itu ada pada Adam. Sementara ia hanya membawa salinan berupa rancangan pada kertas-kertas polio. Ia berusaha merebutnya dengan ekpresi malu. 

Terlihat Hugo sangat puas dengan hasilnya. Ia begitu menikmati hasil rancangan Vihana. Hugo tak perlu bertanya karya siapa itu. Terlihat jelas di bawah seluruh gambar nama Paradilla Vihana tersemat. Gadis membonceng pria di sepeda adalah gambar yang pernah dilihatnya di kamar Vihana. 

Hugo mendekati Vihana yang masih mematung di belakang ketua tim. Dengan berani Hugo mencium pucuk kepala gadis itu yang masih kesal pada Adam. 

Adam menanggapi hanya dengan senyuman. Lalu diakhiri suara penyemangat. 

"Nggak ada yang salah. Gambarmu bagus sepertinya itu impianmu." Senyumnya mengembang membuat Vihana makin malu. 

"Kembalikan...," katanya dengan lemah. 

Hugo menarik tubuhnya kembali ke kursi. Lalu bertanya apa saja yang ingin ditambahkan oleh tim. Jika ia tidak mau pun gambar Vihana sudah bagus. 

"Hana, coba cerita tentang gambarmu itu lebih detail." 

Pada awalnya gadis itu sangat semangat. Tujuannya adalah membuka prestasi paling belakangan. Tapi karena bocor duluan Vihana belum siap. 

Mata Hugo menguncinya hingga akhirnya Vihana berani presentasi sendiri dan yang lain merasa puas.


BERDAMAI DENGAN MASA LALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang