RASA ENGGAN MELEPAS

20 0 0
                                    

Hugo tampak segar sedang berkutat di dapur menyiapkan sarapan sesuai keinginan Vihana. Pagi ini ia membuat vasta jamur di tambah burger ayam yang diracik sendiri olehnya. 

Dapur modern, cantik elegan didominasi warna hitam putih. Epek pencahayaan yang terang-benderang sangat asri di penglihatan. Membuat siapa pun betah lama-lama memasak di dapurnya.

Vihana menyusulnya ke dapur. Hugo sudah tahu kedatangannya dari pantulan kaca yang ada di sekelilingnya. 

Dengan rambut basah menetes-netes Vihana mendekat. Tanpa aba-aba memeluk pinggang Hugo membenamkan wajahnya di punggung pria itu. Ia belum mengerti dengan perubahan sikapnya yang tak biasanya memeluk dari belakang. Hugo pun terkekeh sambil mencibir.

"Et. Kenapa ini? Tumben kaya gini?" 

Vihana belum menjawab apapun atas pertanyaan Hugo. Ia terpaksa mematikan kompor sesaat, membalikan tubuhnya mengangkat dagu Vihana yang tampak tak bersemangat. 

"Kenapa? Katanya minta dibuatkan vasta?"  

"Hana takut kalau kaka nggak ada." 

 "Cuma sehari. Nanti sore sudah balik lagi, Hana." 

"Terimakasih, ya. Sudah baik sama Hana selama ini." 

"Iya, Hana. Saya akan berikan apapun buat kamu. Asal--." Hugo tak melanjutkan ucapannya. Ia mengerucutkan bibirnya menarik tubuh Vihana merapat. 

"Asal, apa? Kalau ngomong yang jelas!" sembur Vihana menyewotkan suara. Cebikan pipinya membuat Hugo terkekeh lagi. 

"Sabar, donk." 

"Nggak sabar nie. Nanti keburu jantung Hana jatuh, Ka." 

"O, ya?" Ugh. Vihana menoyor dada bidang di hadapannya. 

"Tetap bersama kaka, hem." 

"Pasti." Ups! Setelah kata-kata itu meluncur Vihana menyesalinya. Bagimana mungkin ia begitu pasti dirinya tidak akan meninggalkan Hugo. 

Ia begitu malu menyembunyikan wajahnya di dada Hugo yang sudah mulai menyalakan kompor. Walau tangan kirinya tetap memeluk Vihana. 

Gadis itu mulai menggeser tubuhnya. Ada rasa enggan melepas pelukan Hugo yang hangat. Rambut basahnya tak lagi dirasa dingin. 

"Sudah sholat subuh?" 

"Sudah. Ini kan, sudah hampir jam enam," jawabnya memonyongkan bibirnya.

"Ya, sudah. Mau bantuin nggak? Kalau nggak duduk di sana."

"Oke." 

Tanpa ba bi bu Vihana meninggalkan dapur menuju meja makan yang sudah tertata rapi oleh bibi. 

Dari meja makan Vihana tak henti melihat aktivitas pria itu, cekatan sebentar kemudian sudah menuju ke arahnya membawa piring besar. Piring mereka yang sudah ada namanya masing-masing dan poto-poto kota di Dunia yang ingin mereka kunjungi bersama.  

Tembok Berlin tercetak di piring Vihana. Gambar berwarna hitam kuno sangat indah. Vihana sangat menyukai piringnya. 

Sementara tembok Cina tercetak di piring milik Hugo. Gambar berwarna merah cirihasnya Cina. 

Vihana mulai sarapan dengan meminum susu. Lalu kemudian pirin vasta jamur dan burger di lepaskan dari tangan Hugo dengan manis. 

"Sajikan biasa aja kali. Nggak perlu semanis itu," sindirnya. 

"Nanti kalau kasar, terus pecah bisa merengek seharian. Kaka nggak jadi pergi, donk. Nanti." 

"Nggak bakalan!" dengus Vihana mencebikan bibirnya. Ucapannya mulai naik satu oktaf. 

BERDAMAI DENGAN MASA LALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang