MUNGKIN

11 0 0
                                    


Setelah semua meninggalkan ruang rapat Hugo juga Vihana belum juga beranjak. Hugo masih memperhatikan wajah gadis itu yang terus menundukan kepala seolah tidak mau menatapnya. Ia berniat mengajak bicara bahwa prentasinya bagus dan akan segera di realisasikan di kota Malang. Ia berharap rapat besok di Surabaya menghasilkan kesepakatan. 

"Kenapa menunduk terus. Nggak PD, ya?" tanya Hugo mendekati Vihana. 

"Hem," jawab Vihana singkat.

"Gambarnya bagus pasti ada kisah di balik gambar itu, kan?"

"Iya." Kembali Vihana menjawab singkat. Tidak mau berbohong memang itu kenyataannya ia sedang mencari seseorang yang ditemuinya beberapa tahun silam. Vihana juga tidak mungkin menceritakannya pada Hugo menurutnya sangat rumit. 

"Pasti spesial, ya." 

"Mungkin." 

"Mungkin? Itu bukan jawaban yang pas." 

"Terus tepatnya?" Bukannya menjawab pertanyaan Hugo Vihana malah bertanya balik. Ia belum paham special yang dimaksud Hugo. Mungkin iya mungkin juga tidak mengingat dirinya mencari tahu tentang pria itu saja sudah di luar kendali.

Hugo kembali mengejarnya dengan berjalan cepat menarik tangan gadis yang selalu dirindukannya padahal dia satu ruangan dengannya.

Gadis itu mengeluh dalam dekapannya. Lekas membalas mengeratkan tangannya sambil berkata. "Apaan sih kaka ini. Nggak juga, ah." Vihana sewot Hugo seperti sedang menyelidiki dirinya dan itu bukan urusan Hugo. 

"Ko, marah. Cuma nanya, Hana."

"Nggak marah. Bagimana bisa marah sama Kaka, ya." Vihana mendongak sambil menarik bibirnya sangat manis menggoda mata Hugo. 

"Apa ini? Kamu sedang menggoda kaka?" Tak ayal tangan Hugo terulur untuk mencubit pipi kempot bermata sipit cemerlang yang berjarak beberapa inci dari wajahnya. Melepaskan pelukannya kembali melanjutkan langkah melewati ruang karyawan menuju ruang kerja mereka. 

Waktu sudah menunjukan jam empat sore Vihana mulai merapikan meja kerjanya. Ia mengelap mejanya seperti biasa sebelum pulang sementara Hugo masih sibuk di meja sampingnya. 

Vihana meninggalkan kursi kebesarannya duduk-duduk di sofa dengan nyaman sampai Hugo melihat ke arahnya dan bertanya. 

"Mau nunggu sampai malam, hem?" 

"Nggak Hana pulang sendiri, tapi mau istirahat dulu." 

"Oke. Nanti makan malam ditemani Bibi aja, ya. Kaka nggak bisa nemenin," kata Hugo menyesal tidak bisa menemaninya malam ini dikarenakan pekerjaannya masih menumpuk. 

"Tenang aja Hana nggak bakal kelaparan apalagi sekarang sudah punya uang sendiri, kan." 

"Iya, baiklah Hana memang sudah kaya sekarang jadi saya tidak perlu takut lagi kamu terlantar." 

Kata-kata Hugo sangat mengganggu dipendengaran Vihana. Gadis itu bangkit dari duduknya memeluk erat pria di balik meja tak jauh dari tempatnya duduk. 

"Berkat kaka Hana bisa begini. Semua karenamu, Ka." 

"Berkat kegigihanmu. Tanpa kemauan semua tidak mungkin terwujud." Hugo mengusap-usap kepala gadis itu dengan lembut. Tidak terasa Vihana mulai mengantuk. Kepalanya mulai lemah di bahu Hugo membuat pria itu tersenyum lalu berdiri perlahan menahan bobot tubuh Hana membawanya ke ruang pribadinya yang berada di balik lukisan besar. Tidak ada yang tahu jika di balik lukisan besar itu adalah sebuah pintu. Kecuali Adam dan orang kepercayaan Hugo. Lukisan sepasang merpati sengaja Hugo samarkan. 

BERDAMAI DENGAN MASA LALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang