6

47 9 7
                                    

WULFER MELIHAT WARNA MERAH.

Warna itu menodai seluruh tubuhnya. Seluruh pakaiannya basah dan lengket oleh merah itu. Dia meraba wajahnya dan mendapati merah itu berpindah ke kedua telapak tangannya yang gemetar. Dia menatap sekeliling dan menyadari suasana pucat dan mencekam yang familiar.

Hutan Putih.

Sejak kapan dirinya berada di sini?

Wulfer bersumpah pada dirinya sendiri tak akan pernah menginjakkan kaki ke tempat terkutuk ini, lantas mengapa--

Terdengar suara rintihan dari suatu arah.

Suara itu terdengar seperti...

"Eber...?" panggil Wulfer awalnya ragu, namun ketika menyadari suara itu memang benar milik adiknya, kepanikan dan ketakutan memenuhi setiap inci tubuhnya dan Wulfer berteriak, "Eber?!"

Wulfer berjalan menembus kabut tebal, entah mengapa tak sanggup melangkahkan kaki dengan lebih cepat, seolah-olah kabut itu zat padat yang menghalangi. Suara itu semakin lama semakin jelas, dan tidak salah lagi, itu memang milik Eberulf. Wulfer meraung putus asa, "EBER?!"

Wulfer akhirnya menemukan sosok Eber, tergolek tak berdaya di atas tanah pucat hutan itu.

"Eber!" Wulfer berlutut di samping tubuh terbaring sang adik, dia tak berani menyentuhnya, khawatir warna merah itu mengotori Eber, "Apa yang terjadi?!"

Eber membuka matanya, sepasang iris merah itu balas menatapnya. Hanya saja, sorotnya tidak dikenali Wulfer. Tak nampak setitikpun kehangatan di dalamnya. Itu sorot yang membekukan tulang. Perlahan, bibir pucat Eber terbuka membentuk kata-kata.

"Ternyata mereka benar."

Wulfer memandanginya kebingungan.

Eber berbisik.

"Kami tak dapat mempercayaimu."

Wulfer menggeleng-geleng, "Tidak."

"Kau selamanya tidak akan pernah bisa melarikan diri."

"Itu tidak benar. Aku--"

"Kau adalah monster."

"TIDAK!" Wulfer menggeram, geraman dalam dan kasar dan tidak terdengar seperti suara normalnya. Wulfer menunduk, mendapati cakar-cakar tajam pada jemari kaki dan tangannya, seluruh bulu hitam yang menutupi tubuhnya. Sejak kapan dia--?

Eber tertawa. Dari tawanya, mengalir warna merah yang serupa dengan yang menyelimuti Wulfer. Dari ujung-ujung matanya. Dari dalam telinganya. Dari pori-porinya...

"Eber!"

"Bunuh aku, Wulfer!"

"Tidak!"

"BUNUH! AKU!"

"TIDAK!!!"

Wulfer menyaksikan dunia berputar ketika kursi yang tengah didudukinya terjatuh ke belakang membawa serta dirinya, memecahkan kesunyian di dalam perpustakaan mansion keluarga Leanders dengan bunyi gedubrakan bising.

Wulfer merangkak kepayahan di lantai kayu berpelitur, merasakan kepalanya seperti mau pecah. Dia mencengkeram kemeja di dadanya, tempat jantungnya dentum-dentum liar dan tak terkendali. Napasnya memburu, seluruh tubuhnya gemetar dan banjir keringat.

Jangan sekarang!

Dengan mengerahkan segenap kekuatan dan konsentrasi, Wulfer melawan rasa sakit di dadanya, menekannya dan memaksanya kembali tenggelam ke dasar. Menimbulkan efek samping yang tidak disangka-sangka. Dia bangkit dengan susah payah dan terseok-seok ke arah jendela, buru-buru membukanya dan muntah-muntah hebat ke halaman berumput di luar.

Wulfer : The Black Snout [Leanders Series]Where stories live. Discover now