16. SENIN YANG ANEH PART B

1.3K 147 2
                                    

"Sebenarnya, gue punya salah apa sih sama lo?" tanya Dinda heran. Mengapa banyak siswi yang tak menyukainya.

"Salah lo? Lo nggak tahu lo salah apa, hah?" Tika mendorong-dorong pundak Dinda dengan mata melotot. "Lo itu sombong! Sok cantik! Sok pintar!"

Dinda melangkah mundur akibat dorongan Tika. Kalau boleh jujur, ia memang sangat membanggakan kepintarannya dan merasa tak memerlukan bantuan orang lain. Tapi ia tak pernah merasa cantik karena ia tak begitu memedulikan penilaian orang terhadap penampilannya.

"Berhenti!" cegah Ana tak terima, melihat Dinda diintimidasi.

"Siapa lo? Pahlawan kesiangan?" tantang Tika.

Ana berdiri di depan Dinda, lalu melihat Tika dengan tatapan berani. Tak ada setitik pun rasa takut di sorot matanya.

"Minggir lo!" Tika mencoba menyingkirkan Ana, namun tak bisa.

Sama seperti Hasan, Ana juga jago karate dan cukup sering menjuarai sejumlah pertandingan. Latihan fisik sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari. Tak heran jika Tika tak mampu menyingkirkannya dengan mudah.

"Apa ini akhlak remaja Islam?" tanya Ana. "Kalau ada masalah sama Dinda, bukankah bisa dibicarakan baik-baik?"

Tika memutar malas kedua bola matanya. "Kenapa sih hari ini gue harus ketemu sama orang-orang yang sok agamis?"

"Aku nggak sok agamis. Aku cuma nggak suka ada kekerasan di sekolah," bantah Ana.

"Ana, minggir lo! Gue nggak butuh bantuan lo!" ujar Dinda yang sukses membuat sejumlah siswi yang menonton seketika menganga tak percaya.

Ya! Begitulah sifat Dinda. Karena dia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, ia selalu merasa bisa melakukan semuanya sendiri dan menganggap orang lain adalah beban yang harus dihindari. Terlebih lagi, dia paling tidak suka hutang budi dengan menerima pertolongan dari orang lain.

"Si Dinda sombong amat nggak mau ditolongin."

"Iya. Gue juga nggak habis pikir kenapa dia nggak mau ditolongin."

"Udah jelas dia dibully Tika, kakak kelas penguasa sekolah. Eh giliran ada yang nolong, malah nolak. Aneh banget!"

Itulah sejumlah opini-opini yang terlontar dari mulut para siswa-siswi yang saat itu berada di perpustakaan. Ana melihat ke sekeliling, beberapa siswi berbisik satu sama lain, mulai berpendapat sesuka hati.

"Lo lihat? Nih orang nggak mau lo tolongin! Jadi minggir lo!" bentak Tika.

"Iya. Minggir sana!" ujar Dinda turut mengusir Ana. "Gue nggak suka kalau ada orang yang ikut campur sama urusan gue."

Dengan berat hati, Ana menepi, lalu berjalan menghampiri Hasan yang berdiri di dekat rak buku koleksi Matematika. Kini Hasan dan Ana hanya menjadi penonton sama seperti siswa-siswi yang lainnya. Kebetulan guru penjaga perpustakaan sedang tidak masuk sekolah karena sakit pasca melahirkan.

"Oke. Gue akui kalau gue sok pintar. Tapi kenyataannya gue emang pintar, kan? Salah gue apa ke elo?" tanya Dinda melipat tangan. "Apa gue pernah ngejelek-jelekin elo? Apa gue pernah mukul elo? Enggak, kan? Kita bahkan belum pernah kenal sebelumnya!"

Remaja Bertato Dalam Pelukan BundaWhere stories live. Discover now