[PRELUDE 5] - Gentala Adiyaris

2.3K 257 26
                                    

PRELUDE 5 : Gay

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PRELUDE 5 : Gay

•••

Gue pernah punya anggapan kalau mungkin gue orang paling nggak punya gairah hidup di dunia, saking emang malasnya gue bergaul dengan dunia luar.

Bokap pernah sampai bertanya pada gue ketika teman-teman sekolah gue yang lain sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri untuk ujian perguruan tinggi, mereka les sana sini, begadang demi bisa menyelesaikan satu soal dengan baik, sedangkan gue setiap harinya hanya sibuk di kamar, main game, tiduran, baca komik, nonton film, atau yang paling sering, keluar dengan bawa kamera dan hunting dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya, ke kota satu ke kota yang lainnya.

"Kamu emang nggak akan kuliah?" begitu bokap bertanya pada gue. Masih gue ingat, wajahnya lelah, sedikit frustrasi, dan agak khawatir juga.

Gue anak tunggal. Satu-satunya harapan keluarga. Nyokap punya bisnis makanan ringan yang pengirimannya sudah sampai luar kota, sedangkan bokap cuma pegawai kantor biasa walaupun jabatannya nggak bisa dibilang biasa.

Gue nggak pernah dimanja—lebih tepatnya gue nggak merasa kalau orangtua gue sedang memanjakan gue. Gue diberi uang saku ala kadarnya, cukup untuk makan siang, isi bensin, dan dikumpulkan untuk keperluan pribadi. Tapi mereka memang selalu mengusahakan menuruti apa pun kemauan gue—yang menurut mereka baik. Seperti laptop baru, ponsel baru, kamera baru, lensa baru, sampai software untuk kepentingan edit.

Mereka tahu gue suka fotografi. Mulai dari lewat ponsel, sampai akhirnya dibelikan kamera profesional dengan lensa mahalnya. Mereka nggak pernah sekalipun membatasi semua hal yang gue suka. Mereka mendukung dan memberi jalan. Jadi, ketika bokap bertanya perihal kuliah pada gue—yang gue tahu ada harapan besar yang tertanam di sana, gue sedikit takut.

Takut mengecewakan mereka.

Akhirnya gue memilih nggak menjawab, kembali pada ponsel. Gue berharap, bokap tahu jawaban gue kalau gue memang nggak tertarik sekolah lagi setelah lulus SMA. Dan gue juga berharap, gue nggak mengecewakannya.

Bokap nggak pernah berteriak pada gue kalau gue buat kesalahan. Bokap nggak pernah menuntut gue untuk selalu dapat nilai bagus di sekolah dan dapat peringkat terus—pun ketika nilai rapor gue jelek, bokap nggak pernah mengomeli gue.

Ketika gue tanya pada nyokap soal itu, nyokap jawab, "Papa maunya kamu bahagia."

"Mungkin Papa tahu kalau otak Genta nggak pernah bisa diajak belajar, makanya Papa nggak pernah nuntut Genta buat dapet nilai bagus. Iya, kan?"

Nyokap tertawa. "Papa tahu batasan soal anaknya. Papa tahu kamu nggak suka belajar atau menghafal, jadi kalau Papa maksa kamu buat belajar biar dapet nilai bagus, itu pasti bakal nyiksa kamu. Dan Papa nggak pengin itu."

Ingatan soal jawaban itu membuat gue akhirnya melontarkan pertanyaan sebelum bokap pergi meninggalkan gue di ruang tengah setelah gue nggak menjawab pertanyaannya, "Papa maunya Genta kuliah atau nggak? Kalau Papa mau Genta kuliah, Genta bakal kuliah. Tapi jangan nyuruh Genta buat kuliah di kampus negeri, soalnya nggak sanggup buat ujiannya. Ya ... kecuali Papa mau ngeluarin uang lebih biar Genta ikut Seleksi Mandiri, tapi emang mahal banget."

Ruang KosongWhere stories live. Discover now