[EPISODE 27] - Walk With You

982 176 25
                                    

Lingga tahu, sampai kapan pun Sashi akan tetap berada jauh di atasnya. Dalam segala hal.

Sashi punya dua orangtua yang siap memberikan apa pun yang perempuan itu butuh. Lingga tidak.

Sashi punya keluarga yang akan melindunginya dari segala apa pun yang membahayakan. Lingga tidak.

Sashi memulai kuliahnya di usia dua puluhan dengan orangtua yang siap membiayainya bahkan jika perempuan itu mengatakan akan lanjut ke pendidikan yang lebih tinggi lagi. Sedangkan Lingga harus banting tulang bekerja sejak usianya belasan untuk tetap bisa bayar SPP tepat waktu.

Meski sudah tak menjadi atlet yang selalu menambah pundi-pundi tabungannya, Sashi punya dua apartemen mewah, sebidang tanah, dan harta lainnya yang akan mencukupi kebutuhan hidupnya sampai tua. Sedangkan Lingga harus tetap bekerja dan memastikan pemasukan kafe bergerak naik terus untuk tetap bisa makan enak dan uang asuransi sang nenek yang dia pakai seluruhnya untuk kafe itu tidak sia-sia.

Sashi punya segalanya, bisa mendapatkan segalanya dengan mudah. Lingga masih harus berjuanh mati-matian.

Sejak awal, sejak mereka bertemu pertama kali, mereka sudah berbeda. Sashi adalah putri kerajaan yang tinggal di istana, sedangkan Lingga adalah tukang kebun kerajaan yang tidur di kamar sempit bersama tikus-tikus.

Tapi, sejak awal pula, Lingga tak pernah meminta apa pun dari Sashi, tak pernah mengemis apa pun meski tahu perempuan itu akan dengan mudah memberikan apa yang Lingga pinta. Lingga tak pernah memanfaatkan keadaan karena berteman baik dengan Sashi, si putri kerajaan.

Selama lima belas tahun terakhir, Lingga hanya pernah satu kali meminta sesuatu pada Sashi, dengan permohonan yang amat dalam.

Ketika neneknya meninggal.

Saat itu, Sashi sedang berada di mobil bersama rombongan atlet lainnya menuju bandara. Mereka akan terbang ke Spanyol untuk satu pertandingan tenis, dan ketika itu ponsel Sashi berdering. Lingga meneleponnya untuk yang pertama kali setelah sekian lama—biasanya Sashi yang selalu menelepon lebih dulu, Lingga selalu tidak punya pulsa, dan jika Lingga menelepon lebih dulu, dia takut mengganggu waktu latihan Sashi.

Senyum Sashi mengembang. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat panggilan tersebut. Berpikir bahwa Lingga akan menyemangatinya sebelum keberangkatannya karena jika Sashi sudah berada di negara lain, mereka untuk sementara tidak berkomunikasi.

Tapi yang terjadi setelah itu, adalah sebaliknya. Suara tangis Lingga terdengar, membuat senyum Sashi luntur.

"Sashi, tolongin gue …. Nenek nggak mau buka matanya." Untuk pertama kalinya Lingga meminta pertolongan pada Sashi. "Sashi …, Nenek nggak napas. Tolongin gue …. Nenek nggak mau bangun padahal gue udah teriak-teriak panggil dia. Sashi …. Tolong …."

"Lingga—" Telepon terputus.

Berbarengan dengan itu, rombongan sampai di bandara. Mereka harus segera turun, mengecek kembali barang bawaan mereka sebelum melalukan check in, lalu bersama-sama masuk ke pesawat. Sayangnya, Sashi justru sibuk menelepon kembali Lingga yang tak kunjung menjawab panggilan teleponnya. Dia panik dan juga khawatir, nyaris menangis.

"Sashi …." Lalu pelatihnya menghampiri. "Ada apa? Ada yang ketinggalan?"

"Aku mau pulang." Dia berusaha pergi, menarik kopernya untuk menjauh dari sana, menyebabkan teman-teman atlet yang lain menatapnya dengan bingung.

Sashi membenci tenis, tapi sampai detik itu dia tidak berusaha untuk keluar dari sana, tidak sekalipun berusaha mangkir dari jadwal bertandingnya, tidak sekalipun berusaha untuk kalah dalam setiap bertandingnya, tapi hari itu berbeda. Untuk yang pertama kalinya, dia ingin pergi, dia ingin pulang, dia ingin tak bertanding, dia ingin kalah.

Ruang KosongDove le storie prendono vita. Scoprilo ora