Heiress - Chapter 27.1

172 12 0
                                    

________________________________
____________________

C27.1 : Dark side of the closet

____________________
________________________________

Playlist : Ne-Yo - Never Knew I Needed

Playlist : Ne-Yo - Never Knew I Needed

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

________________________________

Seharusnya reaksiku tidak seperti ini. Seharusnya aku sudah bisa mengontrolnya setelah bertahun-tahun berlalu. Ketakutan adalah simbol kelemahan. Dan aku sangat benci lemah. Tetapi pada kenyataannya, meskipun akal sehat dan logikaku tahu kebenaran itu, alam bawah sadarku melakukan segalanya sendiri. Teriakan keluar begitu saja dariku di antara bisingnya suara hujan yang beradu dengan atap kaca.

Aku terduduk tegak sembari memeluk kedua lututku terlalu erat. Tubuhku bergetar hebat. Napasku memburu. Aku memejamkan mata sementara detak jantungku menggila. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Suara itu tidak mau hilang. Menggelegar, bersahut-sahutan mencekikku. Tidak ada jalan keluar.

"Skyla!" Bentakan itu terdengar samar. "Buka matamu!"

Kedua tanganku terkepal. Menutup telinga berusaha menghalangi suara apapun untuk masuk. Sia-sia. Aku masih dapat mendengarnya dengan jelas. Sejelas aliran darahku yang mengalir deras. Semua ini salahku. Aku yang menyebabkan peluru itu bersarang di tempat yang tidak seharusnya. Aku pembunuh.

"Skyla Alea Clarke!" Seseorang mencengkram kedua lengan atasku dengan kuat. Mengguncangku. "Sky!"

"Jangan pergi. Aku berjanji tidak akan meminta apapun lagi. Kumohon." Aku terisak lemah. Memohon. "Jangan tinggalkan aku." Detik selanjutnya aku berteriak. Membuka mataku, meraih vas bunga dari atas nakas dan melemparkannya ke sembarang arah. "HENTIKAN! HENTIKAN SEMUANYA!"

Suara itu tidak kunjung berhenti. Suara hujan yang terlalu keras. Mengurungku lebih erat daripada pelukan hangat yang berusaha menahan getaran tubuhku. Navhaniel. Navhaniel bersamaku. Aku tidak ada di mansion kakekku. Aku sudah keluar dari sana. Aku keluar.

"Salahku." Kataku parau. Kondisiku masih tidak berubah. Masih ketakutan. "Semua yang terjadi karena aku, Navhaniel."

Tidak ada jawaban. Navhaniel semakin mengeratkan pelukannya. Satu tangannya mengelus pelan punggungku, berusaha menenangkan meskipun percuma. Selama suara ribut itu masih ada, masih keras, aku sendiri tidak bisa menenangkan diriku.

Entah sudah berapa lama kami berada di posisi yang sama. Mungkin satu jam, dua jam, aku tidak tahu pasti. Sekarang hujan telah mereda. Hanya petir yang terdengar sesekali. Deru napasku mulai kembali normal, tubuhku tidak bergetar sehebat sebelumnya. "Kau bisa melepaskanku sekarang. Aku tahu kau lelah. Istirahatlah."

Navhaniel melepaskan pelukannya, kedua tangannya menangkup wajahku. "Tidak akan pernah." Mata birunya menatap langsung ke mataku. Menyalurkan rasa aman yang harus kuakui sangat menenangkan. Sebelum kemudian dia mengamati wajahku lekat. "Tidak akan pernah."

THIS FEELINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang