the past #2

152 21 6
                                    

Kaiho bisa menerimanya—saat Soojung muncul dan membawa enam bocah berusia 7-8 tahunan secara sekaligus ke rumah mereka, setelah sebelumnya mereka bertemu Yuta, anak pertama yang mereka adopsi.

"Ta-da! Ini anak-anak yang aku bilang." seru Soojung dengan senyuman lebar.

Kaiho terkekeh pelan melihatnya, ia tahu jika Soojung masih tidak mempercayai dirinya sendiri untuk menjadi seorang ibu—khususnya untuk anak yang ia kandung sendiri. Pria itu memakluminya, yang penting Soojung tetap tersenyum, Kaiho tidak masalah.

"Nah anak-anak, ayo perkenalkan diri kalian pada ayah baru kalian juga Yuta, saudara kalian." Kaiho membungkukkan badannya dan menggendong salah satu bocah berbadan paling kecil.

"Siapa namamu?" tanyanya penasaran, tak lupa dengan senyuman yang mengembang membuat nyaman. Terbukti dengan sang bocah yang langsung menempel erat dengannya.

"Li yongcin."

"Haha, orang-orang memanggilnya Ten karena dia suka angka sepuluh." tawa Soojung menemani, membuat Kaiho ikut tertawa.

"Apa mereka semua adalah keturunan Tionghoa?" tanya Kaiho, sebisa mungkin tak terdengar mengusik privasi anak-anak itu. Ia memperhatikan mata-mata para bocah yang terlihat lebih sipit dari mata Soojung. Dan ya—Soojung membenarkan hal itu."Tak nyaman?" tanyanya balik.

Tapi tentu saja, Kaiho menggelengkan kepalanya."Mereka anak yang malang, jauh dari negeri kelahiran. Kita akan merawat anak-anak ini seperti anak sendiri." ujarnya penuh kasih.

Anak-anak itu tak memiliki nama lain-selain nama yang mereka punya sejak tinggal di sebuah panti asuhan tua milik seorang wanita yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Alasan lain kenapa Soojung memilih mengadopsi enam anak sekaligus dari sana adalah—karena tempat itu tidak pernah mendapat perhatian publik.

Tempat kumuh, untuk menjadi lokasi berkembangnya para calon penerus bangsa—begitu pikir Soojung. Sayang sekali, Soojung tak bisa mengadopsi lebih banyak anak. Walau tidak banyak, tapi angka yang hanya mencapai belasan itu pun tak bisa dikendalikan oleh Soojung begitu saja.

Pernah terpikir olehnya untuk membiayai tempat itu, itu masalah kecil untuknya dan Kaiho. Tapi Soojung juga menyadari jika lebih banyak yang ia keluarkan, maka harus lebih banyak pula yang ia miliki. Jika begitu, sampai kapan ia akan memiliki waktu untuk pulang kerumah dan hidup bahagia bersama suami beserta anak-anaknya?

Menumpuk pundi-pundi uang, tapi mengesampingkan kebahagiaan yang sudah dikaruniakan Tuhan? Tidak, Soojung tidak ingin melakukannya. Karena itulah, cukup dengan apa yang ia lakukan sekarang. Setidaknya, wanita itu akan sesekali mendatangi panti asuhan tersebut bersama anak-anaknya, juga anak kandungnya nanti.

Bermain disana bersama anak-anak lain, berfoto dan menyimpan kenangan indah untuk dipajang di ruang tamu hingga bisa diceritakan dimasa depan.

Hari-hari dalam kehidupan Kaiho dan Soojung banyak berubah tentunya semenjak kedatangan Yuta, beserta enam anak kecil yang harus mereka urusi. Dan semua itu selalu membawa kebahagiaan untuk mereka.

Soojung masih dengan kesibukannya, begitu pula Kaiho. Tapi ditengah-tengah itu, Kaiho selalu melakukan kegiatan-kegiatan amal. Membuat keberuntungan dengan cepat mendatangi sepasang suami istri ini.

Kaiho semakin sukses dengan bisnisnya, juga masalah kedutaan yang selalu berhasil ia bereskan. Soojung pun sama. Namanya lagi-lagi melejit, naik dan semakin naik setiap waktunya bersamaan dengan sebuah proyek sains yang berhasil ia luncurkan hingga membuat kumpulan peneliti di berbagai negara mendatanginya semata untuk meminta pembelajaran.

Semuanya seolah tak berujung, kebahagiaan dan keberuntungan terus mendatangi keduanya.

Hingga suatu hari-kali pertama Soojung merasa tidak tenang. Kebahagiaan yang mengelilinginya seolah sudah berakhir. Kaiho tiba-tiba jatuh sakit, tepat setelah mereka merayakan ulang tahun pernikahan yang kedua. Dua tahun sudah terlewati, tapi kebahagiaan yang mereka harapkan justru tak terwujud sesuai keinginan.

Dokter yang menanganinya, mendiagnosa kalau Kaiho mengalami kelumpuhan pada seluruh tubuhnya tanpa sadar. Pria itu mengalami dampak racun radioaktif yang mungkin sudah masuk ke dalam tubuhnya.

Polonium, satu-satunya yang menjadi dugaan Soojung.

Seseorang sudah meracuni suaminya dengan polonium. Secepat para detektif mencari tahu kebenaran tentang hal ini—secepat itu pula Soojung berusaha menemukan penawar untuk racun tersebut.

Satu bulan penuh, ia habiskan di laboratoriumnya bersama tubuh Kaiho yang sudah banyak mati rasa. Pria itu hanya sesekali merespon ucapan sang istri dengan kedipan mata, atau senyuman yang bahkan tak bisa disebut senyuman.

"Aku ingin menyerah, tapi aku sangat mencintaimu sehingga aku tidak bisa memilih pilihan itu. Itu yang terburuk," ungkap wanita itu, memandang nanar pada tubuh lemah Kaiho.

Hampir dua bulan, Kaiho terbaring lemah dengan segala macam obat dan penawar yang dibuat Soojung.

Dan seperti dugaannya, memang benar poloniumlah yang menjadi penyebab mengapa suaminya terbaring ringkih saat ini. Untungnya, tak banyak racun itu memasuki tubuh Kaiho, membuat kematiannya lambat-bahkan selama Soojung berjuang mati-matian untuk mencari obatnya.

Seperti yang kita tahu, polonium adalah racun radioaktif, pembunuh lambat yang hampir tak memiliki obat. Kenyataan itu menyakitkan—dan Soojung tidak bisa menerima itu.

Dan disinilah, orang-orang mengetahui jika ambisiusme seorang Jung Soojung memang bukan sebuah lelucon semata. Satu bulan setelahnya, Soojung masih tak berhenti. Dia mencari obat, mengelilingi banyak negara untuk mencari penawar yang bisa menyembuhkan Kaiho dari rasa sakit yang dideritanya.

Tapi kemudian, Soojung kembali ke Korea. Ada sesuatu yang ia dapatkan, tapi belum cukup untuk menyelamatkan Kaiho.

"Aku butuh keajaiban..." gumamnya putus asa.

Ia menatap kamera yang menjadi alat pengukurnya untuk bereksperimen. Itu adalah hadiah kecil dari anak-anaknya, semua kenangan dan hasil penelitian dari hari ke hari diabadikan disana. Dengan benda itu, ia membedakan apakah sudah melakukan hal yang lebih baik dari hari sebelumnya—atau tidak.

Tangis Soojung meluncur begitu deras menyadari begitu banyak waktu yang ia lewatkan tanpa anak-anaknya. Tanpa suaminya yang bersedia mendukung semua yang ia lakukan.

"Nona Jung," panggil Joonmyeon, ia merasa khawatir juga iba pada keadaan wanita itu.

Orang terdekat Kaiho, yang sampai saat ini memilih mengabdikan diri sebagai asisten Soojung untuk banyak hal.

"Apa?"

"Anak-anak kemari, bersama nyonya Jessica dan Dokter Victoria."

Soojung perlahan bangkit, langkahnya agak terseok. Ia terkejut mendapati betapa dalamnya cekungan dibawah matanya. Juga beberapa keriput yang anehnya terlihat nampak di seluruh sudut wajahnya.

Cermin didepannya tak terlihat menunjukkan bayangan yang mirip dengan Soojung. Ia merasa seperti ini bukanlah dirinya.

Hingga pandangannya terjatuh pada sebuah tabung reaksi mini yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Aku tidak tau ini akan membantumu, tapi seperti yang sudah kita ketahui dari para ahli terdahulu sebelum kita terlahir-orang-orang itu menyebutkan jika cara agar menang melawan racun adalah dengan racun juga. Maka dari itu, kami memberimu racun yang berbeda jenis materialnya dengan polonium. Semoga ini membantu, dan aku sangat berterimakasih padamu karena membantuku dengan kasus istriku,"

Seorang peneliti di Australia memberinya benda itu. Isinya adalah racun.

Hemlock, atau Conium. Pemberhentian pernafasan. Kelumpuhan.

Soojung memiliki sebuah ide baru.

"Mr. Joonmyeon...siapkan bahan yang aku minta, semua percobaan ini belum berakhir, perjuanganku belum selesai sampai disini."

Kali ini, Joonmyeon benar-benar melihat kilatan ambisiusme yang sesungguhnya dan mungkin—itulah sosok Jung Soojung yang sebenarnya.

Virus of Zee[✓]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ