3. Denial

4.4K 364 8
                                    

Gevariel Alva Nugraha, itulah nama lengkap yang diberikan oleh Adam kepada Gery. Ia tidak tahu apakah ada arti khusus di balik nama itu. Semenjak kecil, ia lebih dikenal dengan nama Gery, meski ia lupa sejak kapan dan siapa yang pertama kali memanggilnya demikian. Namun yang pasti, panggilan itu telah mewarnai masa kecilnya.

Sejak dulu, Gery lebih sering menghabiskan waktu di rumah neneknya dari pihak ayah setelah pulang sekolah daripada di rumahnya sendiri. Sejak kecil, Gery sering dititipkan di rumah nenek. Dan jujur saja, Gery merasa lebih nyaman berada di sana ketimbang di rumahnya.

Sayangnya, kini Gery sudah tak bisa lagi mengunjungi rumah itu. Neneknya telah meninggal dunia satu tahun yang lalu, membuat tempat singgah Gery untuk menghilangkan kesepiannya kini menghilang. Adapun nenek dan kakek dari keluarga ibunya, alasannya terlalu rumit dan panjang untuk Gery ceritakan saat ini. Dunia yang semula penuh dengan warna kini terasa suram, dan hati Gery pun seakan terperangkap dalam kegelapan.

Setelah menangis semalaman karena sakit yang ia rasa, Gery baru bisa tidur di pagi harinya. Sebenarnya bukan sakit fisik saja yang ia rasakan, tapi rasa sakit di hati yang membuatnya tidak bisa tidur. Memangnya siapa yang tidak merasa sakit ketika diabaikan oleh keluarga sendiri? Padahal ia sudah meminta tolong agar sedikit saja mereka meredakan rasa sakitnya.

Tadi malam, ibunya menyadari betapa Gery menderita, namun alih-alih menenangkannya, Mala justru meninggalkannya begitu saja dan menitipkan nasibnya pada orang asing. Tersadar dari tidurnya, Gery menatap nanar ke arah langit-langit kamar. Matanya yang telah terjaga beberapa menit lalu, hanya bisa terdiam tanpa daya, berusaha meredam rasa sakit yang menyiksa hatinya.

Hingga akhirnya, suara langkah mendekat membuyarkan lamunannya. Sejenak Gery melirik, namun cepat mengalihkan tatapan kembali ke atas. Dalam diam, Gery merenung, menahan rasa kecewa yang membelenggu pikiran dan hatinya, merasa terkhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung dan penopang hidupnya.

"Udah bangun? Masih ada yang sakit nggak?" Tanya Dewa, ia mendudukkan dirinya di tepi ranjang Gery seraya menunggu respon yang akan Gery berikan.

Dewa menghela napas pelan ketika tidak mendapatkan jawaban dari sang empu. "Gue memang bukan perawat ahli yang profesional sih, gue cuma remaja lulusan SMA biasa dari kampung. Tapi gue udah cari-cari di internet gimana cara ngerawat orang kayak lo, jadi ya lo nggak perlu khawatir, gue tau caranya sedikit-sedikit."

Sebenarnya, Dewa merasa jengkel dengan tingkah laku Gery yang selalu membuat onar. Ia bukanlah orang yang pandai bersabar, namun terpaksa menguji batas kesabarannya dalam menghadapi anak bandel satu ini. Andai saja bukan demi pekerjaan di kota, Dewa tak akan mau terjebak dalam situasi seperti ini.

Anggapan buruknya tentang anak-anak kota yang manja terbukti benar, dan Gery adalah contoh nyata yang berhasil membuktikannya. Kesabaran Dewa makin terkikis, seakan-akan menunggu letusan gunung berapi yang akan meledak sewaktu-waktu.

"Kata Bunda lo, dari kemarin ya lo nggak mandi? Ganteng-ganteng kok jorok, nggak malu apa?" Cibirnya, ia akan berbicara apapun sampai Gery memberikan respon untuknya. Sebenarnya bukan Mala yang memberitahu bahwa Gery belum mandi dari kemarin, tapi Iwan yang memberitahunya.

Kasihan juga melihat Gery yang kini berubah jauh dari dulu; tubuhnya semakin kurus dan wajahnya tampak lesu, seperti kehilangan semangat hidup. Siapa sangka dia adalah anak orang kaya yang tak perlu khawatir akan makanan dan kebutuhan lainnya? Sejenak, Dewa berpikir betapa hidupnya akan berbeda andai dia juga memiliki kesempatan seperti Gery. Mungkin ia bisa melanjutkan kuliah dan meraih kesuksesan layaknya teman-temannya yang lain.

"Tuh, lo nggak liat lo nggak mandi dari kemarin," celetuk Dewa tanpa berpikir panjang. Namun, ucapan itu seolah menusuk hati Gery yang tertatih. Alih-alih menenangkan, Dewa justru seperti mengejeknya.

Kisah Untuk Gery [End]✓Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt