9. Malu

3.1K 322 14
                                    

Helaan napas terdengar, sesekali Dewa mencuri pandang pada Gery yang tampak tak acuh oleh keadaan sekitar, anak itu terlihat sibuk memainkan ponselnya sedari tadi. Bukan fokus Gery pada ponselnya yang Dewa pikirkan, tapi Dewa menakutkan bahwa Gery mendengar ucapan orang yang minta bantuan kepadanya.

"Lo kenapa?" Tanya Gery, ia mengangkat kepalanya dan memandang Dewa bingung, pasalnya cowok itu melihat ke arahnya terus menerus.

Dewa tersenyum kikuk, "nggak, cuma bosen aja. Nggak tau mau ngapain."

Gery mengangguk kecil, wajar saja jika Dewa bosan karena sedari tadi cowok itu diam di tempatnya dengan mata yang menyapu sekitar. Berbeda dengan dirinya yang bermain ponsel sedari tadi, ia lupa jika Dewa tidak bermain ponsel saat kerja.

"Kalo lo bosen, lo keliling aja nggak papa. Bawa hp gue, buat lo foto-foto, nanti kalo udah sampe rumah, kirim ke lo," kata Gery, ia sangat memberikan kebebasan bagi Dewa untuk melakukan apapun, asalkan jika ia butuh bantuan, Dewa ada untuknya.

Sementara itu, Dewa menggeleng tidak setuju, ia memang bosan, tapi bukan seperti itu juga maunya. Bagaimana bisa ia asik sendiri, di samping itu ia tengah bertugas menjaga Gery. "Mana bisa gitu? Keliatannya gue ngelunjak tau."

"Ya nggak lah, 'kan gue yang nawarin sendiri. Lagian lo bisa pamer ke Adek lo juga, kalo lo lagi ada di sini, di tempat lo mana ada," kata Gery.

Dewa tertawa pelan, ide bagus juga. Dewa bisa pamer pada adiknya di sana. Walau akur, saat bersama keduanya tak lepas dari kata jahil. Jika tidak Dewa yang jahil, ya sebaliknya.

"Kalo gitu, bisa kita foto bareng aja? Biar nanti gue kirim ke mereka," ucap Dewa memberi penawaran lain.

Gery tanpa ragu mengangguk, ia menyuruh Dewa yang tadinya duduk di depannya agar duduk di kursi kayu sampingnya, ini adalah pertama kalinya mereka foto bersama.

"Lo senyum dikit lah Ger, masa datar kayak gitu. Coba liatin lesung pipi lo, pasti ganteng banget." Dewa mengomentari gaya foto yang Gery perlihatkan di kamera, pasalnya anak itu tidak mau tersenyum dan memasang wajah seperti biasanya.

Gery mendengus kecil mendengar komentar itu, tapi tanpa sadar ia menuruti perintah Dewa dengan tersenyum manis di depan kamera dan memperlihatkan lesung pipi manisnya di sana.

"Nah gitu 'kan ganteng." Dewa puas melihat hasil foto mereka, rasanya senang sekali melihat Gery tersenyum di sana.

Gery tersenyum miris mendengar perkataan Dewa barusan. "Ganteng ya? Tapi cacat," gumamnya pelan.

Dewa menghentikan kegiatannya yang masih melihat hasil foto mereka, mendengar ucapan Gery yang masuk ke dalam rungunya barusan membuat hatinya berdesir nyeri. Apa yang ia takutkan terjadi, karena nyatanya Gery mendengar hinaan dari orang tadi.

Sementara tak jauh dari mereka, anak ketiga dari pasangan Adam dan Mala tersebut menatap sang kakak yang baru ia ketahui eksistensinya itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada keinginan untuk menyapa, dan mengobrol bersama. Namun, lagi-lagi Hera merasa ragu saat akan dekat kakaknya.

"Lo kenal mereka Ra?" Tanya Ria, yang merupakan teman Hera di luar sekolah.

"Hah? G-gue nggak kenal, eh kenal," jawab Hera dengan gugup, ia yang tadi menatap gerak-gerik sang kakak di tempatnya itu mengalihkan perhatiannya.

"Yang bener Ra? Lo kenal atau nggak? Dua-duanya atau salah satunya aja?" Tanya Ria kembali, menatap penuh tanya Hera yang menjawab gugup seperti itu.

"Gue nggak kenal, gue nggak tau siapa mereka," sanggah Hera, ia berusaha untuk berkata dengan tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Ria.

"Owh, kirain kenal." Ria menatap Gery dan Dewa di sana, lalu kembali berceletuk, "lo kasian sama yang pake kursi roda itu ya Ra? Sama sih, gue juga kasian. Masih muda, tapi nyusahin kayak jompo. Kira-kira, kelurganya ngerasa malu nggak ya?"

Hera menelan salivanya kasar, tanpa sadar tangannya meremat di bawah meja. Sejujurnya ia tak suka dan sakit hati dengan apa yang Ria katakan barusan, tapi ia bungkam dan tidak bisa berbuat apapun.

Perkataan Ria tepat sasaran, karena memang kakaknya menyusahkan sekarang dan ia malu jika di dekatnya. Tapi kenapa hatinya terasa sakit? Hera tidak tahu mengapa, ia tidak tahu sejak kapan menjadi jahat seperti ini pada Gery, Hera menjauh karena ia merasa malu. Ia tidak mau direpotkan jika di dekat sang kakak keduanya itu.

"Tapi kayaknya nggak ya? Ngeliat pertama kali cowok itu turun ke sini dibantu sama cowok satu lainnya gue ngerasa dia di jaga banget. Apa cowok satunya itu kakaknya ya? Soalnya dia keliatan care banget," tutur Ria lagi. Sedari dua cowok yang ia tidak tahu namanya siapa itu datang, ia tak melepaskan pandangan saat keduanya melewati meja mereka. Ria merasa terharu melihat cowok yang satunya itu sangat menjaga cowok yang memakai kursi roda itu.

"Mungkin, gue nggak tau," jawab Hera, ia tidak tahu harus bereaksi apa saat ini.

"Oh iya Ra, lo juga punya kakak dua, cowok-cowok lagi, pasti rasanya enak banget ya? Di manja sama mereka."

Hera terdiam, diantara Gara dan Gery, Gara yang paling senang membuat masalah padanya, ia yang diam pun menjadi korban kejahilan Gara di rumah. Sementara itu, Gery adalah sosok kakak yang paling pengertian, tidak pernah membuat darahnya naik seperti Gara. Gery juga suka memanjanya, membuat dirinya lebih suka di dekat Gery dari pada Gara.

"Nggak juga, kakak gue lebih banyak gangguin gue dari pada manja."

***

Hanya bertahan dua jam saja mereka di sana, karena Gery sudah mengelu punggungnya sakit. Belum terlalu parah sakitnya, tapi jika dibiarkan Gery bisa sampai sesak napas. Jangan sampai hal itu terjadi, yang ada Dewa akan semakin repot.

Mereka masih di perjalanan saat ini, tapi tiba-tiba saja mobil yang mereka tumpangi membuat Gery dan Dewa memandang penuh tanya pada Iwan yang menyetir.

"Ada Non Hera Dek," kata Iwan memberi penjelasan. Tak lama setelah itu pintu depan mobil terbuka dan Hera masuk begitu saja, tanpa menyapa kedua orang lain yang ada di belakang.

Jika tidak mepet seperti ini, Hera juga tidak mau dan memilih naik taksi online. Tapi keadaan memaksanya, karena setelah pembicaraan tentang kakaknya bersama Ria berakhir, Hera langsung pergi dari sana dan memutuskan pulang. Tapi sialnya, uangnya habis dan ia tidak membawa ATM. Dari pada jalan kaki, ia menelpon Iwan untuk menjemput.

Gery, yang melihat sikap sang adik yang tak acuh kepadanya hanya diam. Antara tidak berani memulai pembicaraan dan takut akan umpan balik yang akan adiknya berikan. Jika menjauh darinya Hera yang mau, Gery akan ikut. Ia tidak memaksa ataupun menyuruh.

"Oh ya Bang, besok bisa nggak jangan keluar-keluar kayak tadi? Aku malu, kalo ada orang yang tau Abang itu kakak aku."

[]

Lampung, 31072023

Kisah Untuk Gery [End]✓Where stories live. Discover now