18. Meminta maaf

3.3K 335 11
                                    

Gara tidak pernah berpikir, jika rencananya akan menjadi seperti ini. Awalnya ia hanya berniat membuat Gery bisa mandiri, agar tak bergantung pada orang lain, hal itu juga bertujuan untuk kebaikannya adiknya 'kan?

Jadi, ia sampaikan pada Mala, agar sang ibu memberi pengertian pada Gery. Namun, siapa sangka jika akan berakhir seperti ini? Semua yang Gara ekspetasikan gagal total.

"Liat! Ayah sama Bunda berantem gara-gara Kakak tau nggak! Hera tau Kakak nggak suka sama Bang Gery, tapi nggak gini caranya! Kakak itu sama aja kayak seorang pengecut! Hera benci Kakak!"

Dan karena dirinya juga, Adam dan Mala bertengkar karena masalah itu. Kini, Hera pun ikut-ikut menyalahkan dirinya.

Gara juga sama seperti Hera, ia tak tahu jika alasan kedua orang taunya pilih kasih pada Gery. Dan setelah Hera menceritakan apa yang terjadi, Gara menyesal. Seharusnya ia diam saja, tak usah sok memberi pendapat untuk kehidupan Gery.

"Kakak minta maaf Ra," tuturnya. Karena kemarin ia sibuk mengerjakan tugas kuliah, Gara tak tahu apa-apa, tahu-tahu masalah sudah runyam.

"Minta maaf ke Abang, bukan ke aku." Andai saja waktu bisa diputar, Hera tak akan mengikuti gengsinya saat itu, hanya karena tak mau disusahkan, ia menghindar dari Gery.

Padahal laki-laki itu kakaknya, bukan orang lain. Wajar saja jika Gery pasti akan meminta bantuan kepadanya. Wajar jika Gery kesulitan, dan seharusnya Hera paham akan keadaan. Jika dirinya saja sulit menerima, bagaimana perasaan sang kakak yang mengetahui bahwa langkahnya diambil? Mengingatnya membuat perasaan semakin dirundung salah.

"Ya udah, sekarang temenin Kakak ketemu dia. Kakak mau minta maaf."

"Nggak usah, udah terlambat Kak," lirih Hera, pikirannya kacau sejak permasalahan ini muncul, bahkan di sekolah pun Hera tak memperhatikan guru mengajar, karena fokusnya bukan di sekolah.

"Apa maksudnya terlambat?" Tanya Gara tak paham.

"Abang bakal pergi dari sini. Sama kak Dewa." Hera sudah tahu tentang itu, tentang Gery yang ingin pergi bersama Dewa meninggalkan rumah. Apa luka yang diberikan sudah sebesar itu, sampai-sampai Gery tak nyaman untuk tinggal di sini lagi?

Gara cukup terkejut mendengarnya, ia menggeleng tidak setuju. "Tapi, di sini kita keluarganya Ra, kita rumahnya.

"Bener Kak, kita keluarganya. Definisi rumah adalah tempat tinggal yang akan membuat kita nyaman, merasa terlindungi, bahagia dan segalanya ada saat kita singgah di sana. Tapi, kita bukan rumah buat Abang. Rumah yang seharusnya buat Abang nyaman singgahi, justru buat dia tersiksa. Rumah yang seharusnya buat dia tertawa bahagia, justru hanya membuat dia menangis lara. Kalo Hera di posisi Abang, Hera pun memilih untuk pergi dari pada tetap tinggal di rumah yang bahkan selalu menabur luka."

Selama ini Gara selalu tak acuh pada Gery. Ia tak membenci anak itu, dirinya hanya tak mau peduli saja. Namun, saat ini Gara tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Ada perasaan yang mendorongnya untuk peduli, dan ia merasa sedih saat tahu Gery akan pergi. Padahal ketika anak itu kecelakaan, Gara bersikap biasa saja, dirinya pun sering mengejek kondisi Gery yang lumpuh. "Tapi, Dewa bukan keluarganya Ra, dia juga bukan rumahnya."

"Kak, rumah nggak selalu berbentuk bangunan. Tali persaudaraan juga tak harus memiliki darah yang sama. Dewa memang hanya orang lain. Namun dia mampu memberikan rumah ternyaman buat Abang." Hera merasa sedih, bertahun-tahun tinggal bersama tak menjamin bahwa ia paham, Hera tak mengenal sosok sang kakak yang sebenarnya.

"Jadi, Hera mohon Kak. Tolong cegah Abang buat pergi, bujuk Ayah sama Bunda agar nggak setuju dengan rencana Abang. Hera mohon."

***

Dewa merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di kamar rawat Gery, rasanya baru kali ini ia merasa nyaman saat menginap di rumah sakit. Karena sebelumnya ia pernah, dan hanya tidur di tikar. Tidak seperti ini, yang fasilitasnya lengkap, ada televisi dan sudah seperti kamar hotel saja.

Orang kaya; memang beda. Dewa tebak, jika biaya rumah sakit Gery di sini bisa melampaui untuk membeli satu unit motor, atau bahkan lebih. Namun begitu, Dewa selalu bersyukur walau ia tak terlahir dari keluarga yang berada. Memiliki keluarga hangat dan saling menyayangi adalah berkah terindah, dari pada terlahir dari keluarga kaya, tapi tak diharapkan seperti Gery. Walau tak semua sih, pasti ada juga yang hidup bahagia, hanya Gery saja yang kurang beruntung.

"Kalo kayak gini Mah, gue juga betah Ger. Nggak bakal minta pulang," celetuknya, ia melirik Gery yang bersandar pada ranjangnya yang dibuat setengah duduk.

"Ya udah lo aja yang sakit. Aneh." Dewa itu norak menurutnya, orang lain mah sakit ingin cepat-cepat pulang. Lah ini, Dewa malah ingin lama-lama berada di sini.

"Tapi Ger, lo beneran mau ikut gue? Maksudnya gue itu bukan orang yang berpunya. Pasti kehidupan lo bakal jauh dari yang sekarang. Apa lo nggak mau tetap di sini aja, seenggaknya hidup lo terjamin." Dewa yang tadinya rebahan pun merubah posisinya menjadi duduk.

Gery mendengus kesal, Dewa membuat moodnya buruk saja. "Kenapa? Kemaren lo ngomong mau bawa gue pergi? Kenapa sekarang ragu? Gue udah buat keputusan ini matang-matang, itu tandanya gue siap dengan apa yang terjadi ke depannya."

"Iya-iya, sensi banget sih lo."

"Wa, kata dokter kapan gue bisa pulang?" Tanya Gery, saat ini ia sudah jauh lebih baik, begitu juga hatinya yang tak seburuk kemarin-kemarin.

"Belum bisa ditentuin Ger, tapi ya semoga aja bisa cepet pulang. Nanti gue tanyain lagi ya. Gue sedikit heran sama lo, tumbenan amat lo hari ini banyak ngomong, biasanya diem kek orang sariawan," paparnya.

"Diem salah, ngomong salah," cibir Gery saat ia dikatai seperti itu.

Tok tok tok!

Keduanya menatap pintu rawat yang diketuk, melihat Gery yang mengizinkan dirinya membuka pintu tersebut, Dewa beranjak untuk menyambut siapa gerangan yang datang.

"Oh Hera sama si punya kuasa dateng," kata Dewa menyambut kedatangan dua saudara kandung Gery, ia jalan masuk terlebih dahulu diikuti Hera dan Gara.

"Si punya kuasa? Maksudnya kak Gara," ucap Hera yang langsung diberi anggukan kecil dari Dewa. Sementara Gara hanya berdecih mendengar julukan Dewa untuknya, yang lebih mengarah untuk mengejeknya.

Gara memilih untuk tidak meladeni, ia mendekati Gery dan meletakkn kantong plastik berisi roti dan makanan yang ia beli untuk Gery di nakas. "Gimana keadaan lo? Gue suruh mandiri, malah makin ngerepotin."

"Kalo ke sini cuma mau cari ribut, mending lo pergi Gar," sahut Gery, ia terlalu masal meladeni Gara yang tak penting baginya.

Gara bungkam, bukan itu maksudnya. Ia merutuki dirinya sendiri yang justru berkata demikian, padahal niatnya 'kan meminta maaf! Bodoh sekali! "Nggak, maksud gue. Gue, gue minta maaf. Gue salah."

Gery tersenyum miring, apa Gara tidak salah bicara. Minta maaf katanya? Sejak kapan Gara menjadi sosok yang meminta sepertiini? "Minta maaf? Sayangnya gue nggak bisa maafin lo."

"Nggak usah sok deh lo, masih mending gue mau minta maaf." Gara sebenarnya tak mau berucap seperti itu, tapi ia gengsi, karena malu menunjukkan kepeduliannya pada Gery. Gery juga pasti akan merasa aneh jika ia tiba-tiba baik, jadi Gara bersikap menyebalkan seperti biasanya. Mengingat hubungan keduanya yang tak pernah baik.

"Tapi Ayah sama Bunda nggak pernah ngajarin gue buat maafin orang Gar."

[]

Mohon maaf kalo alur ceritanya aku lambatin di sini🙏

Lampung, 15082023

Kisah Untuk Gery [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang