11. Merasa asing

3K 310 14
                                    

Semenjak kejadian di mana Hera menegurnya agar tidak keluar rumah, sejak saat itu juga Gery tidak lagi menampakkan diri dengan keluar rumah kecuali ke rumah sakit, sesuai dengan perintah sang adik.

Gery juga tak lagi merengek meminta Adam atau Mala untuk membantunya seperti awal-awal ia pulang dari rumah sakit. Saat ini Gery hanya bisa mengandalkan Dewa dan juga Iwan untuk membantunya.

"Besok kamu ikut ke rumah Datuk. Udah lama nggak kumpul di sana."

"Nggak Yah, aku di rumah aja," tolak Gery secara halus. Saat ini ia tengah berhadapan dengan Adam di ruang keluarga, ada anggota keluarga yang lainnya juga di sana.

"Kenapa? Apa susahnya kumpul sama keluarga sih Ger?" Tanya Adam, jawaban Gery tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"Nggak papa Yah, aku cuma nggak kuat keluar lama sekarang, punggungku suka sakit kalo duduk kelamaan. Yang ada di sana cuma nyusahin," jelas Gery. Selain karena ia takut untuk keluar lagi, Gery merasa tak nyaman jika harus berkumpul bersama kerabat yang lain.

"Kamu tuh kebiasaan kalo diajak ke rumah Datuk sama Oma pasti nggak mau. Nggak ada sosialisasinya sama sekali," sahut Mala berkomentar. Ini bukan pertama kali Gery menolak ajakan untuk berkumpul bersama di rumah kedua orang tuanya, sudah berkali-kali dengan berbagai alasan juga Gery menolak untuk datang ke sana.

Gery diam, ingin sekali menjawab jika ia berada di sana rasanya hanya akan menyesakkan dan tidak nyaman. Dari dulu Gery tidak suka berkumpul bersama keluarga dari ibu, ia merasa asing di tengah-tengah mereka.

"Udah sih Bun kalo dia nggak mau ikut, lagian kalo dia kambuh di sana kita juga yang bakal susah 'kan?" Gara menjadi pelaku frasa barusan, jika memang Gery tak mau ikut tak perlu memaksa, lagi pula anak itu sendiri yang menolak.

Gery tersenyum tipis mendengar perkataan Gara barusan. "Bener kata Kakak Bun, yang susah juga nanti kalian."

"Nggak bisa, kamu harus ikut besok." Namun sepertinya Mala tak mau kalah, ia ingin anak tengahnya tetap ikut besok pada acara kumpul keluarganya. "Lagian ada Dewa ini, kalo punggung kamu sakit ada dia yang ngurus."

Akhirnya Gery hanya bisa pasrah, ekornya matanya melirik Hera yang tak membuka suara sedari tadi. Gery sudah berjanji tidak akan keluar rumah lagi, namun jika seperti ini keadaannya ia bisa apa? Tapi tenang saja, setelah ini ia akan meminta maaf pada sang adik, karena sudah mengingkari janji.

***

Keesokan harinya, Gery berangkat terpisah dengan keluarganya. Kedua orang tua serta kakak adiknya berangkat dengan kendaraan yang sama, sedangkan ia dengan Iwan yang menyetir dan juga Dewa yang menemani.

Gery tak banyak bicara selama perjalanan, dan bukan hal baru lagi jika anak itu memilih untuk mengirit suaranya. Mungkin orang-orang justru akan merasa takut jika tiba-tiba anak itu banyak bicara.

Dewa hanya bisa menghela napas melihat Gery yang terlihat murung setiap hari, daripada tersenyum Dewa justru sering melihat Gery sedih dan menangis. Entah sudah berapa banyak luka yang anak itu berikan, sampai senyum di wajahnya seolah adalah sesuatu yang mahal untuk di tunjukkan.

Sampai di rumah kakek dan nenek, semua orang sibuk masing-masing. Mereka bertanya pada Gery hanya sebagai bosa-basi saja, tentu karena mereka sudah memiliki topik masing-masing untuk dibahas.

"Iya, kalo Gara sama Hera itu sering main ke sini. Beda lagi sama anakmu yang tengah itu, kalo nggak dipaksa nggak bakal mau."

Gery yang sedari tadi diam, mengangkat wajahnya ketika merasa ia dilibatkan oleh pembicaraan Heru, sang kakek.

"Datuk itu nggak suka sama orang yang kurang sosialisasi sama saudara sendiri kayak gitu. Memangnya kalo kita kena musibah, bakal minta bantu ke siapa kalo nggak ke saudara? Hidup 'kan butuh orang lain, nggak usah sok bisa sendiri." Heru, pria baya itu berucap dengan tegas dengan sesekali melirik orang yang tengah ia bicarakan.

Diantara cucu-cucunya yang lain, Gery yang jarang sekali terlihat untuk sekedar mampir sebentar saja. Berbeda dengan kedua saudaranya, Gara dan Hera sering datang untuk main dan kadang menginap di sini.

"Liat, sekarang udah rusak aja makanya mau dateng ke sini. Kalo sehat apa mau silaturahmi sama Datuknya sendiri," papar Heru kembali. Saat mendengar salah satu cucunya kecelakaan sampai terluka parah dan membuatnya lumpuh seperti ini, Heru datang menjenguk dua kali saja, itu pun saat Gery belum sadarkan diri, karena Gery sempat koma hampir seminggu.

Tidak ada yang berani menyahuti perkataan Heru, mereka diam dan malah menatap korban yang Heru katakan tadi. Hal itu tentu membuat Gery merasa tersudut dan tidak nyaman, jika saja mereka yang ada di posisinya, apa mereka akan paham dengan apa yang ia rasakan?

"Maaf," cicitnya, Gery menunduk dalam demi menghindari tatapan mereka. Inilah yang Gery benci, ia merasa asing di dalam keluarganya sendiri.

Dewa yang berada di sana merasa iba dengan Gery, mau di rumah atau di sini semuanya sama saja. Gery diam saja sudah salah. Pada akhirnya Dewa membawa pergi Gery menjauh dari sana, ia harus menghibur hati Gery yang kembali dijatuhkan. Mereka memutuskan pergi ke belakang rumah yang terdapat taman di sana.

"Ger, liat deh. Ada burung di sana. Dia buat sarang di sana, kira-kira udah nelor belum ya?" Dewa menunjuk salah satu pohon yang ada sarang burung di sana, berharap Gery mau mengalihkan pandangannya. Namun aDewa seolah lupa, jika Gery bukanlah anak kecil yang akan luluh hanya karena itu.

"Lho, Kak Gery sama kak Dewa ada di sini? Nggak kumpul sama yang lain?"

Suara lain datang menyambut, memperlihatkan seorang remaja tinggi mendekati keduanya. Kalau tidak salah tebak, cowok itu adalah anak dari Nita, adik Mala. Jio namanya, masukan SMA tahun ini, satu angkatan dengan adik Dewa.

"Kak Gery marah ya Datuk bilang gitu tadi? Bukannya bener ya apa yang dibilang Datuk, kalo Kak Gery itu nggak mau silaturahmi sama yang lain. Terus giliran udah kayak gini, Kak Gery nampakin diri," celetuk Jio, anak itu mendudukkan diri di kursi yang ada.

Dewa menatap sinis Jio yang berkata demikian, ingin sekali menjawab ucapan yang Jio sarkas tadi. Tapi ia urungkan niatnya saat mendengar kalimat Jio selanjutnya.

"Tapi kalo kataku nggak kok. Kak Gery pasti aslinya mau banget 'kan kumpul-kumpul kayak gini? Aku tau kak Gery punya alasan kenapa bersikap kayak gitu, karena aku pun tau rasanya." Jio tersenyum tipis, tanpa aba-aba ia membawa tangan Gery untuk ia genggam.

Hal itu membuat Gery melihat tangannya yang digenggam oleh Jio dan bergantian menatap sang pelaku. "Kenapa?" Tanyanya.

"Karena kita ada di posisi yang sama kak."

[]

Sebenernya aku nulis apa sih;(

Lampung, 06082023

Kisah Untuk Gery [End]✓Where stories live. Discover now