31. Karma

6.9K 349 33
                                    

Ketika sesuatu telah hancur berkeping-keping, bukanlah hal yang mudah untuk mengembalikannya seperti semula. Penyesalan hanya sebuah rasa penyesalan, mencoba memperbaiki mungkin hanya sia-sia karena yang hilang telah menjadi serpihan tak berarti.

Hera, gadis muda yang terus menanti kepulangan kakaknya, bagai runtuh dalam duka saat berdiri di tengah upacara pemakaman yang pilu. Isak tangisannya menggema memilukan, menegaskan betapa dalam cinta dan sayang yang tumbuh dalam hatinya terhadap sang kakak. 

Hatinya luluh lantak, jiwanya yang sebelumnya bergelora bahagia menanti sang kakak pulang, lenyap dalam sekejap, tergantikan tangisan perih. Gery tak akan pernah pulang lagi, kakaknya kini beristirahat di tempat yang terlelap di balik angkasa. Padahal, Hera ingin menyampaikan begitu banyak ucapan untuk menyambut kakaknya pulang. Gadis itu bahkan telah mempersiapkan kejutan yang teramat istimewa, namun ironisnya justru dirinya yang tenggelam dalam kejutan menyakitkan.

"Jangan sentuh kakakku! Lepasin s*alan! Kakakku jangan di tutup, dia nggak bisa napas!" Hera mengamuk, menepis semua tangan yang akan menyentuh jenazah sang kakak. Ia memberontak, tak membiarkan orang-orang itu menggotong tubuh kaku tersebut untuk disemayamkan.

Adam menahan sekuat tenaga sang putri, acara sedikit terhambat karena Hera yang belum bisa mengikhlaskan kepergian Gery. Hera memukul kuat-kuat tangan Adam yang mencoba menahan tubuhnya, Hera tidak akan membiarkan Gery pergi.

"Ayah jahat! Ayah bohong! Semua orang jahat! Abang sendirian di sana! Abang nggak suka kesepian! Lepasin Ayah!" Racaunya, Hera meluruh saat tenaganya kalah dengan Adam yang terus memeluknya.

Adam memeluk si bungsu erat-erat, berulang kali meminta maaf karena tidak bisa membawa Gery pulang dengan selamat. Anaknya itu pergi, tidak membiarkan sedikitpun untuk Adam meminta maaf.

"Ikhlaskan ya Nak, kakakmu lebih disayang Tuhan." 

Adam menyesal, menyesal telah menyia-nyiakan anugerah yang Tuhan berikan kepadanya. Delapan belas tahun lalu ia berdoa agar diberikan seorang momongan lagi, namun hari ini Tuhan seolah mengambil kembali pemberian-Nya tersebut. Anaknya itu telah pergi, bahkan sebelum sempat mengenakan baju koko putih dan celana putih yang sempat ia minta. 

Dewa, remaja itu baru saja diberitahu tentang kepergian Gery. Ia datang ke kediaman Adam bersama keluarganya, matanya berkaca-kaca dan hatinya tercabik-cabik melihat Gery yang belum genap sehari meninggalkan rumah sudah tiada. 

Dewa pun sempat kehilangan kesadaran beberapa kali, terhanyut dalam penyesalan yang menghantui.  "Kalo aja gue lebih berani cegah Gery untuk pulang, apakah dia masih akan ada di sini?" Gumam Dewa seraya meneteskan air mata. "Andai gue tau akan seperti ini, gue pasti nggak akan biarin Gery pulang sendirian. Atau mungkin, gue seharusnya ikut pulang agar bisa bareng dia."  Dewa mengetahui betul bahwa Gery benci sendiri dan benci kesepian. Ironisnya, kini anak itu harus menghadapi dua hal yang paling dibencinya. "Semoga lo tenang di sana, Ger," bisik Dewa lirih, menahan rasa pilu yang mencengkeram hatinya.

Dewa mendongak untuk melihat langit yang sudah mulai sore, karena Gery dimakamkan di hari itu juga, selepas kecelakaan terjadi. Sedari tadi siang awan hitam menggumpal di atas awan, namun tidak terjadi hujan. Sepertinya langit tahu, bahwa pemilik lesung pipi itu tidak suka jika harus pergi dengan langit berwarna biru. 

"Ger, lo selalu benci sama langit biru 'kan? Selamat, lo menang. Langit pun tau apa yang harus dilakuin agar lo nggak marah waktu pergi." Dewa tersenyum pedih, padahal Gery yang memintanya agar tidak pergi. Tapi justru anak itu yang pergi, dasar licik.

"Seperti yang lo mau, gue akan menjalani hidup seperti apa yang gue mau. Gue nggak akan pernah lupain lo, gue akan ceritain ke semua orang. Bahwa gue pernah ketemu anak sekuat lo. Tidur yang nyenyak, suatu hari gue bakal nyusul lo." 

Kisah Untuk Gery [End]✓Where stories live. Discover now