Unexpected habits?

351 59 6
                                    

═•°• ! INFO ! •°•═

╰► Italic : karakter sedang membatin, kata yang menggunakan bahasa luar (Inggris, Jepang, Korea).

╰► Bold : dialog / kata yang bermakna penting dalam cerita.

╰► Bold Italic : Sound effect, tanggal + jumlah word.

◢◤◢◤◢◤◢◤◢◤◢◤◢◤

Cerita dari sudut pandang Tenn

.
.

Karena sudah selesai mengerjakan tugas yang diberikan guru, aku pun mengubah kegiatanku dengan mempelajari materi untuk ujian kenaikan kelas yang akan tiba.

Saat ini aku berada di perpustakaan, niatku kembali ke asrama setelah menyelasaikan semua tugasku. Namun kuurungkan niat itu hanya untuk menemani seseorang di sini. Terlebih lagi kami kan harus berlagak seperti kakak adik setelah rumor beredar yang mengatakan jika kami bersaudara. Aneh, biasanya aku malas berurusan dengan hal seperti ini. Tapi entah kenapa sekarang aku malah menyetujui permainan saudara ini.

Melirikkan mata untuk mengecek seseorang di dekatku, dapat kuketahui jika anak ini sedang kesusahan. Pftt-- wajahnya mengekspresikan semuanya, benar-benar terlihat lucu.

Dugaanku benar. Tak lama dia menghentakkan kakinya dan menggerutu kesal.

"Gabisaa!! Ini soalnya susah bangettt!"

"Aku nyerah aja kalo ketemu yang namanya matematika"

Aku menegurnya, "Jangan cepat menyerah seperti itu dong". Meletakkan alat tulis yang awalnya kupegang. "Jangan cepat menyerah seperti itu," begitu kataku. Kepala kutolehkan untuk menatap dirinya dan menghela nafasku. "Jadi mana yang tidak bisa?" tanyaku berniat membatunya sedikit.

Ia memperlihatkan lembar kerjanya dan menunjuk salah satu nomor di sana. Kucermati dengan seksama soal yang ditunjukkannya. "Ah. Padahal ini gampang," ucapku.

"Gampang karena Tenn-san itu pintar! Bagiku susah! Susah!" balasnya dengan memukul-mukul meja untuk melampiaskan emosinya yang sepertinya sudah mencapai batas. Tapi bagiku memang tergolong gampang sih.

Khawatir pada tangannya yang mungkin saja terluka, aku kembali menegurnya bersamaan dengan tanganku yang menghentikan paksa pergerakan tangannya yang masih berniat memukul meja. "Hentikan, nanti tanganmu bisa sakit"

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengajarinya supaya mengerti. Aku melakukannya layaknya seorang kakak yang mengajari adiknya. Sesekali aku mencuri pandang pada wajahnya yang nampak serius, benar-benar lucu bagiku.

Melihat aura yang dipenuhi kelap-kelip serta matanya yang terlihat berbinar. Aku yakin pasti sekarang ia sudah mengerti cara mengerjakannya. Bagus, dia nampak sangat bersemangat saat mengerjakan. Jika begini aku harap bisa mengajarinya setiap waktu.

Tiba-tiba bibirku melengkung ke atas menampilkan senyum ketika melihat ekspresi Riku yang begitu serius saat mengerjakan. Aku berpikir, 'Kenapa ya... Rasanya aku senang bisa mengajarinya seperti ini... Seperti setelah sekian lama akhirnya salah satu keinginanku terkabul'

Senyum ini jelas terukir sendirinya seakan aku merasa puas atas tindakan yang kulakukan. Dalam lubuk hati rasa senang mendominasi ketika aku mengajarinya seperti tadi. Entah kenapa... aku juga tidak mengerti... apa aku hobi mengajari orang ya?

Ia terus menggerakkan penanya pada kertas hingga pergerakan jemarinya berhenti. Ia meletakkan penanya di atas meja dan menunjukkan hasil kerjanya kepadaku dengan bangga. "Lihat! Aku mengerjakannya sampai nomor terakhir!" serunya tersenyum lebar menampilkan sederet gigi putihnya.

IN ANOTHER LIFEWhere stories live. Discover now