BAGIAN 29

3 1 0
                                    

Hidup memang penuh misteri. Tidak ada yang bisa menebak jalannya. Terkadang apa yang kita anggap benar, belum tentu benar menurut orang lain. Kadang apa yang terlihat sulit ternyata mudah jika dijalani. Semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Seperti dia yang saat ini menatap pedih wanita yang terbujur lemah diatas ranjang rumah sakit. Ada infus yang terpasang disalah satu lengan sang wanita, membuat kepedihannya makin mendalam. Menyesal tentu sudah tidak berarti lagi. Yang terjadi tidak bisa diubah kembali.

"Ma'af..." Satu kata itulah yang keluar dari lisan Roy.

Matanya menatap nanar pada sosok berwajah pucat itu. Karna dialah, wanita itu kini terbaring tidak berdaya. Karna dialah senyum diwajah wanita itu menghilang. Juga karna dialah kekacauan ini terjadi.

Tadi saat Diaz memintanya masuk kedalam, bukan Roy tidak mau. Tapi entah kenapa hatinya resah. Ada rasa bersalah yang teramat besar yang dirasakannya. Lalu kata-kata Aro menyadarkannya.

"Daripada kau berbuat bodoh seperti itu, lebih baik kau menjenguk Sikha. Daripada kau menyesal nantinya"

Ya, Aro benar. Tidak seharusnya dia diam menyesali perbuatannya. Dia hanya punya Sikha dihidupnya. Walau terkadang dia dan Sikha sering bertentangan. Saat ini, melihat wanita itu terbaring dengan infus ditangannya membuat Roy ikut sakit. Jika saja posisinya bisa ditukar, Roy rela menggantikan tempat Sikha.

"Buka matamu, Sikha.... Beritahu aku yang sebenarnya. Katakan apa yang tidak aku ketahui, agar aku tidak terus dilanda gelisah, ayo buka matamu" Lirih Roy sambil terus menggenggam tangan Sikha.

Tapi hanya suara alat-alat medis yang terpasang disamping tempat tidur Sikha yang terdengar.

"Kau tau Sikha.... Kau satu-satunya yang kuingin selalu ada disampingku. Kau adalah satu-satunya yang kubutuh saat aku rapuh seperti sekarang dan kau satu-satunya yang kuharap tetap memihakku walau banyak orang menyudutkanku"

Roy berhenti sebentar demi mengatur nafasnya yang mulai tidak beraturan. Roy ingin menangis, namun terlalu gengsi jika dia menangis didepan seorang wanita. Walau Sikha tidak akan mengetahuinya, tapi entahlah.

"Bolehkah aku jujur padamu akan satu hal?" Roy melanjutkan meski tau itu akan sia-sia.

"Aku tidak tau apa yang aku rasakan ini. Jujur ada rasa tidak suka saat kutau kau bekerja di perusahaan Pradipta. Bukan, bukan hanya karna ada Diaz atau karna dendamku padanya. Tapi lebih pada rasa tidak rela jika kau bertemu dengan pria-pria berdasi dan berjas rapi, sementara aku hanya pegawai biasa yang tidak ada apa-apanya" Roy berhenti sejenak. Dielusnya pipi pucat Sikha.

"Ada rasa takut saat itu. Takut kau memiliki kekasih dan tidak lagi peduli padaku. Takut kalau kau tidak ada waktu lagi untuk menemuiku. Aku takut kehilanganmu, Sikha. Aku..." Roy menghentikan perkataannya sebentar.

"Aku rasa kau sudah mengambil sepenuhnya hatiku, Sikha. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh. Tapi aku ragu untuk mengatakannya. Aku tidak yakin kau memiliki perasaan yang sama denganku. Apalagi saat kau dekat dengan Diaz. Kalian sangat dekat dan kufikir kau menyukainya"

"Aku memilih untuk memendam rasa ini, tidak apa-apa. Jika kau bahagia, akupun turut bahagia untukmu. Tapi Sikha, apa hatimu baik-baik saja melihat Diaz dengan orang lain? Kalaupun kau butuh seseorang untuk pelampiasanmu, aku bersedia. Bukankah sudah kubilang, jika kau bahagia, akupun bahagia. Sekarang bolehkah aku meminta satu hal, bukalah matamu. Tolong sadar Sikha" Roy menundukkan kepalanya. Isak tangis terdengar diruangan sepi itu.

Sementara tanpa sepengetahuan Roy, diluar ada Sharga dan Ahra yang baru saja ingin menjenguk Sikha usai memeriksakan kandungan Ahra, tidak sengaja mendengar semua perkataan Roy. Sharga dan Ahra mengurungkan niat mereka untuk menjenguk Sikha.

Love For EleanorWhere stories live. Discover now