02

280 33 9
                                    

"Haidar,"

Si empu nama merotasikan bola matanya; jengah. "Iya, Bapak minta gue ke sini pasti mau ceramah 'kan? Yaudah ceramah aja, gue dengerin." Segera dia ambil posisi, duduk di sofa. Sedang lawan bicaranya, menghela nafas lelah.

Perlahan pria seumuran dengan ayahnya itu bangkit. Melangkah mendekat, kemudian duduk di samping remaja tersebut, yang tak lain adalah salah satu siswa di sekolah milik keluargannya.

"Papa kamu tahu?"

Haidar paham kemana arah pembicaraan itu, namun dia tidak peduli. "Bukan urusan Bapak."

Farhan- sebagau pemilik yayasan, memijit pangkal hidungnya; frustasi. Ingin menghadapi Haidar dengan keras, namun dia ingat. Sahabatnya; Nizam, menitipkan kedua putra kembarnya di sekolah ini, untuk dididik sebaik mungkin. Tetapi, aturan sekolah yang keras pun bukan batasan untuk Haidar. Mungkin 'iya' bagi Hafla.

"Kalau kamu kayak gini terus, bisa-bisa kamu dikeluarin dari sekolah!" Farhan berusaha untuk tidak membentak. Menghadapi Haidar memang harus pelan-pelan. Selain itu, dia memang sudah menganggap kedua putra sahabatnya itu sebagai putra kandungnya sendiri. "Kamu itu tanggung jawab Om selama di sekolah, kalau begini terus Om yang khawatir. Papa kamu kalau marah ngga tanggung-tanggung."

Haidar tidak mengelak. Nizam memang akan berubah 180 derajat jika sedang marah. Namun dia sudah terlanjur tidak peduli. "Om ngga usah mikirin gue mulu, pikirin aja hidup Om sendiri. Usia udah kepala empat, tapi belum kawin juga. Ngga laku?"

"Kamu!" Farhan gemas. Dia memang belum menemukan orang yang cocok untuk diperistri, tetapi bukan berarti tidak laku. "Mulut kamu itu! Sopan sedikit!"

Remaja itu mengangkat bahu acuh. "Papa ngga bakal peduli," bisiknya. Matanya menerawang jauh," selama ini papa sibuk kerja."

Farhan melunak, dia tahu bagaimana perasaan anak remaja di sampingnya ini. Sebenarnya hati Haidar itu lembut, Farhan tahu. Karena selama ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Haidar. Tetapi tidak mudah mengetuk pintu yang sudah lama tertutup rapat itu, butuh kesabaran dan keajaiban.

"Om paham_"

"Nah karena itu, gue juga mau senang-senang di sini. Om ngga perlu ikut campur."

Suasana yang tadinya mellow berubah drastis. Farhan memasang raut jengkel, kemudian menarik telinga Haidar sambil menggerutu tidak jelas.

"Ngga ada pilihan lain. Om bakal panggil papa kamu! Atau kamu hapus tato di tangan kamu itu!"

"Ngga mau dua-duanya," ketus Haidar seraya berusaha melepas tangan sang paman dari telinganya. "Lepas Om! Ini kekerasan!"

"Kamu tuh kapan nurutnya sih!"

"Sampai gue bisa liat senyum bunda secara langsung!" Ucap Haidar spontan.

Tangan Farhan perlahan menjauh, rautnya menyendu. Dia berdeham, kemudian segera bangkit. "Hukuman kamu nanti nyusul, sekarang keluar dulu. Om ada urusan mendadak," ucapnya dengan nada sinis.

"Terserah." Haidar berlalu begitu saja. Membanting pintu cukup keras yang mengundang decakan keluar dari mulut Farhan.

"Lo liat kelakuan anak lo, Zam. Capek mental gue."

Namun, sepersekian detik berikutnya. Farhan mengulas senyum tipis. "Mirip lo waktu masih remaja_

_heran gue. Kenapa anak-anak lo ngga ada yang mewarisi sifat Afifa sih? Biar gampang ngurusnya."

.
.
.
.
.

Setelah keluar dari ruangan kepala sekolah, tempat yang menjadi tujuan Haidar adalah warsab. Dia sudah berjanji pada kedua temannya akan segera menyusul setelah urusannya selesai. Namun, baru saja kakinya akan menuruni anak tangga ke lantai satu. Eksistensi Halfa yang berjalan naik menghentikan niatnya.

Peruvian LilyWhere stories live. Discover now