07

205 31 15
                                    

"Der! Bangun shalat magrib!" Daffa memukul paha pemuda itu berkali-kali untuk membangunkannya. Dia kecolongan, ditinggal mandi sebentar Haidar sudah berkelana ke alam mimpi. Abqa yang diamanahkan pun tampak memasang wajah lugu tak bersalah. "Gimana sih Mas, tadikan gue minta tolong jagain. Ini sampe ketiduran lho, ketahuan pak ustadz bisa dihukum kita satu asrama."

Abqa menyengir. "Ngga ngeh gue, Daff. Orang bentukannya aja gitu, takut dingap gue," ujarnya bergidik ngeri melihat Haidar yang sudah melepas jaket hitamnya, menyisakan kaos lengan pendek dengan warna senada.

Rambut lebat yang tampak berantakan menambah kesan manly pemuda berusia tujuhbelas tahun tersebut. Matanya menahan ngantuk, namun masih bisa melirik tajam ke arah Daffa yang menjadi tersangka pembangunan paksa. "Bacot!"

Pada akhirnya dia menurut. Melepas kedua sepatunya dan diganti sandal jepit yang sebelumnya diberikan oleh Daffa. Wajahnya masam selama perjalanan menuju mesjid. Sesekali dia melirik ke arah Hafla yang berjalan di depan. Pemuda tersebut tampak tak berekspresi, menuruti semua perkataan Daffa tanpa menentang. Padahal setahunya, sosok kakak kembarnya itu bukanlah orang yang mudah menerima lingkungan baru. Apalagi lingkungan di sini memiliki perbedaan yang sangat jauh dari kehidupan mereka sebelumnya.

Mereka melangkah bersamaan menuju tempat wudhu begitu suara adzan berkumandang. Semua mata di sana menatap ke arah kedatangan Haidar yang lebih mencolok. Namun, hanya sesaat karena setelahnya mereka kembali pada kegiatan masing-masing.

Daffa menghela nafas. Ia menoleh ke arah Haidar sejenak, menatap lengan kiri anak itu yang dipenuhi lukisan dengan pola aneh.

"Sepupu lo-"

Suara Abqa langsung direndam oleh pergerakan Daffa yang meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Mengisyaratkan untuk diam. Dan dibalas cengiran oleh yang bersangkutan.

Sementara itu, orang yang menjadi pusat perhatian tampak menoleh ke segala arah beberapa kali selagi menunggu antrian mengambil air wudhu. Matanya mengedar mencari sesuatu yang sedari awal mencuri perhatiannya ketika pertama kali datang ke sini. Namun nihil, tidak dia temukan sosok itu di antara banyaknya santri di sana.

Hingga tibalah gilirannya mengambil air wudhu. Sejenak dia termangu di depan keran, wajahnya datar ketika menoleh pada Hafla yang berada di belakangnya. "Gue lupa cara ambil wudhu," ujarnya tanpa ekspresi.

Hal itu membuat Hafla merotasikan bola matanya, malas. "Bukan urusan gue," sahutnya tak acuh.

Saat masuk ke dalam mesjid pun, mereka bertiga masih menjadi pusat perhatian. Sengaja kali ini Daffa mengambil shaf paling belakang untuk membimbing dua sepupunya. Sedangkan Abqa tetap diminta mengisi shaf depan.

Ketika seluruh santri telah berdiri untuk menyempurnakan shaf, anak laki-laki yang tubuhnya lebih kecil dari teman-teman yang ada di sisnya, sedikit mengintip melalui celah. Senyumnya lebar saat bertemu tatap dengan Daffa, dan seketika pudar begitu mata bulatnya berkontak dengan mata setajam elang milik pemuda tinggi di samping Daffa.

Hanya lima detik, karena setelahnya anak itu kembali berbalik menghadap ke depan. Menyisakan perasaan kacau pemilik mata setajam elang di belakang sana yang masih tidak dapat mengalihkan atensinya, meski kini tubuh kecil itu sudah hilang terhalang barisan makmum.

.
.

Setelah melaksanakan shalat magrib dan serangkaian kegiatan rutin seperti taqlim, membaca Al-Qur'an dan dzikir hingga shalat isya. Para santri diberikan waktu sekitar satu jam untuk makan malam dan dilanjutkan dengan setoran hafalan.

Ramai dari berbagai usia, halaman mesjid dipenuhi para santri yang bak burung lepas dari sangkar. Mereka berlomba mengambil antrean untuk mendapat jatah makan malam yang sudah disiapkan porsinya oleh pengurus.

Peruvian LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang