03

258 23 6
                                    

Aura dingin yang menguar dari pria di depannya tidak membuat Haidar gentar. Ini yang dia sebut, bahwa ayahnya akan berubah 180 derajat jika sedang marah. Pria yang awalnya sudah terbilang dingin itu akan semakin dingin hingga mencapai angka minus 0 derajat. Memang berlebihan untuk Haidar yang bertemu dengan ayahnya hanya ketika membuat masalah di sekolah.

Ayahnya memang bukan sosok keras yang main fisik, tapi ucapan tegas pria itu kadang bisa membuat Haidar sedikit segan. Contohnya sekarang.

"Kamu tawuran?"

Haidar menoleh sekilas, kemudian berdecih. "Bukan urusan Anda," sinisnya.

Nizam berdehem, melangkah menuju kursi kerja yang sangat jarang dia gunakan. "Saya dapat laporan bahwa hari ini kamu berantem sama teman sekelas kamu."

Hening, Haidar memilih bungkam karena yang dikatakam Nizam memang benar. Setalah bertemu Hafla, dia tidak sengaja membuat masalah dengan teman sekelasnya. Saling pukul-pukulan bukan masalah besar lagi menurut Haidar. Memang bukan masalah besar jika keduanya hanya lecet atau lebam biasa. Tapi yang terjadi sangat berkebalikan, lawannya sampai mengalami patah tulang karena aksi brutal Haidar. Belum lagi tawuran yang sempat disinggung oleh Nizam memang benar adanya.

"Saya sudah membuat keputusan. Mulai besok kamu bakal ikut saya ke Bogor."

Haidar spontan menatap tajam sang ayah, wajahnya mengeras dengan kedua tangan yang mengepal erat. "Keputusan saya mutlak," sambung Nizam dengan tegas, lalu melenggang pergi berniat meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi aura hitam anak bungsunya.

Bogor, adalah kota yang selama ini coba ia hindari. Terlalu banyak kenangan sang bunda yang kapan saja bisa membuatnya lemah tak berdaya. Dia benci terlihat lemah, dia benci saat kerinduannya seakan menuntut temu yang berujung semu.

"Apa hak Anda membuat keputusan sepihak seperti itu! Saya menolak dengan tegas!" Haidar berteriak lantang, menghentikan tangan Nizam yang ingin menekan handle pintu.

Pria paruh baya itu berbalik, wajahnya tanpa ekspresi. "Haidar Arroyyan Clarkson," panggilnya dengan nada rendah. "Kemasi barang-barang kamu sekarang. Karena besok sore Daffa akan datang menjemputmu." Setelah mengatakan itu, Nizam benar-benar pergi meninggalkan Haidar yang semakin diselimuti amarah.

"Brengsek!!" Umpatnya kesal. "Yak! Nizam Affandi Clarkson! Gue belum selesai ngomong!"

*

*

Haidar menghela nafas untuk kesekian kalinya, matanya melirik dengan malas pada beberapa pelayan yang mengemasi barang-barangnya. Memasukkan semua pakaiannya ke dalam koper tanpa seizin darinya. Ah! Memang ayahnya tidak pernah main-main. Apa yang pria itu ucapkan, seakan benar-benar dapat dia lakukan dengan sesuka hati.

Bahkan sampai ketika dia mulai memasuki mobil yang akan membawanya ke Bogor, tidak ada satupun kalimat bantahan yang mampu dia lontarkan. Seakan jiwanya menerima dengan tenang keputusan yang pria itu ambil. Padahal aslinya kesal bukan main.

"Ngeselin banget jadi orang tua," gumamnya.

"Ngeselin banget jadi orang tua," gumamnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Peruvian LilyWhere stories live. Discover now