04

194 24 5
                                    

Ruangan bernuansa gelap di kediaman utama Clarkson itu, pagi ini tampak sepi. Hanya ada pencahayaan yang minim dari meja kerja besar di tengah-tengah ruang. Nizam, sosok yang tengah menempati singgasana besar di sana baru saja tiba kurang lebih sepuluh menit yang lalu. Perjalanan dari Jakarta ke Bogor ; tempatnya berada sekarang. Tidaklah singkat.

Selama ini, dia memang disibukkan dengan urusan bisnis. Sangat jarang dia meluangkan waktu untuk keluarga, terutama putra-putranya. Lagi pula, Zara merupakan sosok ambisius yang juga selalu sibuk. Bahkan sejak awal pernikahan mereka, itu semua hanya sebatas formalitas semata. Tidak pernah melibatkan cinta.

Dan sebagai sosok pria yang menyandang gelar 'papa' selama ini, dia selalu memantau setiap aktivitas anak-anaknya. Meskipun terkesan tidak peduli, nyatanya setiap kegagalannya selama ini sebagai seorang suami. Dia selalu kecewa dan tak jarang dia juga kerap termenung sembari menatap lukisan besar berisi sosok yang sempat mewarnai hidupnya.

"Fifa, maaf. Saya tidak becus menjadi sosok yang Anda harapkan."

.
.

Beberapa kertas berisi data proyek terlihat berserakan di meja besar pria tersebut. Wajahnya tampak serius dengan kacamata yang bertengger indah di hidung mancungnya. Sebelumnya dia telah menyelesaikan satu masalah yang dibuat oleh salah satu putranya. Tentunya penyelesaian tersebut tidak luput dari saran sang Paman ; adik bungsu mendiang Tuan Clarkson.

Dan seandainya sang ibu tahu keputusan yang dia ambil. Mungkin wanita yang sudah berumur itu akan marah besar. Karena selama ini wanita itulah yang berperan besar membesarkan dua cucu kembarnya. Namun, kali ini Nizam sama kerasnya. Tidak ada yang dapat mengganggu keputusannya, meski itu ibunya sendiri.

"Sir, Tuan Muda Hafla ingin menemui Anda," ujar salah satu bodyguard yang berjaga di depan pintu ruang kerjanya melalui sambungan interphone.

Nizam menghentikan kegiatannya. Wajahnya tanpa ekspresi, melirik ke arah lukisan besar di depannya. Sedikit heran dengan keberadaan Hafla di kediaman utama, karena seperti yang kalian tahu sebelumnya, pemuda itu berada di kediaman Zara yang jaraknya tidak bisa dikatakan dekat.

"Biarkan dia masuk,"

Begitu perintah sang tuan besar diterima. Pintu berukuran tidak biasa itu terbuka. Hafla melangkah pelan memasuki tempat bernuansa gelap tersebut. Kedua tungkainya kemudian menuju salah satu ruangan yang dibatasi pintu kaca berwarna gelap sebagai pembatas. Kakinya berhenti tepat di jarak kurang lebih sepuluh meter dari singgasana sang tuan besar. Badannya berbalik untuk menatap satu lukisan indah yang tidak pernah absen dia pandangi pahatannya setiap kali memasuki ruangan yang bisa dikatakan sebagai privasi ayahnya ini.

Tempat ini adalah tempat kedua milik Nizam setelah kamar utama yang tidak pernah dimasuki oleh siapapun, terkecuali Hafla dan satu orang yang menjabat sebagai PA kepercayaan pria Clarkson, itu pun tidak pernah memasuki ruangan yang Nizam tempati sekarang.

"Berhanti memandangi wajah istri saya, segera katakan apa maumu dan keluar."

Hafla berbalik, wajahnya datar menatap sosok pria di depan sana yang kembali sibuk dengan kegiatannya. "Kemana Anda akan mengirim Haidar, Tuan Besar Clarkson?" Sengaja dia tekan bagian tuan besar karena sepantasnya memang begitu. Selama ini hubungan mereka tidak pernah baik. Bahkan terkesan bermusuhan.

Nizam menutup berkas yang sebelumnya dia baca, kemudian meletakkannya di ujung meja. Mata tajam itu menyorot Halfa bagai seekor mangsa. "Apakah itu menjadi urusanmu?" Tangan pria itu lalu melepas kacamata dengan gerakan yang indah. "Jika hanya itu yang ingin kamu sampaikan, silahkan keluar sekarang. Saya masih banyak urusan."

Peruvian LilyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon