08

189 34 13
                                    

Luthfi melangkah lesu. Wajahnya muram sejak keluar dari ruang makan. Bahkan dia yang biasanya melakukan kegiatan setoran hafalan dengan ceria, kini terlihat kurang bersemangat. Hal ini tentu mengundang tanya bagi mentor,  terutama Ustandz Hanafi yang bertanggung jawab atas para santri. Dan beliau hanya sempat menepuk bahu kecil anak itu, lalu tersenyum sembari mengucapkan kalimat penyemangat, dan mempersilahkan jika seandainya Luthfi ingin berbagi cerita padanya. Namun, anak itu hanya menerbitkan senyum tipis dan menjawab bahwa dia tidak apa-apa.

Maka beginilah keadaannya sekarang. Masih terlihat murung di antara banyaknya santri yang sama-sama menuju kamar asrama. Langkahnya jauh tertinggal, membuat Abqa yang menyadari hal itu segera mundur dan merangkul bahu sempit adiknya.

"Masih kepikiran sama kejadian tadi?"

Luthfi tidak langsung menjawab. Dia menghela nafas, lalu menunduk sembari menggigit bibir bawahnya. "Kakak tadi marah banget ya?"

Suara pelan yang mirip bisikan itu mengundang tawa Abqa. "Jadi bener? Kamu masih mikirin itu? Sampe ngga selera makan?"

"Bukan gitu_"

"Masa? Jatah makan malam lo, gue yang habisin lho, Fi," sahut Amin yang mulai memperlambat langkahnya. Begitu pula Daffa dan Zaki. "Asli! Perut gue penuh banget malam ini. Ngga ngotak kalian, nyuruh gue ngabisin tiga porsi sendirian," kesalnya. "Padahal Rasulullah SAW, melarang_"

Zaki segera menutup mulut temannya. "Sesekali gapapa, memang lo mau kita dihukum berjamaah karena ketauan mubazir makanan? Kalo gue mah ogah njir."

"Yaaaa, ngga harus gue sendirian dong yang habisin," cetusnya setelah berhasil melepas bekapan tangan Zaki yang kuatnya bukan main. "Rese lo!"

Mereka mungkin akan berkelahi jika tidak dihentikan oleh Daffa, wajah pemuda itu tampak tak suka melihat perilaku kekanakan kedua temannya yang baru duduk di kelas 2 Ulya itu. "Kalian bisa diam dulu ngga? Amin juga kalo niat nolong jangan setengah-setangah. Tadi kamu juga 'kan yang nawarin diri mau ngehabisin porsinya Luthfi sama Hafla? Yaudah, jangan diungkit lagi." Daffa kemudian melirik Zaki, "kamu juga, Ki. Kurangin deh ngomong kasarnya. Kalo ketahuan pengawas juga bakal dihukum."

.

Suasana kamar asrama nomor 27 itu, kini terasa dingin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suasana kamar asrama nomor 27 itu, kini terasa dingin. Tidak ada percakapan maupun canda tawa seperti malam-malam sebelumnya. Enam pemuda di sana sama-sama diam, setelah salah satu penghuninya pamit pergi untuk melapor kedatangan anggota baru mereka.

Abqa selaku kakak tertua pun bingung cara mencairkan suasana yang semakin membeku. Dia tidak tahu harus memulainya dari mana, begitupun Amin dan Zaki. Keduanya hanya sesekali beradu pandang, lalu sepakat menutup mulut.

Sementara itu, yang termuda tampak duduk di pinggir kasur milik Abqa sembari menunduk. Masih takut pada Haidar yang sosoknya sama sekali tak terusik dengan kehadiran teman-teman barunya. Laki-laki itu tampak masih tenang dalam pejamnya.

Karena diliputi rasa bersalah, agaknya Luthfi memberanikan diri mengangkat wajahnya guna menatap punggung Haidar dan Hafla bergantian. Dari keduanya, mungkin Luthfi akan mulai dari Hafla terlebih dahulu. Karena putra sulung Azam itu tampak sibuk membolak balikkan halaman buku di meja belajar.

Perlahan kaki yang sebelumnya menggantung itu, turun menyentuh lantai keramik putih di bawahnya. Pelan dia bawa langkahnya mendekati Hafla.

Dan percayalah, pergerakan anak itu berhasil membuat Abqa menahan nafas.

"K-kak," panggilnya sopan.

Hal itu tentu membuat sosok Hafla menoleh. Wajahnya tanpa ekspresi, matanya luruh menatap anak laki-laki yang berdiri di samping kursi meja belajarnya sembari menunduk.

"M-masalah di ruang makan tadi. M-maaf,"

Hafla mengernyit. "Lo ngomong sama gue? Atau sama lantai?" Pasalnya anak itu sama sekali tidak menatap wajahnya.

Luthfi kontan mengangkat kepala; menatap Hafla yang masih berwajah datar. "N-ngomong sama Kakak," sahutnya gelagapan. Takut Hafla malah salah sangka pada niat baiknya.

Wajah tampan itu makin tidak sedap dipandang, apalagi ketika tubuh tingginya menjulang di depan tubuh kecil Luthfi. Terlihat kontras sekali.

Hafla bersmirk. Kepalanya menunduk menatap anak laki-laki yang hanya sebatas dagunya itu. Spontan wajahnya dia dekatkan dengan wajah Luthfi yang otomatis mundur. Kedua manik indahnya memancar takut.

Sementara itu, Abqa sudah was-was melihat perilaku tidak terduga Hafla. Bahkan Amin dan Zaki sama sekali tidak berkedip, harap-harap cemas.

Melihat anak kecil di depannya mengerut takut, Hafla segera menjauh. Berdiri tegap, masih menatap Luthfi dengan intens. "Gue Hafla. Panggil gue Bang Hafla. Lo?"

Luthfi mendongak, mengedip beberapa kali. Lalu tertawa canggung. "N-namaku Luthfi, Ka- eh? Bang."

Dan akhirnya Abqa dkk bisa menghela nafas lega.

Namun berbeda dengan anak yang termuda. Wajah manis itu, menoleh ke arah punggung remaja yang tampak tidak terusik sama sekali.

Dia masih harus meminta maaf pada sosok menyeramkan itu.

"Maaf, kak. Soalnya kakak emang serem." Batin Luthfi.
.

" Batin Luthfi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

To be continued
24-04-2024

Hehehehe


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Peruvian LilyWhere stories live. Discover now