Chapter 12. Kesepakatan Rimba-Nuan

3.8K 433 172
                                    

Emot buat Rimba dan Nuansa?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Emot buat Rimba dan Nuansa?

Author gak bakal bosen ingetin kalian buat follow Unianhar yang belum follow, tekan tanda bintang di pojok kiri bawah, komentar sebanyak-banyaknya dan share cerita ini biar lebih rame. Oke? 😍

***

Amarah menguasi menutup mata perempuan itu bahwa yang dihadapi bukan orang biasa. Keputus asaan menggelapkan mata menghilangkan kewarasannya. Nuansa mengakui bahwa ia benar-benar gila telah berbuat sejauh ini. Kalau saja waktu bisa diputar beberapa menit sebelumnya Nuan akan memilih menunggu di luar sampai rapat selesai bukan malah menerobos masuk dan menghancurkan segalanya.

Nuan menunduk dalam merutuki diri sendiri. Keringat dingin menetes dari kening, kedua tangan gemetar, wajah yang semula memerah karena amarah berubah pias. Ruangan rapat yang sebelumnya banyak orang kini menyisakan dirinya dan Rimba. Ia beruntung kalau bisa keluar dari ruangan itu dalam keadaan hidup.

Lima belas menit berlalu tidak ada yang memulai pembicaraan. Atmosfer di ruangan itu semakin tidak nyaman. Suhu AC dan tatapan dingin Rimba membekukan tubuh Nuan yang masih berdiri di hadapan pria itu. Entah mengapa Nuan merasa banyak pasang mata yang menyorotnya dari segala arah padahal hanya ada Rimba di sana.

"Hah."

Helaan napas kasar Rimba terdengar mengecam di telinga Nuan. Nyali sebesar bola pimpong makin mengecil dari sebuah kelereng. Gaza, doakan Buna supaya selamat, Nak, batinnya.

"Kamu menghancurkan rapatku hanya untuk mematung di sana?" tanya Rimba pada akhirnya. Simpul dasi yang melingkar di leher sedikit ditarik untuk dilonggarkan.

Jleb!

Nuan terperanjat mengangkat pandangan. Rimba benar, ia ke sana bukan untuk mematung seperti orang bodoh. Ia punya tujuan. Kalau sudah begini apa boleh buat, dirinya terlanjur tercebur ke sungai, menyelam satu-satunya cara untuk selamat meski ia tidak tahu seberapa deras aliran airnya. Takut-takut Nuan membalas sorot dingin Rimba. Baru saja melihatnya membuat dirinya diseret ke kutub utara, sangat dingin dan menggetarkan.

"Ak-aku mau bi-bicara," gugupnya. Begini rasanya mencari masalah dengan Rimba, jangankan berbicara, bernapas saja rasanya sulit. Pertemuannya kali ini tidak seaman kemarin.

"Aku sudah memberimu kesempatan bicara, lakukan, aku juga mau dengar alasanmu mengacaukan rapatku," sahutnya datar.

Nuan menggigit bibir dalamnya. Ekspresi Rimba masih sedatar papan tulis sekolah Gaza. Intimidasi pria itu begitu kuat membuat lawan bicaranya gelisah. Sesekali sorotnya turun pada kedua tangan Nuan yang gemetar. Sebelah alis Rimba terangkat, menerima tatapan sebal dari adik sepupunya itu.

"Bang Rimba udah mengacaukan rencana yang kubuat. Itu lebih parah dari yang aku lakuin," cetusnya berusaha menguasai diri agar tidak terseret dalam arus yang Rimba buat. "Aku nggak tahu kenapa Bang Rimba lakuin ini, tapi ini keterlaluan," lanjutnya mengeluarkan keluh-kesahnya.

POSITIONS (Tamat)Where stories live. Discover now