8. Kenyataan Pahit

137 12 2
                                    

Selamat membaca 😳

Ingat! Jangan terlalu banyak berharap, terlebih berharap kepada manusia!

Ambil yang baik dan buang yang buruk!

Siapkan hati yang kuat saat membaca part ini, kemungkinan di sini akan sedikit mengoyak hati mungil kalian

Sambil dengerin lagu bisa kali, ya

Pura-Pura Lupa~Mahen

~'~'~'~'~'~'~'~'~'~'~'~'~'~'~'


"PAK FATHAN!"

Belati itu mengenai bahu Fathan sebelah kiri hingga mengeluarkan banyak darah.

Aulia menghampiri Fathan dan berniat menolongnya, tetapi laki-laki itu malah menghindar.

"Bapak terluka, mari saya bantu."

"Terima kasih, tapi saya bisa sendiri," tolak Fathan. Ia mencabut belati itu, darah pun mengucur tanpa henti hingga membuatnya sedikit pusing tapi ia berusaha menahannya.

Melihat bosnya terluka, Aulia geram dan mengajaknya untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Walau ia membenci pria itu lantaran sikapnya yang menyebalkan, tetapi rasa kemanusiaannya keluar begitu saja kala melihat Fathan yang mulai terlihat lemah dan pucat. Sempat menolak, tapi Aulia berhasil juga membujuk Fathan agar menurutinya.

Sementara di tempat lain, tepatnya di kediaman keluarga Novan, semua orang tengah antusias menghadiri resepsi pernikahan putra sulung Novan dan Rindi. Gio datang dengan pakaian khas pengantin yang melekat pas di badannya, auranya sangat terlihat beda hari ini. Namun, tidak menutup kemungkinan ia juga sangat gugup dan berusaha menyembunyikan hal itu dengan terus beristighfar. Hari ini, ia akan mempersunting gadis yang ia cintai semenjak masa kuliah dahulu. Gadis yang selalu membuat jantungnya berdebar kala bertemu atau sekadar berpapasan dengannya.

"Maa syaa Allah, tampan sekali anaknya Bunda." Puji Rindi seraya membenarkan peci Gio yang sedikit miring.

"Alhamdulillah, terima kasih, Bunda." Balas Gio tersenyum. "Oh, iya, Fathan belum terlihat dari tadi. Bukankah pekerjaannya sudah selesai di sana, Bund? Apa iya dia tidak mau datang ke pernikahan Gio, waktu acara khitbah saja ia tidak bisa datang karena ada beberapa urusan di kantor?"

Rindi menepuk bahu Gio. "Bunda juga cemas dari kemarin-kemarin, Nak. Kita doakan saja ia cepat ke sini sebelum acaranya dimulai."

"Dia pasti ke sini." Ujar Novan mantap.

Mengingat waktu ijab kabul akan segera dilaksanakan, Fathan pun tak kunjung datang. Semua orang merasa cemas, terlebih Rindi. Sejak awal ia tak tega untuk melepas Fathan pergi, entahlah, mungkin itu adalah naluri seorang ibu yang begitu kuat terhadap anaknya.

"Mari, segera dimulai ijab kabulnya!"

"Apakah bisa diundur sebentar lagi, Pak? Kita tunggu adik saya datang dahulu." Pinta Gio yang merasa cemas.

"Baiklah."

Beberapa menit berlalu, tetapi Fathan pun tak kunjung datang. Hal tersebut semakin membuat keluarganya merasa cemas.

"Dimulai saja, Pak!" Pinta Novan kepada Pak penghulu.

"Tapi, Yah-"

Novan tersenyum dan mengangguk guna meyakinkan Gio.

"Baiklah."

Pak penghulu segera mengucap ijab dan diikuti oleh Gio. Dengan satu tarikan napas, ia telah berhasil mengucapkannya dengan mantap dan lantang. Dengan ini, Gio telah berjanji kepada Allah untuk meminta dan membahagiakan seorang wanita yang telah lama ia cintai itu. Wanita yang selalu sukses membuat jantungnya berdebar hebat kala bertemu dengannya. Perasaan yang Gio pendam selama beberapa tahun dan pada akhirnya ia berhasil menjaganya tanpa mau menodainya sebelum ada ikatan yang sah.

CINTA SANG CEO (On Going)Where stories live. Discover now