Fourteen

261 39 5
                                    

Hinata mematung menatap jalanan. Mengindahkan Sasuke yang saat ini ada di dekatnya. Pria itu sesekali melirik ke arah Hinata sembari tetap menjalankan mobilnya. Pria itu tidak memedulikan rasa nyeri yang dirasakan di sekujur permukaan wajahnya. Fokus utamanya adalah pada Hinata.

Istrinya itu tak mengatakan apa-apa sejak tadi. Hanya diam dengan air mata yang sesekali membayang di kedua netranya. kedua lengan istrinya itu tampak seolah tengah memeluk dirinya sendiri. Menyembunyikan kedukaan yang tidak Sasuke pahami.

Apa yang membuat Hinata seperti itu? Kedukaan karena akan memiliki bayi darinya atau kedukaan karena Naruto?

Seharusnya hal ini tidak lagi menjadi masalah, bukan? Naruto sendiri juga akan memiliki keluarganya sendiri. Bukankah ini adalah tanda dari Kami-sama bahwa mereka bisa memulai segala sesuatu yang baru? Terlepas dari masa lalu yang buruk.

Atau ... Hanya sekedar masa lalu yang Hinata pikir buruk tapi tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya? Segala prasangka buruk yang terlanjur terbentuk kala itu ... Dan banyak hal lain. Tapi sepertinya, jujur di saat ini pun tidak tepat. Semoga saja Sasuke masih memiliki cukup waktu. Di saat mereka saling mencintai nantinya ... Sasuke akan mengatakan semua hal pada Hinata.

Bukan ... Bukan untuk membuat sang istri semakin merasa bersalah. Sasuke hanya ingin segala kesalahpahaman ini berakhir. Mungkin nanti.

Ya, mungkin saja.

.

.

.

Naruto terus diam selama perjalanan pulang. Pria itu bahkan abai ketika Sakura berlari kecil mengejarnya. Fakta bahwa bisa saja Sakura terjatuh karena mengejarnya benar-benar tidak ada di kepalanya.

Marah.

Hanya itu satu-satunya perasaan yang sedang mengukungnya. Persetan dengan perasaan orang lain. Agaknya seperti itu. Karena kenyataannya, nama Hinata masih belum hilang dari hatinya. Dan kenyataan bahwa dia dan Hinata adalah sebuah ketidakmungkinan menyakitinya lebih dari apapun. Bahkan menumpulkan logika yang seharusnya terbentuk bahwa dia saat ini sedang tidak sendirian.

"Naruto-san, anda bisa jatuh. Tolong melangkah dengan lebih pelan," pekik Sakura sembari berlari kecil. Mengejar sang suami yang seolah telah menuli.

"Naruto-san!"

Sakura nyaris terjerembab ketika menarik kuat tangan suaminya agar berhenti melangkah dengan cepat. Naruto diam di tempat sampai Sakura mengelus punggungnya. "Tolong, apapun kekesalan dalam dirimu, seharusnya kau tidak mencoba menyakiti diri. Kau bisa saja kehilangan banyak hal kalau kau seperti ini."

Wanita itu menuntun Naruto masuk ke paviliun tempatnya tinggal. Alih-alih membawa Naruto ke dalam mansion. Sakura tidak diizinkan masuk ke sana. Apa yang diharapkan?

"Berjalan dengan amarah sama buruknya dengan mengemudi menggunakan amarah. Kita tidak tau kemalangan apa yang akan menanti kalau tetap keras kepala seperti itu," ujar Sakura lembut setelah berhasil mengajak Naruto duduk di atas sofa.

Naruto mengabaikan kalimat itu seperti biasa. Bahkan ketika Sakura telah menyodorkan secangkir teh olong dingin padanya, Naruto masih mengabaikannya layaknya patung. Sampai akhirnya netra pria itu terjatuh pada perut Sakura yang mulai membuncit.

Tangan pria itu bergetar menyentuh permukaan perut Sakura tanpa sadar. Wanita itu sampai menggeleng tidak mengerti melihat sikap tidak biasa Naruto. Suaminya itu menatapnya dengan jenis tatapan yang tidak biasa. Membuat Sakura mematung di tempat hingga tanpa sadar tubuh wanita itu sudah setengah tertindih tubuh suaminya.

Tanpa kata, Naruto melumat bibir Sakura dengan lembut. Sesuatu yang seketika membuat air mata wanita itu menetes dengan derasnya. Tidak pernah dalam mimpinya mendapatkan perilaku yang sedemikian rupa dari Naruto. Pria itu terus memberikan ciuman memabukkan hingga membuat Sakura tanpa sadar memekikkan namanya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Before You GoWhere stories live. Discover now