2. Merelakan

236 19 52
                                    

Besok adalah hari pernikahan Ares dan Mariska. Pagi ini, semua perempuan di rumah Ares boyongan untuk menginap di rumah Ivan yang ada di sisi lain kota Surabaya. Hitung-hitung sekalian mengadakan bachelorette party bagi Mariska.

Sedari pagi, para gadis memanggil layanan rumah mulai dari spa, mani-pedi, perawatan wajah, dan lain-lain, juga memesan banyak sekali makanan apa pun yang mereka inginkan, menggunakan salah satu kartu kredit milik Ares yang dipercayakan pada Monik untuk keperluan mereka dalam sehari itu.

Tak hanya itu, sesi curhat dan games juga mereka lakoni, hanya satu hal yang luput dari rencana mereka, yakni memesan layanan jasa stripper pria, karena ditentang keras oleh Ares, Ivan, Tommy, dan Catur.

Tidur larut malam, mereka terkaget dan bangun saat mendengar dering bell saat matahari bahkan belum terbit. Tentu saja, tim make-up sudah datang di waktu itu karena riasan pengantin wanita tak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan terburu-buru.

Anna yang pertama kali selesai mandi menelepon Ares, berniat untuk membangunkannya supaya bersiap-siap. Namun, tiga panggilannya tersambung ke voice-mail. Dia berteriak pada Mishka, memintanya menelepon Ivan, sementara dirinya mendial nomor Nobel. Mishka menyuruh Rara menelepon Tommy, dan seluruh panggilan yang mereka buat, berakhir sama. Perasaan tak enak menyelimuti kala mereka saling pandang, sedetik kemudian Anna meminta salah satu make-up artist untuk meriasnya sebelum dia buru-buru pulang dengan menggunakan taksi.

Monik menyusulnya segera setelah dirinya selesai dirias. Dia menyetir BMW hitam pemberian Ares dengan kecepatan tinggi, bukan karena tergesa, tapi Monik memang gemar kebut-kebutan. Nahas, jalan menuju rumah Ares macet karena ada truk mermuatan pasir yang terguling. Dia baru sampai dan memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ares 30 menit kemudian.

Berjalan memasuki lantai satu yang sudah didekorasi sedemikian rupa untuk acara akad nikah, Monik berpapasan dengan Catur yang terlihat gagah dalam balutan setelan berwarna putih dengan bordir dan kancing perak yang dikhususkan untuk orang tua mempelai. Batinnya berdecak kagum, untuk pertama kalinya dia menaruh perhatian pada seorang pria, dan itu bukan sebagai teman atau keluarga.

"Morning, Raven." Sapaan Catur menyadarkan Monik dari lamunannya.

Wajahnya terasa panas, Catur pasti menyadari bahwa dia terpukau. Untung saja make-up menutupi wajahnya sebagai topeng, kalau tidak, dia membayangkan betapa malunya jika Catur mendapati wajahnya bersemu merah. "Morning, Mas Catur," balasnya.

Tak seperti Edna yang senang dipanggil dengan sebutan mama dan segera menganggapnya putri sendiri, Catur yang memandang Monik sebagai wanita memaksanya untuk memanggil mas, bukannya papa. Dia tersenyum miring mendapati ketertarikan gadis itu terhadapnya. Dipandanginya gadis yang kini terlihat sangat cantik itu buru-buru berlalu dan naik ke lantai dua, daun telinganya yang memerah tak luput dari perhatiannya.

Di ruang tengah lantai dua, Monik melihat Tommy yang sedang berada dalam sambungan telepon, dan dari pintu kamar kosong yang tadinya ditempati Ruby, dilihatnya Ivan sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Monik membuka pintu kamarnya yang tertutup di samping kamar tersebut dan masuk ke dalamnya.

Dia melihat gaun yang tadi dikenakan Anna saat pergi kemari tergelar rapih di atas tempat tidur, dan dibuat sedikit heran olehnya. Pintu kamar mandi yang terbuka membuatnya ingin sedikit menggoda Anna.

"Am I in heaven? Why does the angel look like my Laura?" lirih suara pria dari dalam kamar mandi, membuat Monik tak habis pikir dan melongokkan kepala ke dalamnya.

___HEXA_LIEM___

Anna Laura McLaren nama lengkapnya, kendati demikian Sebastian Nobel Wiratmaja, atau yang biasa dipanggil Sebastian atau Nobel, yang terang-terangan menyukainya biarpun dia memiliki pacar yang cantik, bersikukuh untuk memanggilnya Laura. Bagi Nobel, Laura terdengar manis dan feminin, persis seperti bagaimana pandangannya terhadap wanita berusia 31 tahun itu tak berubah, bahkan ketika tubuhnya kini jadi kekar seperti itu.

Nobel mencintainya sepenuh hati, dan rela menunggu hingga kapan pun untuk bisa memiliki Anna seutuhnya. Dia bahkan terang-terangan mengungkapkannya pada Monik yang saat itu telah berpacaran selama setahun dengan Anna. Monik paham betul ada rasa yang ditahan Anna untuk Nobel, dan menutupinya supaya hatinya tak tersakiti. Monik juga mengerti bahwa cepat atau lambat, dia harus merelakan Anna supaya bisa berbahagia dengan Nobel.

Anna memapah tubuh Nobel dan mendudukkannya di atas toilet yang tertutup. Mata Nobel setengah terbuka dan senyuman bodoh terplaster di wajahnya. Pria itu sangat mabuk.

Diraihnya gagang shower dan baru saja hendak menyemprotkan air dingin ke wajah tampannya untuk menyadarkannya, saat pria itu bertanya, "Am I in heaven? Why does the angel look like my Laura?" [Apa aku di surga? Kenapa malaikatnya mirip Laura-ku?]

Anna membelalakkan matanya. 'Demi apa? Kenapa dia beranggapan kalau ini adalah alam baka?' batinnya heran. "Oh, I'm worst than a grim reaper, Sebastian," ucapnya geram. [Oh, aku lebih menakutkan daripada malaikat pencabut nyawa, Sebastian.]

Sebelum Anna memutar keran shower, Nobel menunduk dan menangis tersedu-sedu, membuat Anna benar-benar tak habis pikir. "I love you, Laura. More than life itself. I don't think I could wait longer, I'm gonna be crazy ...." [Aku mencintaimu lebih daripada hidupku. Aku gak bisa menunggu lebih lama, mau gila rasanya.]

Rengekan Nobel membuat Anna iba, bagaimanapun perasaan yang tumbuh untuk pria itu tak bisa dipungkirinya. Dia meletakkan gagang shower di lantai dan berlutut di hadapan Nobel, lalu meraih pipinya dengan kedua tangan. "Hang on there, Sebastian. If we are fated to be together, love will find a way-" [Sabar, Sebastian. Jodoh gak akan ke mana-]

Ucapannya terpotong saat Nobel memajukan wajahnya dan mengunci bibir Anna dalam sebuah ciuman panas. Anna terlena, memejamkan matanya, menikmati dan membalas cuma tersebut, tanpa menyadari bahwa Monik menyaksikan adegan tersebut.

Hati Monik seolah diiris kemudian dilumuri perasan lemon. Walaupun dia tahu cepat atau lambat ini pasti terjadi, dia tak akan pernah siap. Anna telah membuatnya nyaman, menjadi rumah baginya selama dua tahun ini. Kini, dia terpaksa memantapkan hatinya untuk mengakhiri hubungannya dengan Anna.

Berusaha tak membuat suara sama sekali, juga menahan air matannya supaya tak jatuh. Dia keluar dari kamar tersebut dan berjalan ke arah halaman, kemudian duduk di salah satu kursi plastik berhias kain putih di area resepsi yang masih sepi. Bagaimanapun, hari ini dia harus terlihat ceria, demi Ares dan Mariska.

Dia berusaha menenangkan dirinya dan menggunakan segala kepalsuan untuk menyambut kedatangan tim katering. Tanpa dia sadari, sedari tadi Catur memperhatikan gerak-geriknya. Catur tahu gadis itu sedang sangat sedih dan memaksakan senyuman dan sikap ceria.

𝕁𝕒𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕝𝕦𝕡𝕒 𝕧𝕠𝕥𝕖 𝕕𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕒𝕝𝕜𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣, 𝕪𝕒𝕟𝕘 𝕓𝕒𝕟𝕪𝕒𝕜 𝕐𝔾𝕐 ❤

Om Kos 2حيث تعيش القصص. اكتشف الآن