9. Terlambat

114 10 11
                                    

Mariska terbangun dari tidurnya dalam keadaan perut keroncongan. 'Heran, belum juga dua jam aku makan,' batinnya.

Dilihatnya Ares di sampingnya sedang sibuk dengan laptopnya, menyortir email. Ares yang menyadari Mariska terbangun, meletakkan telapak tangannya di kening istrinya dan menghela napas lega saat merasakan suhu tubuhnya telah normal kembali.

"Mau dibikinin minum?" tawar Mariska sambil beranjak dari tempat tidur.

Ares menoleh padanya dan tersenyum polos. "Coklat panas pake marshmallow."

Mariska menahan tawa, masih tak terbiasa dengan minuman favorit suaminya sejak masih kecil yang tak berubah hingga kini. "Mau kukis juga?"

Kepala Ares mengangguk cepat, kali ini Mariska tak dapat menahan tawanya. Dia terpingkal sambil berjalan menuju dapur. Dicomotnya sepotong browny di atas meja pantry dan memakannya sambil memperhatikan punggung Monik yang sedang mencuci piring. Kepala gadis itu terkulai ke samping dan dia tak berhenti mendesah kesal.

"Are you okay?" tanyanya dan mendengar dengkusan kasar dari hidung Monik sekali lagi.

"Well ... Nope."

"Kenapa lagi?"

"Gue capek sama idup gue, Mar. Gini mulu, kasian banget si Anna ngalah mulu sama gue," jawabnya asal. Padahal di dalam hatinya dia hanya galau masalah hubungannya dengan Catur.

Mariska yang telah menghabiskan potongan browny-nya, berdiri untuk membuat minuman pesanan Ares. Monik menoleh ke arah istri Ares tersebut. Cahaya matahari menjelang sore yang masuk dari jendela dapur menerangi mereka, membuat kulit dan rambut Mariska seolah bersinar. "Cakep banget sih, Lu."

Mariska yang heran dengan betapa cepat Monik mengganti topik, menatap heran lawan bicaranya, lalu terkekeh. "Bisaan kamu ini kalau muji orang."

Monik mengerutkan alisnya, mengingat Mariska yang tadi pagi demam, dan sorenya sudah benar-benar terlihat bugar. Sebuah asumsi terpikir di kepalanya. "Kapan lu terakhir mens?"

Sambil mengaduk cairan di dalam mug, Mariska berpikir. "Bulan lalu. Eh ... lebih dikit, pas Bang Ade mau ke Malang itu." Monik mengangguk-angguk, merasa bahwa asumsi di kepalanya terlalu cepat dibuat.

"Abis ini gue mau ke tempat Mama. Lu mau ikut?" tanya Monik, yang tak dihiraukan oleh Mariska karena pikirannya masih sibuk dengan maksud pertanyaan Monik barusan. Dia kemudian ngeloyor pergi dengan mug di tangannya tanpa memberi jawaban.

Monik menggedikkan bahunya. 'Dasar pengantin baru,' rutuknya dalam hati.

Mariska melangkah masuk kembali ke dalam kamar dan meletakkan mug di atas nakas di samping Ares. "Makasih, Sayang ...."

Ares merasa sedikit aneh mendapati istrinya tak menjawab, dan malah berjalan memasuki kloset kamar mereka dengan terburu-buru.

Mariska membuka tas besar berisi barang-barangnya yang memang belum sempat dibongkar dari koper dan ditata kembali ke tempatnya. Dicarinya tas kecil berisi pembalut dan celana dalam baru, lalu membukanya setelah ketemu. Dipegangnya bungkus pembalut yang masih utuh dengan heran.

Dia ingat sekali saat itu buru-buru pulang sendirian tanpa menunggu Ares menjemputnya karena tamu bulanannya tiba-tiba datang saat dia masih berada di kampus. Saat itu dia mampir ke sebuah minimarket dan membeli dua bungkus pembalut, dan yang sebungkus habis digunakan dalam satu periode menstruasi. Dihitungnya lagi berapa lama waktu tersebut telah berlalu, hampir dua bulan. Jadwal menstruasinya tak pernah terlambat sebelumnya.

Diletakkannya bungkusan tersebut dan keluar dari kloset. "Sayang, aku keluar bentar, ya?" pamitnya.

Ares menutup dan meletakkan laptopnya di atas tempat tidur. "Mau ke mana?"

"Apotek."

"Yuk, aku anter," jawab Ares sambil berdiri dan berjalan ke arah kloset untuk mengenakan celana training di luar boxer-nya.

"Aku bisa sendiri, kok."

"Aku tau, Cantik. Aku lagi pengen roti bakar di ujung komplek itu, sekalian keluar."

Mariska tertawa kecil. "Makan terus, bentar lagi buncit, lho."

"Gak akan. Aku olahraga kok, mau seksi terus biar istriku ga lirik laki-laki lain," seloroh Ares sambil menggamit lengan Mariska.

___HEXA_LIEM___

Mariska melihat Ares menerima telepon dan mengisyaratkan padanya akan turun sebentar dari mobil yang terparkir di depan apotek. Ares mengangguk. Tak lama kemudian Chika-nya sudah masuk kembali ke dalam mobil dengan kantung kecil di tangannya.

"Cepet banget," komentarnya.

"Cuma beli ini," jawab Mariska sambil menggoyangkan kantung plastik berwarna hitam tersebut. Tanpa bertanya apa yang dibeli oleh istrinya, Ares menyetir mobilnya kembali pulang.

Mariska segera berlari ke dalam kamar mandi setelah sampai. Ares mengikutinya masuk ke dalam kamar dan kembali mengganti celananya ke sebuah boxer longgar. Saat keluar dari kloset, dia melihat istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat.

Akhir-akhir ini Chika bertingkah aneh sekali. Istrinya itu selalu lapar, emosional, sangat mudah lelah, banyak tidur, dan sering masuk angin. Ares masih mengira itu hanya karena perubahan jadwal sehari-harinya dari sebelum menikah, karena mereka bercinta terlalu sering dan membuat Mariska kelelahan.

Dipeluknya tubuh Chika dan dielus lembut lengannya. "Are you okay? Do we need to see a doc?"

Mariska tak bereaksi, membuatnya khawatir. "Chika?" panggilnya.

"We do need to see an obgyn," balas Mariska sambil mendongak untuk memandang wajah tampan suaminya.

Ares menatapnya dengan heran. Dilihatnya jemari lentik Chika terulur mendekati wajahnya, baru disadarinya tangan itu memegang tiga buah alat tes kehamilan dengan bermacam bentuk dan warna.

"Semuanya positif," cicit Mariska, membuat Ares otomatis melongo dan membelalakkan mata. Tangannya otomatis mengarah ke perut datar istrinya dan menyentuhnya, seolah bisa merasakan kehidupan baru yang tumbuh di sana.

"Semoga aku nggak lagi mimpi," lirih Ares. Dia masih belum pulih dari rasa kaget bercampur haru saat mendengar Mariska terisak.

"Aku takut ...," lirihnya sambil berurai air mata, membuat Ares merasa bersalah.

"Oh, Sayang ...," ucapnya sambil mengangkat tubuh Mariska untuk kemudian duduk dengan memeluk istrinya dalam pangkuannya. "I'm sorry."

"You're not sorry, you're happy," sahutnya di sela isakannya.

"How could I be sorry, I'm going to be a father," balasnya bingung.

"Then why did you said sorry?!" bentak Mariska. Ares menggigit bibirnya untuk menahan tawa.

"Aku akan jadi bapak, dan ibunya adalah perempuan yang aku cintai. Aku seneng, Chika ..., dan bingung kenapa kamu malah sedih."

Sejujurnya banyak emosi bercampur yang dirasakan Mariska. Takut, kaget, bahagia, khawatir, tapi tak sedikit pun dia merasa sedih atau menyesal.

"Aku cuma takut gak bisa jadi ibu yang baik, Bang Ade. Aku belum siap jadi ibu."

"But we did it together, Sayang. Kamu sendiri yang gak mau aku pake pengaman, aku kira kamu udah paham kalo efek samping dari sex marathon yang kita lakukan, ya kehamilan," ucap Ares geli.

"Salah siapa kamu seenak itu," jawab Mariska kesal. Kali ini Ares tak dapat menahan tawanya. Dia tak bisa menahannya bahkan ketika dilihatnya sang istri melirik sebal sambil menggembungkan pipi. Ares memeluknya sayang.

"Let me take care of you, both of you." Ares mengatakannya sebelum mengecup puncak kepala Mariska.

'Iya kalau satu,' dongkolnya dalam hati. 'Kalau kembar kaya kakakku, gimana?' Meskipun begitu, dia hanya menjawab ucapan Ares dengan anggukan.

"Kalau pengen apa-apa, bilang ya?"

"Aku mau jagung bakar."

"Oke, ayok beli-"

"Tapi Bang Ade yang bakar ...."

"Hah?!" Ares memijat keningnya. 'Belum-belum sudah gini,' batinnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 26, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Om Kos 2Where stories live. Discover now