7. Maaf

115 8 3
                                    

Paginya, setelah membersihkan diri dan makan, Mariska kembali meringkuk di tempat tidur karena merasa tubuhnya lelah sekali, sementara Ares mengecek pembangunan rumah mereka. Ares yang tak ingin berlama-lama meninggalkan istrinya sendirian kembali ke kamar dan menemukan Mariska tengah tertidur pulas.

Ares menyelimuti tubuhnya dan mulai sibuk dengan ponselnya untuk mengecek pesan dari para pengelola usaha-usaha kecilnya. Dia meletakkan ponselnya saat merasa puas karena hampir tak ada masalah sama sekali, masalah-masalah sepele tentu bisa mereka selesaikan dan Ares hanya tinggal menunggu laporan mereka saja.

"Mau mama ...," gumam Mariska dalam tidurnya. Ares menoleh ke arahnya karena tak biasanya gadisnya mengigau, dan melihat alisnya mengerut.

Ares mengelus keningnya, merasakan suhu tubuh istrinya tak biasa dan langsung diserang rasa panik. Dia berlari ke lantai dua dan mengetuk puntu kamar Monik.

Pintu terbuka dan Monik yang sepertinya sudah bersiap hendak keluar rumah muncul dari dalam kamarnya. Ares melihat matanya sembab sehabis menangis, yang pasti diakibatkan oleh cekcok dengan Anna.

"Kenapa, Bang?" tanya Monik pelan, tahu betul Ares pasti menyadarinya.

"Chika, Nik," ucap Ares. "Badannya panas, boleh minta tolong cek? Kalau kamu sibuk, aku bawa ke rumah sakit aja gakpapa."

Monik tak menjawab, masuk kembali ke dalam kamarnya dan langsung berjalan ke arah kamar Ares, stetoskop di tangannya. Dia langsung mengecek detak jantung dan suhu tubuh Mariska. "Demam dia, Mariska kalau kecapekan selalu demam."

Monik yang menyadari apa yang mungkin menyebabkan Mariska demam, menghela napas. "Direm dikit, dong. Mariska ketemu lu masih perawan, mana bisa imbangin elu, Ares ...," omelnya gemas.

"Chika yang minta, Nik. Aku nggak tau itu bisa bikin dia sakit," gumam Ares.

"Lu atur, nah. Dia mana ngerti, masih polos gini. Kalau sakit gini, lu bingung sendiri. Dikompres aja, kalau sore nanti belum dingin, bilang aja ntar gue beliin obat sekalian." Monik melanjutkan omelannya sebelum meninggalkan mereka.

Ares segera mengisi botol karet dengan air dan beberapa buah es batu untuk mengompres Mariska. Dengan gelisah diseretnya sebuah sofa puff ke samping tempat tidur dan duduk di atasnya sembari menggenggam tangan istrinya.

"Maaf, Chika Sayang ... please, cepet sembuh," bisiknya sebelum pergi ke dapur untuk memasak bubur tim.

___HEXA_LIEM___

Malam itu, Monik menghela napas panjang. Berpura-pura baik-baik saja di depan Anna bukanlah hal mudah, dan menghindarinya juga bukan opsi yang bisa dipilih secara mereka tinggal dalam satu kamar yang sama. Diliriknya Anna yang kini terlelap.

Kemarin lusa, Dia meninggalkan Catur di gerai Xanthelle setelah melempar tantrum karena menurutnya, pria itu terlalu memaksa. Catur hanya menatapnya dengan ekspresi mengerti, seolah menghadapi balita, tanpa membalas satu pum perkataannya. Sejak saat itu, mereka belum bertemu lagi.

Merasa bersalah? Tentu saja. Pria macam Catur tak berhak mendapatkan perlakuan seburuk itu, terlebih di depan umum. Dan egonya terlalu tinggi untuk sekedar meminta maaf karena telah menjadikannya pelampiasan sakit hati akibat Anna lebih memilih seorang pria dibanding dirinya.

'Ha! Tentu aja, gue masih bocah banget gini ...,' sesalnya dalam hati sebelum air mata mulai merembes lagi melalui bulu mata lebatnya.

Saat ini, dia ingin sekali berkeluh-kesah pada seseorang, siapa saja, hanya untuk meringankan beban di hatinya. Jujur saja ini adalah pertama kali dia merasa kesepian sejak pindah ke rumah Ares. Saat ini semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.

'Sabar, hati. Besok ayo curhat ke Ares. Dia emang bego, tapi selalu tau apa yang bisa bikin mood gue bagus lagi,' batinnya.

Dia pun menyadari, untuk belajar mengikhlaskan Anna, dia butuh jarak. Jarak yang akan membuatnya bisa berpikir lebih jernih tanpa dikuasai emosi. Dia yakin sekali Ares akan mengijinkan dia menggunakan kamar lain kalaupun dia mengatakannya, tapi alasan apa yang akan diberikannya pada Anna?

Monik terbangun di pagi hari oleh elusan tangan Anna di kepalanya, kemudian suara pintu kamar yang ditutup. Dia memang selalu pergi bekerja sepagi ini. Tak ingin tenggelam dalam kegalauan, dia memutuskan untuk mandi dan keluar dari rumah, mungkin pergi ke tempat random seperti toko buku atau tempat umum lain yang bisa membuatnya lupa sejenak dari masalah percintaannya.

Dia baru saja hendak keluar dari kamar saat Ares mengetuk pintunya. Setelah memastikan bahwa keadaan Mariska tak darurat, dia kembali ke kamarnya untuk mengambil tas dan ponsel yang tertinggal, saat sebuah pesan masuk dan membuat layar ponselnya menyala.

_____
Mama Edna
| Cantik, ada kabar dari Chika sama Ade?
07.12 am

Dibalasnya pesan tersebut.

_____
Monik Raven Lu
| Mereka di rumah, Mam. Chika lagi demam
07.12 am
_____
Mama Edna
| Lho. Gak jadi pergi honimun?
Ini mama mau ke sana, anter muffin buat kalian, sengaja bikin banyak buat anak² mama semua.
07.13 am
_____
Monik Raven Lu
| Belom, Ma. Gak tau juga, org mereka honimun bisa di mana aja 🙈
Iya, Monik tunggu. Ati², Mama Sayang.
07.14 am

Monik menghela napas panjang. Rasa bersalah seolah membelai benaknya, bagaimana bisa dia mengatakan semuanya pada Edna nanti. Dia menepuk keningnya, 'Aki-aki gila pasti ikut ke sini.'

_____
Mama Edna
| 🤣
| Ya udah, mama brgkt
07.15 am

Dengan langkah malas, Monik turun ke lantai satu, mendapati Ares sedang sibuk memasak. Dia duduk di kursibpantry dan meletakkan kepalanya di atas meja.

Sambil mengaduk isi panci, Ares melirik ke arahnya. "Pagi-pagi surem banget, sih?"

"Diem, lu," balasnya sebelum menghela napas panjang.

Ares menutup panci dan meninggalkan kompor, menunggu nasi cukup lunak dan menjadi bubur. Dia mencuci tangan dan duduk di hadapan Monik. "Kamu kenapa sih, Nduk?"

Monik mengangkat kepalanya, kini dagunya terletak di atas meja sambil melihat ke arah Ares. "It's ... complicated." [Rumit.]

"I'm not stupid. Try me," goda Ares. [Aku gak bodoh. Coba cerita.]

"Pagi pas hari nikahan lu, gue lihat Kak Seb ciuman sama Anna." Ares yang tak bisa berkata-kata hanya terdiam sambil menepuk-nepuk kepala Monik. "Kayaknya udah saatnya gue relain Anna pergi, supaya mereka happy. Tapi sungguh, berat banget hati gue, sedih banget. Kemaren, gue sempet cari cincin. Rencananya mau gue kasih ke Kak Seb biar dia ngelamar Anna."

"You'll get through it, Nduk. Dan aku doain kamu segera ketemu jodohmu. And no matter what, I'm a proud brother." Monik tersenyum mendengarnya.

Ares berdiri untuk mengecek isi panci, mengaduknya,menutupnya kembali, dan duduk lagi di depan Monik.

"Bang," panggilnya.

"Hmm."

"Misalnya gue naksir cowok, gimana?" Ares cukup kaget mendengar pertanyaan Monik. 'Maaf, Bang. Gue belom bisa bilang kalo itu mertua lu,' batin Monik.

"I don't mind, as long as kamu happy," jawab Ares kemudian.

Om Kos 2Where stories live. Discover now