11.BAHASA CINTA

11 2 0
                                    

Pagi itu Tania sengaja bangun pagi tidak seperti biasanya, bik Ijah dan pak Ujang yang melihat tingkah Tania bingung. Bagaimana tidak, jam setengah enam pagi Tania sudah bangun dan meminta bik Ijah membuatkan nasi goreng kesukaannya dua porsi. Lalu menghampiri pak Ujang untuk tidak usah mengantarnya pagi ini.  Memang beberapa Minggu ini Tania hanya tinggal bertiga, Papa dan Mama tirinya sedang mengunjungi Risa di Paris. Saudara tirinya itu memang menempuh pendidikan di sana. Keduanya bahkan tidak pernah berkomunikasi, bagi Tania kedua orang baru dalam keluarganya adalah sebuah parasit.

"Pagi, Pak!" sapa Kevan kepada Pak Ujang yang sedang membersihkan mobil.

"Eh, Den Kevan. Selamat pagi juga, Aden ...." balas Pak Ujang ramah.

"Tania nya ada kan, Pak?" Kevan bertanya pada Pak Ujang lagi.

"Ada, Den. Masuk aja, mungkin sudah ditungguin non Tania," terang Pak Ujang dengan senyum sumringah ala iklan Pepsodent.

"Baik, Pak. Kalau begitu saya masuk dulu, ya? Pak Ujang semangat kerjanya!" Kevan memberi semangat kepada supir keluarga Tania itu. Setelah dipersilahkan Bik Ijah masuk, Kevan menunggu di kursi tamu. Sementara Bik Ijah memanggil Tania yang masih berada di kamar.

"Non, pangeran ganteng udah di bawah," goda Bik Ijah dengan senyuman menggoda.

"Kevan, Bik ... bukan pangeran," ucap Tania  beranjak dari kursi makeup miliknya. Lalu ia  segera menemui Kevan. "Hai ... sorry nunggu. Sarapan dulu yuk!" Tania mengajak Kevan keruang makan. Kevan yang memang belum sarapan tidak keberatan dengan ajakan Tania, ia pun mengikuti Tania ke meja makan.
Disana sudah ada dua porsi nasi goreng dan dua gelas susu menunggu mereka. Tentu saja semua ini permintaan Tania tadi pagi. Bik Ijah dan pak Ujang mengintip dibalik pintu dapur mulai mengerti.

Setelah selesai sarapan mereka berpamitan dengan Pak Ujang dan Bik Ijah. Keduanya pergi ke sekolah bersama.
"Kamu nggak keberatan kan kalau aku bonceng kamu pake motor?" tanya Kevan memastikan bahwa Tania nyaman dibonceng motor.

"Tentu saja aku tidak keberatan sama sekali, justru aku menyukainya!" jawab Tania antusias.

Kevan sengaja menjemput Tania dengan sepeda motornya. Tadinya ingin menggunakan mobil, tapi Kevan merasa lebih menyenangkan jika menaiki motor bersama seseorang yang ia suka. Ya ... tentu saja sudah dipastikan Kevan menyukai Tania. Hanya saja butuh waktu yang tepat untuknya menyatakan perasaan kepada Tania.

Setibanya di parkiran sekolah, keduanya berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kelas mereka. Semua mata tertuju padanya. Cibiran sumbing dari beberapa siswi yang iri menjadi hal lumrah. Tania dan Kevan begitu menikmati kebersamaan mereka pagi itu. Sesampainya di kelas, Siska dan Lala segera menarik Tania keluar.

"Tan, kalian jadian?" tanya Siska penasaran.

"Enggak kok," jawab Tania santai.

"Sumpah,deh! Kamu nggak bohong, kan?" Siska kembali menodong pertanyaan kepada sahabatnya itu. Sementara Lala hanya mengangguk antusias.

"Beneran, kita nggak jadian, tapi mungkin belum, hahaha.." Tania tertawa lepas melihat ekspresi kedua sahabatnya itu.

"Please deh,Tan. Kalau kalian jadian kita semua bakalan dukung kok, sekalian kita mau minta traktiran loh ...." ucap Siska menggoda. Sementara Tania hanya membalas dengan senyuman lalu masuk ke dalam kelas dan duduk disamping Kevan.
Tania memang menyukai Kevan, tapi dia perempuan dan nggak etis kalau sampai mengungkapkan isi hatinya terlebih dahulu.

***

Ujian tengah semester menunggu semua siswa siswi SMA BUDI PEKERTI. Seluruh anak kelas XII belajar dengan giat mengingat mereka akan segera lulus. Kali ini Tania melupakan perasaannya kepada Kevan dan lebih fokus untuk menghadapi ujian. Hal serupa dilakukan Kevan meski mereka tetap seperti biasa.

Masa Ujian Tengah Semester telah usai. Ada perasaan sedikit lega di hati semua siswa siswi. Menunggu hasil ujian yang akan keluar Minggu depan.  Kevan memberi tahu Tania jika dirinya akan ke Singapura untuk beberapa hari bertemu dengan teman-temannya disana. Tania sebenarnya merasa berat, tapi Tania bukan siapa siapa Kevan. Sampai detik ini pun Kevan belum mengatakan apapun kepadanya, hal itu membuat Tania dilema apakah selama ini hanya dirinya lah yang mencintai Kevan. Kalau memang benar seperti itu adanya, Tania merasa menjadi perempuan bodoh yang terlalu PD dengan perasaannya sendiri.

Satu minggu sudah Tania tidak melihat Kevan, meskipun Kevan selalu menelepon dan mengirim WhatsApp, bagi Tania keberadaan Kevan lah yang lebih utama.

Bel sekolah berbunyi. Semua siswa-siswi SMA BUDI PEKERTI memasuki kelas masing-masing dan pelajaran dimulai. Tania masih belum mendapati Kevan. Rupanya Kevan hari itu belum masuk dikarenakan sang kakek sedang sakit, kabar itupun disampaikan langsung oleh pak Anwar wali kelas mereka.

"Hai, Van. Are you okay? Aku baru saja mendengar berita dari pak Anwar jika kakek kamu sedang sakit keras, aku doakan segera membaik ya? Kamu jangan lupa jaga kesehatan dan segeralah pulang, sebentar lagi aku ulang tahun."  Tania mengirim pesan untuk Kevan.

Jam istirahat tiba, Tania memandangi layar handphonenya. Tidak ada satu message apapun dari Kevan membuat Tania kepikiran. Siska, Dea, Lala dan Rio menghampiri Tania yang sedang duduk sendiri di kantin sekolah.

"Tan, ngelamun aja sih. Ntar kesambet loh!" ucap Rio sambil menepuk pundak Tania.

"Iya nih, mentang-mentang sang pujaan hati nggak masuk jadi galau begini," timpal Siska.

"Udah ... kalian jadian aja kenapa, kita semua dan seluruh anak satu sekolah juga udah pada tahu kelezz kalau kalian tuh ada something," kali ini Dea ikut bicara.

Dea sudah mendukung hubungan Kevan dan Tania. Dirinya merasa Kevan hanya mencintai Tania, sahabatnya itu. Dan Tania pun memiliki perasaan yang sama. Dea lebih memilih menyelamatkan persahabatan mereka dari egonya. Disela-sela pembicaraan mereka, satu notif message dari Kevan tertera di layar handphone milik Tania. Ia segera membuka pesan itu di ikuti ke empat sahabatnya yang mulai kepo dengan isi pesan yang dikirimkan Kevan.

"I'm okay, Tan. Thanks untuk doanya, aku rasa ... aku akan memberikanmu sebuah hadiah terindah yang tidak akan bisa kamu tebak. Tunggu aku pulang okay?"

Tania tersenyum lebar. Sementara ke empat sahabatnya itu justru menggodanya, "Cie ... cie ... ada yang berbunga-bunga nih." Tania merasa malu. Jujur saja Tania memang sulit menyembunyikan perasaannya meski sudah bersusah payah apalagi di depan ke empat sahabatnya itu.

Dua hari lagi Tania berulang tahun yang ke 17. Papa Tania sudah kembali ke Indonesia, hanya saja sang istri atau lebih tepatnya mama tiri Tania masih stay disana karena Risa masih menginginkan bersama mamanya. Hal itu membuat Tania sedikit lega, apalagi di momen berharga didalam hidupnya tidak ada yang merusak moodnya. Papa Tania menanyakan keinginan Tania di hari ulang tahunnya nanti selain ke makam almarhumah sang Mama. Seperti biasa Tania ingin ke makam mamanya, salah satu acara wajib saat Tania berulang tahun.

Papa Tania sengaja membelikan Tania mobil sport Lamborghini Aventador berwarna putih yang harganya luar biasa mahal untuk sebuah hadiah ulang tahun. Papa Tania memang memiliki beberapa bisnis, hal itu dirasa wajar untuk seorang ayah. Apalagi papa Tania mengetahui sejak kecil putri semata wayangnya itu menyukai mobil itu. Lagi lagi ini hasil laporan dari bik Ijah dan pak Ujang yang memberi informasi. Mobil itu akan papa Tania berikan saat mereka tiba di makam istrinya yang merupakan mama Tania.

Sementara Tania hanya ingin membuat pesta kebun dibelakang villa miliknya yang berada di puncak bersama orang-orang terdekatnya. Meskipun terlahir dari keluarga berada, Tania tidak sombong dan tetap rendah hati dengan semua orang. Tania selalu hidup apa adanya dan mau belajar hidup susah, dirinya selalu belajar dari sang bibik dan pak Ujang yang memang dari latar belakang orang tidak berada.

No Tears Left To Cry (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang