78.JENUH

1 0 0
                                    

Elena merasa bosan, menderita dan bertanya-tanya berapa lama lagi dia harus duduk di situ sambil beramah tamah sebelum bisa melarikan diri, dia menghibur diri dengan sebotol minuman teh kemasan dan sebungkus kacang ketika ia mendengar suara musik samar-samar.

Suara itu datangnya dari stereo mobil. Lantunan musik terdengar jelas sampai ke telinganya, diikuti raungan mesin Mini Cooper, decitan ban di atas jalan, lalu aroma kuat Citrus sangat hebat. Benar-benar seperti satu botol dituang ke tubuhnya.

Elena tidak perlu berbalik. Dia tahu itu Vincent Xavier. Dengan malas dia bertahan, mencoba mendengarkan obrolan tentang Minggu pertama mahasiswa baru dan menyesap teh botol less sugar nya yang dingin. Namun dia meluap-luap penuh rasa ingin tahu. Sudah. Isa dibayangkan betapa semua orang mengerumuni Vincent ketika dia keluar dari mobilnya. Melihat melangkah penuh gaya, pasang aksi, berlagak sok paling keren sambil menenggak sekaleng minuman bersoda yang diberikannya padanya oleh salah satu fans garis kerasnya.

Tapi yang lebih kurang ajar lagi adalah mendengarnya tergelak dan bercanda, melakukan tos dan berkoar tentang "nilainya gila". Ego Elena meradang. Apa yang begitu gila dengan nilai-nilai itu? Apa nilainya? Apakah lebih baik dari nilainya? Lebih jelek? Sama? Dalam hati Elena merasakan kejengkelan yang sudah dirasakannya. Kemudian, tiba-tiba ... Dirinya mendengar suara lain.

"Hai, Cool boy!"

Kata itu membahana di tengah obrolan seru di taman. Seketika semua suara terdiam. Hanya beberapa titik mabuk dan seseorang yang dengan gugup berdeham.

"Kau tuli? Aku bicara padamu. Ya, Kau, Cool Boy!"

Meski udara panas meleleh, bagian dalam tubuh Elena berubah menjadi es. Dia berbalik. Berdiri hanya beberapa meter di jalan masuk tempat parkir adalah segerombolan geng dari perumahan setempat. Ada sekitar enam orang, semuanya remaja yang lebih tua dan cowok-cowok awal dua puluhan. Semuanya mengenakan seragam mereka, yaitu kaus sepak bola lusuh, sepatu bola yang bagian depannya dilapisi besi, serta tatto bergambar tebal yang terukir di salah satu bagian tubuh mereka. Semuanya menenggak botol bir dari toko. Elena pernah melihat tipe-tipe yang seperti mereka sebelumnya.

Mereka tak punya pekerjaan dan hidup dari tunjangan pemerintah, lalu mereka menyalahkan semua hal pada pemerintah dan kehidupan yang menurutnya tidak becus karena banyak pengangguran, kurangnya penampungan untuk tempat tinggal orang-orang tunawisma, bahkan mempermasalahkan soal harga minuman.
Dengan demikian, merasa bosan dan getir mereka membentuk geng-geng kecil dan memiliki hobi baru yang mereka anggap sebagai kesenangan hidup.

Contohnya "Menghajar Cool Boy!"
Dan Vincent Xavier adalah target mereka hari ini.

Simpul ketakutan mengetat di tenggorokan Elena. Dilihatnya Vincent duduk dengan kaki mengangkangi salah satu meja piknik kayu, bir Groslch wajibnya di satu tangan sama seperti biasanya. Rambut dengan pengkilap sun-in  yang sama dan sekarang cukup panjang untuk diikat menjadi ekor kuda kecil, jaket kulit yang sama, jenggot yang sama. Namun dia terlihat berbeda.

Entah bagaimana terasa berbeda. Melihatnya mengusap rokok, Elena melihat tubuh cowok itu menegang, mulutnya merapat. Memperhatikan tangannya bergetar sangat pelan. Dan pada saat itulah, dengan kesadaran yang sangat total, tak terduga, dan mendadak, Elena menyadari alasannya seperti itu.

Vincent terlihat berbeda karena dia melihatnya dengan cara yang berbeda juga. Dia melihat Vincent yang berbeda, dia bukan lagi sang musuh bebuyutan. Tak seperti sekumpulan cowok tidak jelas tadi yang menganggap Vincent adalah musuhnya.

"Kenapa kalian tidak pergi saja dan tinggalkan kami." Elena merasakan pengalaman bawah sadar dan mendengar sebuah suara yang persis seperti suaranya sendiri, ia melihat ke sekeliling untuk melihat dari mana asalnya kemudian menyadari bahwa itu memang suaranya sendiri.

"Bilang apa kau barusan?"
Selama sedetik dia berpikir untuk berpura-pura tolol, menoleh ke arah lain, menjauhi masalah. Tapi dia bukan orang yang menjauhi masalah!

"Apa kau tuli?" sahutnya. "Kubilang kenapa kalian tidak pergi saja dan tinggalkan kami." Oke, dia memang pahlawan Avengers yang memiliki kekuatan super untuk membela kebenaran dan membasmi kejahatan. Tapi dibutuhkan keberanian tingkat dewa untuk melakukannya. Dan meski terdengar melengking seperti suara kaleng kosong yang ditabuh, tapi suaranya tidak bergetar sama sekali.

"Elena, jangan ikut campur." Vincent berdiri dan sedang menatapnya. Berharap akan melihat rasa terimakasih di wajahnya, Elena terkejut melihat harga dirinya justru terluka.

"Siapa kau, brengsek?!" geram seorang cowok berotot menyerupai Jhon Cena. Rahang maju, telapak tangannya mengepal, tubuhnya melengkung, siap untuk beraksi!

Ekspresi Vincent membuat Elena bimbang selama sesaat. Seharusnya dia sejak tadi memilih bungkam. Tidak ikut campur. Tapi tidak bisa.

Dia dan Vincent Xavier sekarang ada di pihak yang sama dan tiba-tiba Elena merasa takut demi Vincent, merasa protektif terhadapnya dan kelewat murka.

Sambil menghujamkan kuku ke dalam telapak tangannya, Elena mengumpulkan setiap tetes kenakalan masa remajanya.

"Aku pacarnya. Kenapa? Siapa kau, brengsek!"

Hanya Tuhan yang tahu apa yang sudah merasukinya hingga kalimat itu keluar dari mulutnya. Dari mana asalnya. Dia tidak pernah tahu! Bahkan bertahun-tahun setelahnya, ketika Elena mengingat kembali saat itu, dia masih tidak tahu mengapa dia bisa berdiri di depan seluruh murid tingkat akhir serta geng rasis, dan sialnya ia juga menyatakan diri sebagai pacar Vincent Xavier. Dia tahu siapa yang lebih terkejut.

Mereka atau dia?! Atau Vincent Xavier!

Menatapnya dengan ekspresi yang benar-benar bingung, Vincent dicegah untuk berbicara oleh kemunculan sang pemilik pub, seorang pria sebesar beruang yang berjalan menuruni tangga depan dengan mengenakan sebuah sabuk brand ternama dunia terentang ketat di pinggangnya yang sangat besar.

"Keluar!" ujarnya lantang bergerak mendekati segerombolan cowok itu. "Ayo, keluar!" geramnya lagi.

Cincin-cincin bertabur diamond nya berkilauan tertimpa sinar matahari. Bob, sang pemilik dulunya adalah seorang pegulat terkenal dalam masa kejayaannya. Dan walau hari-harinya sebagai Jumbo the Great sudah berakhir, postur tubuh raksasanya masih menunjukkan kekuatan yang layak diperhitungkan.

Melihat waktu bersenang-senang mereka sudah berakhir, geng itu tidak tinggal lebih lama, mereka semua meninggalkan pub dengan geram dan juga rasa kecewa yang mendalam. Berteriak mengumpat, mereka kocar-kacir dan dengan sengaja menggoreskan kunci ke deretan mobil-mobil mengkilat yang sedang parkir seraya pergi tak bersalah. Apapun yang bisa dijadikan hiburan oleh mereka akan mereka lakukan.

"Untuk apa kau bilang begitu?"

"Bilang apa?" Merona dengan rasa malu, Elena berpura-pura tidak tahu. Setelah ledekan spontan nya serta kehebohan yang terjadi setelahnya ,ia memutuskan bahwa sudah waktunya untuk pergi. Dan ketika tak seorangpun melihat dia keluar dari taman, ia segera melesat ke halte bus di seberang jalan.

Selama menit terakhir dia berdoa agar bus nomor 603 tujuan kota seberang muncul. Sialnya, satu-satunya hal yang muncul adalah Vincent Xavier dengan Mini Cooper-nya. Cowok itu marah besar!

No Tears Left To Cry (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang