72.APA MAU DIKATA

2 0 0
                                    

Dari kejauhan sorang pria terlihat tidak ingin melepaskan wanita yang ada di pelukannya. Pria itu berdiri di trotoar yang basah karena hujan di luar terminal keberangkatan, dia melingkarkan lengan semakin erat ke sekeliling perut telanjang seorang wanita bernama Jane dan terus menciumi wanita itu. Mereka sudah asyik melakukannya selama 10 menit penuh. Dimulai dengan kecupan malu-malu di bibir, sejenis kecupan ringan dan sopan khusus untuk tempat-tempat umum. Kemudian segera berkembang menjadi lebih menyeluruh. Bibir saling menarik, gigi terjilat, lidah menerobos, hidung-hidung basah mereka saling bertubrukan. Mereka sudah akan berhenti ketika dirasakannya lidah wanita itu mulai membelai langit-langit mulutnya secara teratur. Anehnya hal itu terasa erotis mengeratkan rengkuhannya, Vincent mulai menciumnya dengan semangat baru.

Biasanya Vincent tidak akan sudi kepergok melakukan perbuatan memalukan semacam ini. Pada umur 31 tahun, dia punya karir mentereng sebagai seorang jurnalis, ia juga memiliki sebuah apartemen rancangan desainer terkenal. Bermain billiar, menonton film dan nongkrong dengan rekan kerja serta sahabatnya di restoran-restoran mewah dan gastropub di seluruh London merupakan kehidupan seorang Vincent Xavier. Dirinya tidak suka memamerkan kasih sayang seperti halnya seorang remaja, tidak di depan umum dan pastinya tidak di tempat klise seperti terminal 3 bandara Heathrow saat ini. Atau setidaknya dulu dia tidak begitu. Sekarang semuanya sudah berubah, tidak hanya dia terkunci dalam pelukan selamat tinggal yang terlihat seperti adegan film romantis. Vincent tidak peduli menyebut dirinya sendiri sebagai seorang paling keren sedunia karena sedang dikelilingi segerombolan orang yang melemparkan tatapan-tatapan ingin tahu kepadanya. Dia juga tidak peduli pada sepatu suede rancangan salah seorang desainer terkenal di Amerika yang sudah tidak berupa karena hujan. Semua itu rela dilakukannya, mengapa demikian? Sederhana, itu karena seorang Vincent Xavier akan menikah.

Setelah beberapa kali bermain-main dengan para wanita selama hidupnya, serta menjalani hubungan setengah hati bahkan hubungan satu malam akhirnya hal itu terjadi juga. Vincent bertemu seorang wanita yang sepadan dengan pengorbanannya meninggalkan kebiasaan masa lajangnya. Seorang wanita yang secara ajaib sudah mengubah kata 'monogami' menjadi sesuatu yang menarik hati. Alih-alih sesuatu yang seumur hidup selalu dijauhinya. Pendek kata, setelah badai romantisme selama 6 bulan dan dia tahu bahwa dirinya sudah menemukan wanita impiannya, Vincent tak ingin lagi menjadi seorang pria yang dulu.

Bisa ditebak, Vincent menemukan wanita itu di sebuah bar tentunya. Dia melihatnya ketika masuk untuk pertama kalinya. Bukannya Vincent jarang melihat wanita-wanita yang menarik mata di bar selain Jane, bahkan sebetulnya dia seringkali tertarik pada semua wanita yang dilihatnya. Tapi wanita itu berbeda. Bukan cuma agak menarik, tapi benar-benar mempesona di mata Vincent. Secara fisik dia punya segalanya yang Vincent inginkan dari lawan jenis, rambut lurus berkilau berwarna madu dan selurus papan seluncuran. Jane juga tinggi semampai, tubuhnya yang langsing dan menjulang tinggi di atasnya meski hanya menggunakan sepatu sneakers. Payudara bulat kecil yang menggoda, pas sekali digenggam.

Dua gelas vodka, jeruk nipis, dan kemudian soda, Vincent pun mengetahui bahwa Jane berasal dari sebuah kota kecil di Amerika dan baru pindah ke London. Dia juga mengetahui bahwa umurnya masih 22 tahun juga berprofesi sebagai seorang model. Vincent menyadari jika dirinya telah menjadi objek kecemburuan semua pria di bar karena berhasil mengajak Jane berkencan malam itu.  Maka Vincent melakukan kebiasaannya, ia mengajak wanita itu makan malam, memesan mejanya yang biasa dan memasang sprei bersih di ranjangnya nanti. Tapi kemudian sesuatu yang tak diharapkannya terjadi, sambil menikmati makanan pembuka jamur shitake dan polenta panggangnya, ditatapnya Jane di seberang meja dan menyadari bahwa dia benar-benar menikmati saat-saat bersama. Dan pada saat itulah Vincent menemukan hal yang mencengangkan, bahwa dia tidak ingin cinta satu malam seperti yang dia lakukan dengan wanita-wanita sebelumnya. Namun sebaliknya dengan Jane, dia menginginkan sebuah hubungan lebih dari itu. Pemahaman itu mengguncang Vincent karena ia sendiri tidak pernah ke membayangkan sebelumnya.

Kini butiran air hujan raksasa mulai menetesi kerah kaos Vincent dan mengalir pelan ke tulang belikatnya. Dia terus menciumi Jane, tepat pada saatnya terdengarlah gemuruh ledakan petir.
"Well, kurasa sudah saatnya." Dengan enggan memisahkan diri, Vincent berusaha tersenyum gembira pada kekasihnya itu. Sementara Jane terisak keras, ia mendongak menatap dari balik kacamata hitam Gucci yang Vincent berikan untuknya, lalu mengangguk tanpa suara. Vincent tahu Jane akan menangis.

"Hei, ayolah. Ini kan bukan selamanya?" ucap Vincent sambil mengangkat dagu Jane dengan ibu jari, disingkirkannya rambut yang menempel di dahi wanita itu.

"Seminggu terasa seperti selamanya," ujar Jane mendesah, mengerucutkan bibirnya karena merajuk. Vincent merasa meleleh. Baginya, Jane terlihat seksi ketika merajuk seperti itu. Mendadak Vincent tersadar, tujuh hari penuh tanpa sentuhan Jane.

"Bagiku juga terasa seperti seumur hidup," gumamnya menghembuskan sebuah desahan.

"Janji kau akan menelpon setiap hari?" Jane mengangkat alisnya dan melemparkan pandangan yang mengisyaratkan jika Vincent tidak melakukannya, dia akan membunuhnya.

Vincent merasa sedikit tersinggung saat Jane mempertanyakan itu. "Tentu saja aku berjanji," protesnya. Padahal, dulu dia pasti akan tersedak oleh kata-kata itu. Seorang Vincent Xavier berjanji menelpon seorang wanita setiap hari? Siapa yang akan percaya?

"Kau tahu, aku akan telepon dua kali sehari, bahkan tiga kali malah. Ku pastikan kau akan muak menerima telepon dariku dan membiarkan handphone mu berbunyi," Terang Vincent menjelaskan.

"Aku tidak akan pernah muak padamu," Jane terkekeh.

"Ya ... mungkin saja." Ucap Vincent menyedihkan, sekarang dialah yang mulutnya manyun. "Tapi aku juga tidak akan pernah muak padamu. Meski kau bermalas-malasan seharian di sofa dengan celana dalam serta berserakannya pop corn di sekitarnya." Imbuh Vincent lagi.

"Aku juga tidak akan pernah muak padamu. Meski kau mencukur bulu dadaku, menumbuhkan kumis tebal dan memakai celana dalam yang sudah dua hari tidak kau cuci." Pungkas Jane menyudahi perdebatan diantara mereka berdua.

Ini adalah salah satu permainan favorit bagi mereka. Bergiliran melontarkan argumen tentang siapa yang lebih mencintai siapa. Benar-benar memuakkan jika di dengar orang lain.

Tidak ada tanda-tanda hujan akan segera reda dan keduanya sudah basah kuyup, tapi tak satu pun dari mereka bergerak untuk masuk ke dalam. Sampai akhirnya Jane berkata, "Sebaiknya aku mulai jalan."

Vincent merasa sedih, "Kau sudah akan pergi?" tanyanya. Jane tersenyum penuh air mata. "Aku tahu ini masih sangat awal, tapi aku perlu banyak waktu untuk memastikan jika aku tidak membawa senjata berbahaya seperti gunting kuku misalnya." Ucap Jane mencoba untuk bergurau, namun gagal dan terlihat menyedihkan.
"Aku tidak ingin ketinggalan pesawat." Ungkap Jane lagi mencoba menenangkan diri.

No Tears Left To Cry (SELESAI)Where stories live. Discover now