Bab 2

38 7 2
                                    

"Gimana, Mon?" Raymond mengulangi pertanyaan lagi.

Kelihatan sedikit mendesak dan memaksa di tengah ketidakberdayaan dirinya dan diriku. Ingat yang diucapkan Saka, aku gak berdaya dan gak tega mau menolak. Dari segi  akademik, cowok penuh luka di tubuhnya itu memang gak pintar-pintar amat. Namun untuk memanfaatkan situasi, bisalah dikasih rangking satu.

"Buruan jawab iya!" Saka menyikut lenganku.

Ini yang ditembak siapa yang gak sabaran siapa? Aku naksir siapa yang menyatakan cinta siapa.

Bagaimana ini? Final answer harus segera diucapkan. Kalau terjadi apa-apa dengan Raymond, aku bisa dituntut dan dijebloskan bui atas kasus penolakan cinta berujung nyawa.

Terbayang seperti di film-film di mana monitor pendeteksi detak jantung yang awalnya mirip sandi rumput mendadak berubah jadi garis lurus. Keluarga pasien berteriak memanggil suster, suster berlari memanggil dokter, tim dokter berlarian dengan stetoskop terkalung di leher. Periksa mata, denyut nadi, napas bawah hidung. Senjata terakhir adalah dua alat yang sekilas mirip setrikaan yang ditempelkan di dada pasien, buat ngagetin jantung biar garis lurus di monitor kembali normal ke sandi rumput.

Ketika alat itu tidak memberikan reaksi apa-apa, dokter menahan napas, pasrah dan mengucap kalimat pamungkas ....

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi nyawa pasien sudah tidak bisa diselamatkan."

Suara mirip token listrik yang kehabisan pulsa ritmenya berganti menjadi lebih panjang. Sepanjang garis lurus dalam layar monitor.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'un!" Teriakanku  seketika membuat senyap seisi ruang perawatan ini.

"Mon, kok jawabannya gitu?"

Mata kukedipkan berkali-kali, sampai benar-benar yakin kalau gak ada tim dokter, gak ada monitor EKG atau apalah istilahnya aku lupa. Gila! Sejauh itu pikiranku berkelana. Raymond belum wassalam, masih menebar pesona dengan tingkat kepercayaan diri paripurna.

"Sorry, sorry!"

Sebotol air mineral kemasan kecil di meja kusambar begitu saja. Entah milik siapa whatever, kerongkongan ini perlu dibasahi biar gak seret mengeluarkan isi perut eh hati.

Benarkah Raymond orangnya? Yang akan  mencopot label jomloku, diganti label dan stiker baru 'Mona ayangnya Raymond'. Dih!

"Gitu aja gugup, Mon. Tinggal bilang iya atau enggak." Didit--wakil ketua kelas angkat bicara.

"Mmmm ... oke."

Cuma iya atau enggak gundulnya, sekate-kate Didit ngomong. Memangnya mengambil sebuah keputusan besar itu segampang menghalu jadi istri crazy rich apa?

"Ramona Pradita!"

Biasanya ketika seseorang memanggil pakai nama lengkap, berarti kesabarannya mulai menipis. Apa kuterima saja dulu, nanti kalau Raymond sembuh langsung kuputusin.

"Apa?"

"Kamu tahu, gak, bahasa Indonesianya 'yes' itu apa?"

"Iya." Bahasa Inggris doang mah gampil.

"Alhamdulillah, sah."

"Eh, apanya yang sah, Ray?"

"Barusan kamu bilang 'iya'."

Gak gini juga konsepnya, Joko! Aku dijebak biar bilang iya. Entah bagaimana semuanya bermula. Para saksi menjadikan tanggal hari ini sebagai tanggal jadian kami.

Raymond adalah pacar pertamaku meski jadiannya dipaksa. Baru tahu kalau dunia pacaran itu kita punya hak dan kewajiban. Hak untuk dicintai dan diperhatikan, juga kewajiban untuk mencintai dan memperhatikan satu sama lain. Aturan mana sih, ini?

Aku yang menemaninya mengerjakan soal ulangan susulan di rumah sakit. Raymond mendapatkan keringanan karena mengalami kecelakaan. Pak Giring tetap jadi pengawas biar cowok yang disebut pacar itu gak nyontek.

"Mon, tolong ambilin bulpenku, dong!" Raymond duduk menyandar, memangku bantal yang dijadikan tumpuan papan dada untuk mengerjakan soal.

"Jatuh di mana?"

Menutup novel fiksi remaja favorit, aku menggeser kursi, menunduk dan memeriksa bawah ranjang. Pak Giring sedang izin ke toilet sebentar katanya.

"Gak tahu, tadi kayaknya jatuh di situ." Dia pun ikut mencari dengan gerakan sebisanya hingga sampai ke pinggir, di dekatku.

"Di bawah gak ada, kok."

Aku mendongak dan kaget ketika tahu-tahu sebuah kecupan mendarat di kening.

My first kiss.

.

Kenapa ending flashback jaman SMA harus di bagian itu, sih? Padahal masih ada sambungannya. Tiba-tiba Pak Giring masuk dan lihat. Terus? Gak diapa-apain, hehehe ...  cuma dikasih tausiah selama tiga jam.

"Ciyeee, yang lagi ngelamunin kenangan yang indah-indah."

Tokoh dalam lamunanku tadi sakti amat, bisa tahu apa yang terjadi di otak ini. Slide-slide masa itu bersembunyi lagi dan akan muncul kalau diingatkan katanya. Aku diantar pulang ke masa depan lagi, di mana Rizky Billar dan Lesti menikah dan sudah punya momongan. Di mana duda satu anak yang merupakan putra dari mantan mertuaku masih betah duduk di sini.

"Mon!"

Pagar kayu bagian depan dibuka seseorang. Lima langkah dari sini dia berhenti dan bergantian menatap aku dan Raymond. Mulutnya ternganga, satu jarinya menunjuk pria di sebelah tetapi kesulitan untuk berbicara hingga yang terucap hanya kalimat terbata-bata.

"M--mon, i ... itu--"

"Hallo!" Raymond melambaikan tangan pada wanita yang mematung di sana. Lebih mirip dadah-dadah ala Miss Indonesia.

"Diam di tempat, Pit! Biar aku yang ke situ." Aku merapat ke Pipit dan menariknya sedikit menjauh dari Raymond.

Gawat! Kalau gak dijelaskan tentang kemunculan Raymond di sini bisa ngamuk-ngamuk dia. Pipit adalah saksi hidup betapa sahabatnya ini pernah terpenjara dalam kerapuhan paling parah sepanjang sejarah sewaktu berpisah dengan mantan.

"Sejak kapan duda itu di sini?"

Tuh, kan! Giginya bergemeletuk ngeri, menyeringai kaya vampir jahat mau menghisap darah suci.

"Seminggu yang lalu, Pit. Katanya dipanggil lagi sama bos lamanya, makanya dia balik ke Jakarta lagi."

"Udah bagus tinggal di ujung timur Indonesia, ngapain sih pakai acara balik-balik lagi?"

"Aku maunya juga gitu, Pit. Mendingan  Raymond tinggal di Papua aja. Mau jadi pengrajin koteka, kek. Mau buka restoran papeda, kek. Asal gak lihat mukanya tiap hari aja aku udah lega. Eh, tau-tau malah nongol gitu aja."

Pipit geram dan ingin maju menemui lelaki yang belum mau pulang meskipun kuusir dengan isyarat tangan. Namun aku menahan bahu kawan baikku ini. Bisa patah tulang si Raymond kena tendangan mantan atlet taekwondo. Sejak ketuk palu perceraian, Pipit pernah bersumpah akan memberi pelajaran pada mantan suamiku.

"Emangnya kontrakan kosong di Jakarta itu udah gak ada lagi, ya? Sampai-sampai dia harus tinggal di sebelah rumahmu."

"Dia beralasan biar lebih gampang melakukan pendekatan sama Abel, Pit."

Kesalahan fatal Raymond mungkin gak akan bisa kumaafkan. Tapi selama ini dia gak lari dari tanggung jawab dan tetap menafkahi Abel secara layak. Sering berinteraksi melalui sambungan telepon dan video call.

"Pendekatan sama Abel, atau pendekatan sama emaknya biar bisa rujuk lagi?"

"Gaklah, sorry. Selamanya, gak bakalan ada toleransi untuk sebuah perselingkuhan!" Aku merangkul leher Pipit, meyakinkan.

"Hey! Aku gak selingkuh, ya!"

Datang-datang, Raymond melepas rangkulanku di leher Pipit dan berjalan menerobos di sela kami kemudian berbalik dan melipat tangan di dada seperti ingin menantang.

"Terus?"

"Cuma berbagi kehangatan."

Inginku mengumpat pakai toa.

Bersambung

Yang udah baca boleh tap vote ya😘

Ketika Mantan Bikin Nyaman Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz